AKU menamatkan bundel naskah terakhir di dalam bus yang melaju menuju Joyogiri. Aku tidak memedulikan ancaman dua orang asing yang muncul di rumahku dengan tiba-tiba. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kepergianku ke Joyogiri.
Usai membaca bundel naskah terakhir, kepalaku berdenyut. Rasa takzimku pada kehidupan pesantren yang menjadi citra Kota Joyogiri tergerus oleh naskah hasil wawancara yang ditulis Marlina. Aku ingat bagaimana dahulu sempat merengek untuk masuk pesantren karena separuh teman SMP-ku memilih melanjutkan sekolah ke sana. Ayahku sangat mendukung agar aku bisa masuk pesantren, tetapi ibu tidak menyetujui keinginanku itu.
Kedua orang tuaku berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Keluarga bapak sangat agamis. Adik kedua bapak lulusan dari Pesantren Tebuireng, sementara adik bapak yang terakhir lulusan dari Pesantren Gontor dan saat ini bermukim di Mesir. Beberapa sepupu, keponakan juga lulusan dari pondok-pondok Pesantren di Malang, Mojokerto, Pasuruan, bahkan Hadramout. Kehidupan pesantren bukan hal baru dalam keluarga besar bapak.
Hal tersebut tentu berbeda dengan keluarga besar ibu yang lebih moderat. Ibuku memiliki darah Chinese—Kakekku masih keturunan Cina sementara nenekku Jawa Surabaya. Orang-orang menyebut ibuku Cindo Suroboyo. Akan tetapi yang menjadikan ibu menghalangiku masuk pesantren bukan karena dia Cindo, tetapi karena dia tak ingin jauh dari anak perempuan satu-satunya.
Aku adalah anak terakhir. Kedua kakakku laki-laki dengan jarak usia yang cukup jauh dariku. Setelah kedua kakakku bersekolah di luar Joyogiri, lahirlah aku sebagai penghibur bagi kedua orang tuaku yang mulai kesepian. Ibu sangat memanjakanku, begitu juga bapak. Akan tetapi, setelah bapak meninggal dan ibu diliputi kesepian dia menjadi asing bagiku.
Kepergian bapak tepat saat aku memasuki masa remaja. Aku sempat goyah, apalagi ibu terlihat depresi dan mulai menutup diri. Aku tidak bisa melanjutkan kuliahku di Malang seperti yang kuinginkan. Aku harus menemani Ibu dan terpaksa berkuliah di Joyogiri. Tahun pertama kuliah nilaiku berantakan. Aku sama sekali tidak bisa fokus, apalagi jurusan yang kuambil tidak sesuai dengan keinginanku.
Melihat kondisi ibu yang terus memburuk, seorang kerabatnya membawa ibu ke Surabaya. Sejak berkumpul bersama keluarganya, Ibu perlahan membaik. Meski tidak sepenuhnya kembali, aku melihat ibu lebih hidup dan tidak lagi kesepian. Pada tahun kedua itu lah aku mulai bisa kuliah di Malang dan mengambil jurusan sesuai keinginanku.
Setelah kuliah, aku diterima bekerja di tempat yang memang kuinginkan sejak dulu. Tidak ada riak berarti dalam hidupku, kecuali perceraian itu. Karirku lancar. Ibuku membaik. Dan semuanya berjalan mudah dan tenang, hingga bundel naskah yang dikirim Marlina mengusik hari-hariku.
Apakah kini aku harus dikejar rasa penasaran hingga harus mengorbankan hidupku yang semula tenang? Apakah demi bundel naskah yang Marlina titipkan aku harus mengalami teror yang bisa mengancam nyawaku.
Aku telah sampai pada bundel naskah terakhir. Tak ada lembar hasil wawancara lagi, hanya tersisa beberapa lembar berisi potongan-potongan berita seputar kasus pelecehan seksual yang dituduhkan kepada Mas Safiy, berita penangkapannya yang rumit, hingga berita penangkapan pelaku pemasungan Yuri.
Setelah membaca bundel naskah bagian kelima, isi kepalaku menjadi riuh mempertanyakan kebenaran kisah yang dituturkan oleh lima narasumber Marlina. Aku mulai menduga-duga apakah majelis hakim telah dikelabui dan mengambil keputusan yang kurang tepat dengan membiarkan pelaku lainnya bebas? Sejujurnya, ada kemarahan yang perlahan merangsek ke dalam hatiku pada Marlina yang telah berani memasuki ranah pesantren yang selama ini kuanggap mustahil berkawan dengan kesalahan. Meski aku bukan lulusan pesantren, tetapi tinggal dan dibesarkan di lingkungan yang akrab dengan pesantren membuatku gelisah usai membaca bundel naskah yang dikirim Marlina.
Suara decit rem dan gerak bis yang oleng membuatku tersadar dari lamunan. Para penumpang yang semula lelap dalam tidur satu per satu mulai terjaga dan riuh. Dua sepeda motor tampak berjalan meliuk-liuk menghalangi laju bis. Sopi dan kondektur tampak berusaha mengendalikan diri meski wajah mereka menunjukkan kemarahan.
Tiba-tiba saja kedua sepeda motor melaju kencang mendahului bis. Semua yang ada di dalam bis menghela napas lega, tetapi itu tidak lama karena di ujung jalan tampak motor itu melintang du tengah jalan. Empat lelaki mengacung-acungkan benda yang terlihat berkilau terkena pantulan lampu bis. Sopir terpaksa menginjak rem membuat laju bis berhenti mendadak.
Semua yang ada di bis tercekat saat ke empat lekai menggedor-gedor pintu bis. Aku merapatkan jaket dan memperbaiki topi yang kukenakan. Aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Perjalananku ke Joyogiri tentu tidak akan mudah dan aku sudah mempersiapkannya.
Ketika kondektur membuka pintu bis, ke empat lelaki merangsek masuk. Aku cermati beberapa penumpang terlihat ketakutan sementara beberapa lainnya menahan kemarahan. Dengan teliti mereka memperhatikan setiap penumpang. Aku duduk di kursi tengah sebelah kanan. Bangku di sebelahku kosong sehingga aku bisa leluasa melakukan persiapan. Aku bersikap tetap tenang, bahkan pura-pura tidak peduli dengan tetap menyandarkan kepala pada kaca jendela. Mataku terpejam, seolah-olah sedang tidur. Dari katup mata yang tertutup rapat, aku memperhatikan keempat lelaki itu.
Mereka menanyai setiap penumpang. Aku menduga mereka sedang menyisir tujuan dari para penumpang. Keempat orang itu bukan lelaki yang muncul di teras rumahku kemarin atau lelaki yang menguntitku hingga ke LBH milik Tony. Akan tetapi, aku sangat yakin mereka sedang mencariku.
Suasana remang di dalam bis, jaket tebal yang kukenakan, hingga penggunaan wig rambut pendek, kacamata tebal berbentuk bulat, mungkin sedikit membantuku untuk mengelabui mereka. Aku yakin, wajahku sudah dikenali. Maka saat mereka mendekatiku, aku pura-pura menguap dan membuka mulutku lebar-lebar. Disaat bersamaan, ponselku berdering. Sialan, aku menggerutu.
Ketiga lelaki terlihat acuh dan melewatiku untuk mengamati penumpang lainnya. Akan tetapi, salah seorang terlihat menatap ke arahku dengan curiga. Dia sedikit memicingkan mata ketika mendengarku men jawab ponselku. Meski suaraku sudah kubuat serendah mungkin dan sedikit terdengar nge-bass untuk menyerupai suara lelaki, rupanya tak cukup berhasil. Lelaki itu tak beranjak dari hadapanku dan memandang ke arahku dengan mata menyipit.
Tak mau dia mendengar suaraku yang mungkin menurutnya aneh, aku mematikan ponsel dan pura-pura menggerutu. Aku melanjutkan tidur dan berpura-pura tak peduli kepadanya. Ponsel itu kembali berdering, rupanya Teguh tak mau menyerah begitu saja. Dengan perlahan, aku menekan tombol off untuk mematikan ponsel berisik itu.