Di mana pun, kapan pun, dalam situasi apa pun, Inka tak pernah lepas dari hobinya melukis. Ia memandang keluar jendela kelas. Ia membayangkan jika seandainya di bumi ini, semua orang bisa merasakan bahagia dengan cara mereka sendiri. Ia melihat begitu banyak karakter berbeda yang Tuhan ciptakan. Terkadang sebagai manusia, Inka pun merasa tak bisa apa-apa. Dalam kendali orangtua terkadang membuatnya ingin sekali saja merasakan kebebasan. Seperti halnya saat dia menorehkan setiap tinta dalam media lukisnya.
“Hei ... kamu gambar apa?”
Inka terkejut karena Beno tiba-tiba sudah ada di dalam kelasnya.
“Kak Beno ke kelas Inka ada apa? Inka nggak enak dilihatin fans-nya Kakak, nih.”
“Aku ada lagu buat kamu, Ka.”
“Inka, kan, nggak lagi ulang tahun, Kak?”
“Jangan, sok, polos kali, Ka. Gitu, aja, nggak ngerti,” sahut teman-temannya yang lain.
“Udah kita keluar, aja, Ka. Banyak pengganggu.” Beno menarik lengan Inka membawanya ke taman sekolah.
Inka tertawa lepas seperti tanpa beban. Sesekali ia memandang Beno saat memetik gitarnya.
“Inka bisa gitu juga, nggak, Kak?” Inka menunjuk gitar Beno.
“Bisa, kok. Kamu mau nyoba?”
Beno mengarahkan jari-jari Inka. Inka memperhatikan dengan seksama pula.
“Oh, iya, Kak. Inka jadi inget satu hal.” Inka menghentikan sejenak latihan gitarnya. “Kak Beno pasti tahu betul soal musik, kan?”
“Iya. Tapi aku masih belajar juga, kok.”
“Kak Beno tahu maksud gambar ini, nggak?” Inka merogoh lipatan gambar dari dalam sakunya.
Seketika Beno berhenti berkata-kata. Ia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia mengambil ponsel dari dalam sakunya, yang sejak tadi ternyata sudah berdering. Beno meminta undur diri ke kelasnya.
“Ada apa, telvon, aku tadi?”
“Ben, kamu udah tahu belum, info tentang Inka les privat sama Bara?” tanya Rana.
Beno hanya memelotot ke arah Rana. Rasanya ia tak percaya dengan langkah siswa yang tak pernah berbicara itu.
“Kamu kenapa panik gitu, Ben?”
“Bukan urusan kamu!”
Beno meninggalkan Rana yang masih marah-marah karena sikapnya. Saat itu juga, Beno menemui Vena untuk meminta alamat rumah Inka. Vena sempat menolak, karena itu urusan privasi. Namun, Beno membujuk Vena dengan segala cara untuk memberikan alamat Inka padanya.
TTT
Beno berdiri di depan pintu—menunggu Inka keluar dari kelasnya.
“Kamu hari ini pulang sama siapa? Sama aku, aja, gimana?”
Vena dan Inka saling berpandangan satu sama lain.
“Maaf, Inka. Gue hari ini mau ke toko alat gambar dulu. Jadi nggak bisa anterin lo pulang,” bisik Vena.
“Tuh, Vena nggak bisa, kan? Ikut aku aja, ya?”
Inka hanya membalas dengan senyumnya.
Kepulangan Inka saat ini membuat Vina sedikit kaget. Karena bukan dengan Vena tapi seorang laki-laki.
“Aku boleh masuk, nggak?” tanya Beno.
“Buat apa, Kak?”
Meskipun Inka sudah beberapa kali bercanda dan ngobrol bersama Beno, tapi kedatangan seorang laki-laki sengaja ke rumahnya adalah untuk pertama kalinya.
“Tenang, aja. Aku cuma mau pamitan sama mama kamu doang, kok. Tuh, mama kamu udah nungguin.”
“Ok. Maaf, ya, Kak.”
“Ajak masuk, aja, sayang temennya,” ucap Vina menghampiri Inka dan juga Beno yang masih berdiri di depan gerbang.
Mama ini ngapain, sih?
“Nggak tahu, nih. Inka nggak pernah bawa temen cowoknya ke rumah. Jadi tante kaget, aja.”
Terus Bara nggak dianggep temen cowoknya Inka?
Beno merasa dirinya laki-laki pertama yang diakui kedatangannya oleh Vina.
“Oh, iya tante lupa. Kemarin ada cowok juga seumuran Inka. Dia ke sini buat jadi guru privat Inka.”
Oh ... Berarti bener. Si Bara jadi guru privat-nya Inka.