Tanda Lahir

Era Chori Christina
Chapter #3

Pencarian Pertama

Bukan Inka namanya, jika yang dilakukannya itu tak aneh. Pagi itu, kelas Pak Firman akan segera di mulai. Semua siswa sibuk mengerjakan tugas rumah mereka di sekolah, karena saking susah soal yang dibuat guru Matematika-nya itu. Tak terkecuali Inka.

“Lo, gila ya, Ka? Buku lo masih bersih, aja?”

“Kayak nggak tahu gue, aja, sih, Na. Gue lihat angkanya, aja, udah pusing rasanya.”

“Lo, nggak ada capek-capeknya, ya, dihukum sama Pak Firman?”

“Daripada lo harus lihat gue gila beneran, lo mau?” ucap Inka dengan tawanya yang terbahak.

“Terus lo ngapain itu?”

Vena melihat Inka yang sibuk menggambar tak jelas.

“Aduh!!! Jangan sentuh tangan kanan gue sembarangan Vena,” erang Inka.

“Iya, iya, sorry gue lupa, Ka.”

“Em ....”

 “Yaudah terserah lo, gue mau pinjem si Rian, aja. Lo, beneran nggak mau ikut nyontek?”

Baru beberapa detik Vena sudah kehilangan keberadaan Inka.

Yaelah, Ka. Katanya lo mau dihukum sama Pak Firman, aja.”

Vena terkejut karena Inka sudah duduk di sebelah Rian—siswa teladan di sekolahnya.

“Gue bukannya takut dihukum Pak Firman. Gue nggak mau, aja, papa harus dateng ke sini karena ulah, gue.”

Vena mengangguk paham apa yang dimaksudkan sahabatnya itu.

 

TTT

Kriiiinnng ....

Bel istirahat pertama telah berbunyi. Semua siswa berhamburan ke luar ruangan. Ada yang ke kantin, perpustakaan, bahkan ke lapangan basket hanya untuk menonton para senior yang kece. Namun tidak berlaku untuk Inka. Kali itu ia harus menerima hukuman dari Pak Firman lagi. Bukan karena tidak mengerjakan soal. Hanya saja, Pak Firman tak percaya Inka bisa mengerjakan tugas itu dengan benar. Selain tegas, Pak Firman memang seorang guru yang sangat mengedepankan kejujuran.

“Lo, nggak apa-apa gue tinggal, Ka?”

“Nggak apa-apa kali, Na. Santai aja. Gue mah biasa aja, tuh. Hahahaha ....”

“Yaudah gue ke kantin dulu, yah.”

“Eh, entar susul gue ke taman aja, Na.”

“Ok. Lo mau gue bawain apaan?”

“Biasa. Pokoknya yang pedes-pedes, gue suka,” jawab Inka sambil berjalan terlebih dulu keluar kelas diikuti Vena.

Inka memilih duduk di bangku kayu dengan cat yang sedikit demi sedikit sudah terkelupas—di bawah pohon belimbing yang sayup-sayup terkena angin menambah sejuk saja suasana. Ia dengan getol mengingat-ingat tanda pada tangan yang membuatnya penasaran sejak kemarin. Ia mulai menggoreskan sedikit demi sedikit tinta pada sketchbook kesayangannya—sketchbook yang selalu ia bawa kemana-mana. Bahkan julukan “gadis tinta” sudah melekat kepadanya, semenjak dia masuk sekolah di sana.

Inka terkejut ketika tak sadar ia melihat seseorang di bangku taman yang lain saat itu.

“Sepertinya gue nggak pernah lihat dia,” gumam Inka.

Lihat selengkapnya