Vina melihat raut muka putri kesayangannya itu terlihat tak biasa.
“Kenapa, sayang, kok, sedih gitu mukanya?”
“Inka pusing, Ma. Nggak bisa bantu apa-apa untuk sahabat Inka.”
“Mama punya uang nggak? Inka mau pinjem,” lanjut Inka.
Inka memegang tangan Vina—memohon padanya.
“Emangnya buat apa sayang?”
“Vena dituduh ngilangin uang lomba seni rupa, Ma. Inka pengin pinjemin dulu ke Vena. Tapi ....”
“Tapi, apa, sayang?”
Inka mengeluarkan gambar yang ia dapatkan dari dalam tas ranselnya.
“Mama, tahu gambar ini maksudnya apa?”
“Sini, coba Mama lihat.”
Vina mengamati dan mengangguk pelan.
“Coba kamu cari petunjuk selanjutnya dulu, sayang.”
“Maksudnya, dengan gambar ini bisa bantu Inka, Ma?”
“Iya, sayang. Mama bisa bantu kamu pinjami uang. Tapi, Mama pengin kamu bisa belajar suatu hal dari kejadian yang menimpa sahabatmu itu. Percaya sama Mama.”
Mama sepertinya emang nggak bohong. Coba besok aku bahas sama Vena.
TTT
Sedari tadi, Inka melihat perpindahan jarum jam tangan miliknya. Namun belum terlihat juga kedatangan Vena ke sekolah.
“Vena, ke mana, ya? Gue juga belum ngerjain tugas, lagi.” Inka berdiri dan duduk hampir beberapa kali—memastikan Vena segera bisa berangkat.
Namun sama sekali tak terlihat batang hidung dari Vena pagi ini. Sudah dipastikan ia tidak berangkat sekolah.
Saat sedang melamun, Inka dikejutkan dengan teriakan siswi lainnya.
“Kak BENO ...!!!”
“Hah? Kak Beno?”
Inka langsung berdiri juga dari tempat duduknya. Karena postur tingginya hanya 157 cm—lebih pendek dari teman-temannya yang lain—membuatnya harus melompat-lompat untuk melihat senior idaman di sekolah itu.
“Gue, ngapain, sih, kemarin ke kelas Vino nggak ketemu sama kak Beno, aja? Dia emang sering banget keluar kota buat ikut lomba solo gitar, sih. Super sibuk,” ucap Inka sambil senyum-senyum sendiri.
Lebih mengejutkannya lagi, Beno justru berbalik dan melangkahkan kakinya menemui Inka. Sontak semua mata memandang ke arah Inka.
“Kamu yang kemarin ngobrol sama Vino, bukan?”
“I ...ya, Kak,” jawab Inka gugup.
“Lain kali, jangan ketemu sama Vino doang,” bisik Beno di belakang telinga Inka.
Inka menjauhkan dirinya dari Beno—merasa risih dengan sikapnya saat itu.