Tanda Lahir

Era Chori Christina
Chapter #4

Kepercayaan Diuji

Setibanya di rumah, Inka tak sabar segera menemui mama-nya.

“Ma, Inka mau cerita sama Mama. Udah dari kemarin sebenernya. Cuman ada Papa. Jadi Inka nunggu waktu yang tepat.”

“Tapi, Inka harus ganti baju dulu, sayang. Makan. Habis itu ngobrol sama Mama.”

“Tapi, Ma. Inka harus buru-buru, nih. Takutnya Papa segera pulang,” rengek Inka.

“Ya, sudah. Tapi cepet, ya.”

“Mama Inka kemarin habis ketemu sama seseorang yang kata Mama jika dia memiliki tanda yang sama dengan Inka berarti dia jodoh Inka?”

“Aduh, aduh, sayang. Ngomongnya, kok, kayak nggak ada spasi-nya gitu?”

“Kata Mama Inka harus cepet.”

“Tapi bukan berarti kayak gitu juga, sayang.”

“Aduh, Ma!” erang Inka.

Vina tak sengaja menyenggol tangan kanan Inka.

 “Kenapa, sayang?”

“Nggak apa-apa, kok, Ma,” jawab Inka dengan senyum nyengirnya.

Vina bahkan Adi belum mengetahui, jika Inka sesekali merasakan nyeri di bagian tangan kanannya, yang Inka tahu sebagai tanda lahirnya.

Lalu Inka menceritakan bagaimana ia bertemu dengan lelaki misterius itu kepada Vina. Vina mendengarkan—mencermati setiap bagian cerita Inka.

“Sayang ... mungkin itu cuma kebetulan, aja, kok.”

“Mama, kok, nggak konsisten, sih,” ucap Inka sebal.

“Bukan, gitu sayang. Tapi, kan, bisa saja itu tanda buatan sendiri. Apa namanya itu, loh. Emm ....” Vina mencoba berpikir.

“Oh, iya. Tato. Mungkin dia pakai tato.”

Inka memilih meninggalkan Vina dengan langkah gontai menuju kamarnya.

“Sayang ... jangan lupa makan dulu, loh. Udah Mama buatin sayur sop kesukaan kamu. Seperti biasa dengan tingkat kepedasan level mak lampir.”

Inka langsung berlari menuju dapur. Vina tersenyum menggeleng, melihat tingkah putrinya yang begitu mudah dibujuk dengan makanan pedas kesukaannya.

 

TTT

 

Inka sengaja menolak ajakan papa-nya untuk diantar ke sekolah. Seperti rencananya semalam. Ia mencoba memancing lelaki misterius itu untuk keluar. Ia sengaja menjatuhkan sketchbook-nya lagi, saat ia turun dari bus.

Dan benar. Ada seorang laki-laki yang secepat kilat mengambil sketchbook itu kembali. Inka mencoba untuk bertanya pada laki-laki tersebut. Hanya saja, tetap tidak bisa. Ia berjalan mendahului Inka sekali lagi dengan cepat.

“Tunggu dulu. Tadi dia, kan, pakai tas yang kayak dipakai anak seni rupa, kan?” Inka mencoba mengingat sesuatu.

“Iya. Vino biasanya juga pakai. Apa jangan-jangan, dia?”

“Tapi, nggak mungkin Vino seperti itu. Udahlah. Yang penting gue dapat petunjuk selanjutnya.”

Inka saat itu juga menggambar bentuk tas yang dipakai lelaki misterius tersebut.

“Bentuknya seperti dari pipa pralon. Warna-warni. Emm .... sepertinya juga banyak sticker-nya.”

“Aduh, kenapa tiba-tiba rasa sakitnya muncul lagi, sih? Tapi dia, kan, nggak ada di sini? Apa jangan-jangan dia ngumpet?” Inka melihat sekeliling—memastikan seseorang itu masih ada atau sudah pergi.

“Inka? Ngapain kamu, clingak-clinguk gitu?” tanya Vino.

Lihat selengkapnya