Vina mengamati Adi yang sangat getol sekali menata satu per satu cat warna dalam palet. Kanvas, kuas dan pisau palet pun sudah tersedia. Vina menjadi model lukis Adi kala itu. Vina menempatkan posisinya sedang duduk, dengan sedikit memiringkan kepalanya ke kanan dan dibubuhkan sedikit senyum juga. Adi memperhatikan setiap detail dari anggota tubuh Vina—terlebih sudut bibirnya dengan senyuman yang menawan—jangan sampai terlewatkan. Sesekali Adi mendekat ke arah Vina untuk memastikan supaya tak ada sisi yang terlewat. Dengan sabarnya, Vina juga menunggu dan mengikuti arahan dari Adi. Sembari menunggu, tak jarang Vina juga memberikan semangat dengan mengedipkan matanya pada Adi. Sungguh pemandangan yang tak bisa terlupakan kala itu.
Hubungan Adi dan Vina telah terjalin begitu lama. Bahkan jauh sebelum mereka berpacaran, mereka adalah teman yang lama tak bersua dan dipertemukan kembali dalam pameran seni. Iya. Vina juga sangat menyukai seni. Untuk itulah ia sangat tahu betapa cintanya Adi pada hobinya itu.
Sampai suatu hari, Vina harus memilih di antara pilihan sulit orangtuanya. Antara di sekolahkan ke perguruan tinggi atau menikah dengan Adi. Keputusan yang sangat sulit bagi Vina, karena itu adalah cita-citanya sejak kecil.
“Apa salahnya jadi seorang seniman, Yah?” tanya Vina.
“Tidak ada yang salah. Hanya saja, Ayah tidak ingin hidupmu kekurangan. Masih banyak laki-laki yang bisa dapatin kamu. Ayah sudah tanya ke Adi, dan dia tidak bisa meninggalkan keduanya. Sebagai seorang laki-laki seharusnya dia bisa memilih mana yang terbaik bagi masa depannya.”
“Apa kebahagiaan harus diukur dari materi saja, Yah? Selama ini ayah selalu melihat Vina bahagia bersama Adi, kan, Yah?”
“Adi selalu punya cara untuk membuat Vina tersenyum. Vina sejak kecil juga cinta dengan dunia seni. Kami percaya ada masa depan lain yang Tuhan rencanakan untuk keluarga kami nanti, Yah,” lanjut Vina.
Sebagai seorang laki-laki, begitu beratnya menerima kenyataan dijatuhkan harga dirinya seperti ini. Apalagi dari keluarga calon istrinya sendiri. Bahkan Adi tak pernah berpikir, Vina lebih memilihnya daripada perkataan ayahnya sendiri.
TTT
Adi terkejut saat Vina membangunkan lamunannya saat itu.
“Papa mikirin apa?”
“Papa, mau ganti guru privat Inka, Ma.”
“Loh, alasannya apa, Pa? Dia, kan, anak temen Papa sendiri?”
“Dia tidak bisa konsisten dengan tanggungjawabnya. Apalagi kalau dia nanti sudah berkeluarga,” terang Adi.
“Terus apa hubungannya dengan Bara, Pa?” Inka muncul dari belakang Adi.
“Papa seharusnya lihat dulu gimana dia. Baru bisa pastiin, dia cocok buat jadi guru privat kamu atau tidak.”
“Kamu coba hubungin Bara. Suruh ke sini untuk terakhir kalinya buat ajarin kamu.”
“Papa sebenarnya maunya apa, sih?” tanya Inka.
“Papa nggak mau kamu nanti diremehin sama orang lain, Ka. Papa nggak mau kamu harus menelan pil pahit karena dijatuhkan harga dirimu. Papa pengin kamu sukses. Pakai pakaian rapi dan disegani banyak orang.”
“Untuk apa itu semua kalau Inka tidak merasakan bahagia, Pa?”
“Karena kamu anak satu-satunya Papa, Ka. Papa nggak mau kamu nanti menyesal dikemudian hari karena ego kamu sendiri.”
“Papa laki-laki, dan Inka perempuan. Pastinya beda lah, Pa. Jangan samain Inka sama Papa. Jangan samain waktunya Papa dengan Inka. Jangan salahin kenapa Inka anak satu-satunya di keluarga ini, Pa. Inka capek.”
Inka berjalan menuju kamarnya, tanpa mencopot seragamnya; tanpa makan pula, Ia kembali pergi ke luar rumah. Ia membawa sketchbook dalam tangannya.
Vina mencoba menasihati Inka, tapi Inka tetap saja pergi.
“Mama tenang, aja. Inka sama Vena.”
Adi hanya bisa menatap punggung Inka dan melihat putri satu-satunya itu sudah mulai dewasa pemikirannya.
Dalam perjalanan, Vena melihat dari kaca spion-nya, Inka berkali-kali mengusap air matanya. Vena membiarkan Inka untuk mencerna setiap perkataan dan perbedaan pendapat papa-nya dan juga dirinya.