Setiap manusia tercipta di dunia ini, memiliki peran masing-masing dalam setiap bidang yang mereka miliki—baik dalam kekurangan maupun kelebihan mereka. Demikian juga dengan setiap anak yang terlahir ke dunia, memiliki hal unik masing-masing yang membuat mereka belajar untuk bisa mencintai diri mereka sendiri—tanpa membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain.
“Na, lo punya solusi nggak, sih, buat masalah gue ini?”
“Masalah yang mana, Ka?”
“Emangnya masalah gue yang mana lagi, Na?” tanya Inka balik.
Vena menghela nafas panjangnya. “Astaga nih, anak, malah main tebak-tebakan.”
“Yang gue ceritain kemarin. Soal papa minta gue buat les Matematika, Na.”
“Oh, itu,” Vena mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kok, lo cuma manggut-manggut, aja, sih, Na?”
“Lah, terus gue musti saolto gitu?”
“Bantu gue mikirin cara, kek. Biar papa nggak datengin guru les ke rumah.”
“Bokap lo gitu, kan, buat kebaikan lo, Ka. Seharusnya lo bersyukur punya orangtua yang mikirin masa depan, lo.”
“Lo, kenapa, Na? Lo nangis?” Inka melihat Vena justru merasa sedih dengan apa yang sudah mereka bicarakan.
“Nggak, kok, Ka.”
“Maafin, gue, Na. Gue nggak ada maksud buat bikin lo sedih.”
“Udah lah, nggak apa-apa Inka sayang.”
Vena mulai berpikir cara apa yang tepat untuk membantu Inka.
“Oh, iya. Gue inget seseorang.” Vena memegang kedua tangan Inka. “Pokoknya, lo tenang, aja. Ok?”
Dengan senyum dari sudut bibirnya, Inka berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa Vena pasti bisa membantunya.
TTT
Bara sebenarnya adalah teman kecil Vena. Hanya saja, dari sejak kecil Bara memang jarang sekali bisa bersosialisasi dengan baik dengan orang lain. Vena menghampiri Bara ke kelasnya.
“Eh, Bar. Lo bisa bantu gue, nggak?” tanya Vena sambil melihat ke sekeliling.
“Bantu apa?”
“Jadi guru les privat-nya Inka.”
Mendengar jawaban Vena, sudut bibir Bara menunjukan pergerakan—senyum tipis yang jarang ditunjukannya pada orang lain.
“Hei, Bar? Lo denger gue ngomong apa, kan? Atau jangan-jangan lo cuma mau ngomong sama Inka doang?”
Vena menunggu jawaban Bara sambil mengipas-ngipaskan kedua tangannya.
Lima menit berselang ....
“Apa dia mau?” Bara mulai membuka suaranya.
“Ya ampun, Bar. Bisa mati kepanasan gue, nunggu suara lo. Udah, entar gue yang atur.”
Tanpa menunggu jawaban dari Bara, Vena yakin Bara pasti mau membantunya.
Vena berjalan dari kelas Bara sambil bersenandung kecil sampai di kelasnya. Melihat gerak-gerik mencurigakan dari Vena, Inka mulai mengintrogasinya.
“Ka, pokoknya, lo tenang aja. Entar sore, lo siap-siap aja, ya. Ada yang bakal dateng ke rumah, lo,” ucap Vena sambil tersenyum sendiri dan menggoyang-goyangkan kepala serta tubuhnya di bangku duduknya.