“SETIAP ORANG harus membayar atas apa yang telah mereka lakukan.”
Kalimat yang disampaikan dengan suara lirih penuh penekanan itu mendekam dalam kepalaku, mengiringi langkahku yang semakin cepat menembus malam. Jaket tebal dan tudung yang kukenakan sepertinya tak mampu menahan angin dingin yang berkesiur cukup kencang. Dalam gulita, aku berjalan hanya mengandalkan cahaya bulan yang bersinar sepenggal.
Hujan baru saja usai, menyisakan air yang menetes pelan dari pucuk-pucuk daun juga atap-atap bangunan. Tanah becek, jalanan berair, pohon kuyup, begitu juga mataku yang terus saja meneteskan air mata. Aku tak sempat mengusapnya. Kubiarkan wajahku basah oleh sisa air mata dan gerimis yang masih jatuh perlahan. Tanganku sibuk mendekap sesuatu yang kusembunyikan di balik pakaian.
“Ingat, Nduk. Junjung di atas kepala apa yang diajarkan Pak Kyai dan Bu Nyai di pondok. Bapak sudah menitipkan kamu di sana.”
Suara ringkih bapak yang sedang terbaring di rumah sakit berdenging di telingaku. Sepuluh tahun lalu, bapak memintaku masuk pesantren. Kemiskinan yang memeluk kami sedemikian erat mengancamku masuk ke jurang kebodohan. Jika saja tidak ada uluran tangan dari Bu Nyai, tentu aku akan menjadi gadis desa pencari gabah yang mengharap belas kasih pemilik sawah yang padinya baru saja dipanen.
“Mengabdi di sana, Nduk. Setidaknya manfaatkan tenagamu untuk membalas budi baik Bu Nyai dan Pak Kyai. Mereka orang-orang soleh, di dekat mereka kamu akan mendapat banyak keberkahan.”
Aku masih ingat sentuhan tangan keriput bapak pada pipiku. Bapak terus mewanti-wanti agar aku belajar adab dan ilmu agama sambil mengabdikan hidup kepada Bu Nyai dan Pak Kyai.
Usiaku belum genap sepuluh tahun saat Bapak mengantarku ke pesantren. Aku tak melanjutkan sekolah dasar karena tidak ada biaya. Aku menangis kencang dan enggan melepaskan pelukan dari tubuh Bapak yang ringkih. Bapak mulai sakit-sakitan dan tidak kuat lagi bekerja. Dia ingin menitipkanku di pesantren, tempat orang-orang menimba ilmu agama. Bagiku, tidak apa-apa menjadi bodoh asal aku bisa menemani dan merawat Bapak saat sakitnya.
“Tidak. Kamu harus di pesantren. Hidupmu akan lebih baik di sana. Tak usah hiraukan Bapak. Bapakmu ini balung wesi. Bapak pasti sehat lagi.”
Aku seharusnya tahu apa yang Bapak sampaikan adalah sebuah kebohongan. Dia menyampaikan kalimatnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang parau. Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar sebelum akhirnya Bapak pergi keluar dari gerbang pesantren. Rupanya, itu adalah kali terakhir aku mendengar suaranya. Bapak meninggal satu bulan setelahnya.
Hari-hari pertamaku di pesantren kulalui dengan air mata berlinang. Kesedihan itu semula hanya karena tinggal berjauhan dari Bapak, tetapi lantas berubah menjadi kesedihan karena Bapak tak ada lagi di dunia ini. Melihatku bersedih terus menerus, Bu Nyai memintaku tinggal di rumahnya. Bersama beberapa anak perempuan lain yang juga bernasib sama denganku, aku mengerjakan apa saja yang ada di rumah itu. Setiap hari kami harus menyapu, mengepel, mencuci piring-piring kotor, mecuci pakaian, berbelanja ke pasar, membantu memasak, atau mengerjakan hal lain yang diperlukan. Tidak hanya itu, Bu Nyai mengajari kami membaca Al Quran setiap hari, menuntun kami untuk terus berpegang teguh pada tali agama-Nya, memberi kami nasihat-nasihat berharga, hingga menghidupi kami semua. Kami makan, minum, dan tidur, dengan gratis di pesantren itu.
Apa yang Bu Nyai lakukan untuk kami tentu jauh lebih berharga dan tak pernah sebanding dengan keringat yang kami keluarkan untuk mengabdi di rumahnya. Apa yang kami kerjakan tentu tidak ada apa-apanya dan masih jauh dari layak untuk dianggap membalas budinya.
Sambil terus berjalan, ingatanku memelesat pada kebaikan orang-orang yang telah mengajariku abatatsa. Wajah Pak Kyai di penghujung sakitnya, wajah Ningmas Ruroh yang menangis dengan tubuh mengigil hampir setiap subuh, wajah Bu Nyai yang cemas saat mendapati puluhan polisi mengepung pesantren, wajah Ningmas Hana yang kelelahan menahan luka perkawinannya, bergantian timbul tenggelam dalam kepalaku.
Aku tidak lagi peduli pada sandal jepit yang kugunakan secara sembarangan—entah sesuai pasanganya entah tidak—yang tenggelam dalam lopak-lopak yang tak bisa kuhindari. Bercak lumpur terpercik pada rok bunga-bunga yang kukenakan. Pekat yang menyelimuti berpadu apik dengan hujan yang meninggalkan genangan.
Sudah tiga puluh hari walang hati melandaku. Sejak satu per satu orang-orang yang kuhormati di pesantren di panggil polisi, mimpi-mimpi yang mencemaskan itu datang hampir setiap malam. Bobot tubuhku menyusut, bahkan pada bagian bawah mata mulai menghitam. Bayangan perempuan tanpa pakaian yang meringkuk seperti janin dalam rahim ibunya terus menghantuiku, mengajak pikiranku berkeliaran, mencari-cari pembenaran. Oh bukan, aku bukan mencari kebenaran karena kebenaran telah benderang di mataku.
“Tolong.”
Suara rintihan dalam mimpi itu terus menggema dalam kepala, silih berganti dengan isak tangis dan suara tawa yang membuat tengkukku meremang.
“Tolong.”
Rintihan itu terus berdenging nyaring di telinga membuat dadaku berdebar kencang. Kelebatan-kelebatan ingatan hilir mudik dalam kepala.
Perempuan telanjang yang meringkuk di lantai …
Suara rintihan …
Tawa memekakkan pendengaran …
Tangisan mengiba ….
Aku melangkah lebar dan cepat seolah seseorang sedang memburuku. Sebenarnya tidak ada yang menunggu, tidak pula ada yang mengejar, hanya pikiranku yang terus menerus berlarian, berkejaran dengan ketakutan dan rasa bersalah. Kepalaku terasa penuh. Telingaku terus berdenging.
Salak anjing yang terdengar dari kejauhan tidak boleh membuatku surut. Sesekali aku berhenti, menoleh ke arah belakang, pada gerbang besi tinggi yang kutinggalkan. Meski aku yakin telah menyelinap dengan aman, hatiku selalu was-was.