Tanda Lahir

Puspa Seruni
Chapter #15

10. Kejutan Ulang Tahun

“BESOK hari ulang tahunku. Dan ingat, aku menyukai kejutan.” Marlina mencubit kedua pipiku.

“Kejutan apa?” tanyaku sambil memajukan bibir.

“Kamu ini bodoh atau apa. Namanya kejutan masak harus aku yang minta.” Marlina berdecak kesal. Esok adalah tanggal 17 Desember. Dia akan berulang tahun yang ke-12. Marlina selalu merayakan ulang tahunnya bersama keluarganya di rumah. Tepat pukul 12 malam, keluarganya akan mengetuk pintu kamarnya dan membawakannya sebuah kue ulang tahun, kado, serta kecupan di kedua pipinya.

“Kalau sudah rutin begitu, apa masih bisa disebut kejutan?” tanyaku ketika Marlina menceritakan kejutan ulang tahun yang diterimanya setiap tahun.

“Ya tetap saja kejutan. Makanya, ayo dong buat kejutan ulang tahun untukku. Kamu, kan, temanku.” Dia memeluk lenganku.

Sepulang sekolah aku mulai mencari kado yang tepat untuk kejutan ulang tahun Marlina. Aku meminta saran dari ibu, bapak, hingga harus menelepon kedua kakak lelakiku yang kuliah di luar kota. Akan tetapi saran mereka seolah tak menarik bagi anak 12 tahun sepertiku. Sarannya sama, membawakan kue ulang tahun serta barang sebagai kadonya.

Hingga malam datang, aku belum juga menemukan ide untuk memberi Marlina kejutan yang berbeda dari yang biasa dia dapatkan dari keluarganya. Aku hampir menangis jika saja ibu tidak datang menemuiku yang sedang kebingungan.

“Kenapa kamu tidak mencoba membuat sesuatu dengan kreasimu sendiri. Sesuatu yang tidak bisa Marlina beli di toko atau dimana pun.” Ibu berkata sambil mengusap kepalaku.

“Seperti apa itu, Bu? Sebuah benda? Boneka? Pigura? Atau …”

Ibu menggeleng cepat.

“Kalau hanya itu, Marlina bisa membelinya di toko. Sesuatu yang berbeda, yang diinginkan Marlina tapi belum dia miliki hingga saat ini.”

Ibu tak memberiku penjelasan lebih panjang. Dia hanya mengusap kepala dan mencium pipiku sebelum keluar dari kamar.

“Jika tidak punya ide apapun untuk hari ulang tahunnya, tak mengapa. Keberadaanmu didekatnya dan menjadi kawan baiknya tentu lebih berharga dari sebuah kejutan ulang tahun.”

Setelah ibu pergi aku mulai menerka-nerka. Adakah sesuatu yang Marlina inginkan tetapi belum dia miliki? Hingga pagi menjelang, aku tak menemukan apapun. Terlalu banyak berpikir membuatku lelah hingga aku tertidur. Esok harinya aku bangun kesiangan dan terlambat pergi ke sekolah.

Aku menangis ketika ibu membangunkanku tepat pukul 06.30 pagi. Matahari sudah sepenggala dan aku belum menemukan kejutan yang tepat untuk Marlina. Ibu membujukku untuk pergi ke sekolah, tetapi aku menolak. Sepanjang hari aku hanya duduk di sudut kamar sambil memeluk lutut. Aku takut Marlina marah. Aku takut dia tak mau lagi menjadi temanku karena menganggap aku tidak peduli pada hari penting dalam hidupnya.

Mengetahui temannya tidak masuk sekolah di hari ulang tahunnya, Marlina mendatangi rumahku sepulah sekolah. Semula aku mengira dia marah, rupanya aku keliru. Dari dalam kamar aku mendengarkan pembicaraan Marlina dan ibuku. Dia menanyakan kondisiku dan menduga aku sakit hingga tidak pergi ke sekolah.

Aku merasa malu dan berpura-pura tak mendengar percakapan itu. Aku membenamkan diri di dalam selimut dan tumpukan bantal-bantal. Ibu mengetuk pintu dan mengantarkan Marlin masuk ke dalam kamar. Aku terus bersembunyi di dalam selimut, menghindar dari kemarahan atau kekecewaan yang akan Marlina lontarkan.

“Keluarlah. Marlina ingin berbagi kebahagiaannya denganmu.”

Ibu menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Aku membuka mata sambil menahan malu. Marlina membawa sebuah kotak sambil tersenyum lebar. Dia duduk di bibir ranjang.

“Bukan kejutan seperti ini yang kuinginkan. Masak yang ulang tahun yang harus datang, bawa kue lagi. Dasar kau.” Marlina tertawa. Aku dan ibu ikut tertawa.

Sejak saat itu kami saling memberi kejutan di hari ulang tahun masing-masing. Mungkin tak tepat juga jika disebut kejutan karena kami sudah memiliki daftar keinginan atau hadiah yang diinginkan setiap hari ulang tahun. Aku tidak perlu lagi kebingungan memilih kejutan untuk Marlina, begitu juga sebaliknya. Seringkali keinginan itu hanya berupa hal-hal sederhana. Kata ibu, dua orang teman memang tak membutuhkan bermacam hadiah, saling menemani adalah hadiah luar biasa yang paling dibutuhkan.

Lihat selengkapnya