Lomba seni rupa tahun ini benar-benar spesial, karena dari masing-masing jurusan bisa mengirimkan perwakilannya. Inka tak percaya, Bara ternyata dari kelas X IPA 1—kelasnya siswa pilihan.
“Bapak sangat berterima kasih untuk setiap kalian yang sudah berjuang sampai sekarang. Meskipun Bapak harus berkali-kali nasihatin Inka. Bapak harap, Inka jangan ngelakuin hal aneh-aneh, ya!”
“Iya, Pak. Iya,” jawab Inka dengan muka bete-nya.
Perlombaan seni rupa itu berada di sebuah ruang seni yang sudah di rombak sedemikian rupa. Supaya setiap peserta bisa menerapkan desainnya di tempat yang sudah dipersiapkan oleh panitia.
Vino mengkoordinir Inka dan timnya untuk memulai dari hal-hal sederhana; yang detail; yang mungkin saja terlewat.
Setiap tim diberikan waktu 3 jam. Dengan cekatan Vino serta timnya merangkai satu per satu desain mereka.
“Inka, tolong minta Bara buat angkat kamu, pasangin hiasan ini di pojok sana,” pinta Vino.
“Kenapa harus aku, sih, Kak? Vena juga, kan, bisa?”
Vino hanya mengode Inka dengan tatapan tajamnya.
“Ya, sudahlah, ok.”
Inka menghampiri Bara yang masih serius dengan bagiannya.
“Kamu bantu aku dulu buat pegangin penggaris ini,” ucap Bara.
Inka mengangguk saja menuruti arahan Bara.
“Aduh!!!” Inka memegang tangan kanannya.
“Kenapa?” tanya Bara lalu menghentikan sejenak yang ia kerjakan.
Bara melihat Inka yang terus memegang tangan kanannya. Bara mencoba memegang letak tanda lahir Inka.
“Jangan sentuh itu!” ucap Vena.
Vena lalu membawa Inka ke ruang istirahat. Bara dan anggota lain terkejut dan bingung dengan apa yang terjadi dengan Inka.
Vena bingung harus bagaimana karena yang tahu adalah orangtua Inka.
“Jangan hubungin mama atau papa, Na. Gue mohon.”
“Loh, kok, jangan, Na? Gue nggak tega lihat lo kesakitan kayak gini.”
“Gue, nggak apa-apa, kok. Lo balik aja ke ruang lomba. Gue baik-baik, aja.”
“Baik apanya? Lo masih kesakitan gini, Ka.”
“Demi sekolah kita dan pencarian bukti yang masih berjalan, tolong lanjutin tugas gue, Na. Sepertinya gue nggak bisa lanjutin sampai selesai. Gue di sini aja nggak apa-apa.”
“Beneran nggak apa-apa?”
Inka mengangguk—meyakinkan Vena kalau tangannya nanti bisa baikan dengan sendirinya. Vena sebenarnya tak tega. Tapi perlombaan juga sangat penting kali ini.
“Gue nggak mau kalau misalnya sekolah kita menang, yang dapat nama cuma satu orang aja, Na," ucap Inka.
Dengan berat hati Vena merangkap semua tugas Inka. Bara juga berjuang keras untuk membantu Vena. Tak disangka dari kejauhan, Inka melihat Vena diangkat oleh Bara. Entah kenapa, ada yang aneh dalam pandangannya ke arah Bara.
TTT
Tiga jam perlombaan pun selesai. Inka yang sedari tadi di ruang istirahat kini mulai melangkahkan kakinya menyusul teman-temannya.