Menjadi seorang pilihan untuk bertanggungjawab dalam suatu hal, tak bisa dipungkiri kita akan menemui kendala atau faktor lain yang justru akan menghambat kita melakukannya. Entah itu bisa dari luar atau dalam diri kita sendiri.
Melihat kerjasama Inka dan Bara yang perlahan mulai bisa terlihat, Pak Firman tak begitu saja bisa mengganti Inka dengan oranglain. Apalagi melihat kerja keras Inka selama ini. Tentu saja Pak Firman tahu betul bagaimana perasaan Inka saat ini. Meskipun dalam pelajarannya sendiri, Inka tidak pernah bisa serius.
Saat pelajaran Matematika hari itu selesai, Pak Firman menghampiri Inka di tempat duduknya. Vena mencoba memberikan waktu untuk keduanya. Ia memilih undur diri dari tempat duduknya.
“Bapak tidak akan berubah pikiran, Ka. Bapak akan tetap berusaha memberikan pengertian untuk ayah kamu. Bapak tidak mau kamu kehilangan semangat seperti ini. Meskipun Bapak berkali-kali harus kamu cuekin saat pelajaran Bapak sendiri, namun melihat kamu seperti ini Bapak tidak bisa, Ka.”
Mendengar kalimat yang terucap dari Pak Firman, membuat Inka merasa tidak sendirian. Masih ada yang mendukung impiannya sampai sekarang ini.
Melihat posisi Inka saat ini, Vena juga tidak bisa berbuat banyak. Yang ada dalam pikirannya, terlalu beruntung Inka bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang. Sedangkan dirinya tidak. Bahkan keadaan orangtuanya saat ini juga tidak bisa membantunya banyak.
TTT
Keanehan yang terjadi dengan keputusan ayah Inka, membuat Bara semakin yakin, pertemuan antara Beno dan Rana kali ini ada hal yang harus diketahuinya.
“Eh, Ben. Kamu tahu nggak? Aku udah bikin pertarungan antar sahabat itu, loh. Hahaha ...,” ucap Rana dengan tanpa bersalah.
“Maksudnya?”
“Kamu udah denger, kalau si “gadis tinta itu” dilarang sama papa-nya buat urusin pensi sekolah kita?”
Rana melihat senyum sinis dari sudut bibir Beno.
“Itu emang rencana aku. Baru tahu?”
“Gimana caranya?” tanya Rana sedikit mengeraskan suaranya.
“Aku kira kamu cewek paling hits di sekolah ini. Gitu aja nggak tahu.”
Beno sedikit mendekat pada Rana.
“Entar aku kasih tahu. Di sini ada mata-mata,” bisik Beno.
Rana dan Beno pun berjalan ke arah yang berlawanan. Padahal belum sempat Bara mendengarkan apa rencana mereka.
Belum cukup bukti juga Bara untuk menemukan siapa pemilik lengan yang dijahit itu. Belum saatnya pula ia mengungkap pelakunya. Namun dari gerak-gerik Beno maupun Rana, rasanya Bara semakin yakin, bahwa dugaannya selama ini tidak salah.
Bara datang ke ruang seni rupa, saat semua siswa mendapatkan jam pelajaran di kelasnya masing-masing. Tak terkecuali kelas X Bahasa. Namun begitu kagetnya Bara melihat Vena berada di ruang seni rupa juga.
“Vena?”
Vena terkejut mendengar ada suara yang memanggilnya.
“Apa yang kamu lakuin di sini?”
Vena tak menjawab. Ia hanya menatap Bara secara sekilas lalu pergi begitu saja.
Bara melihat ada keanehan dari gelagat Vena saat itu. Tidak biasanya Vena menampakan wajah kebingungan seperti itu. Padahal setahu Bara, Vena selalu saja mengerjai dirinya.
“Sebagai siswa teladan, aku nggak nyangka, kamu bisa juga bolos jam pelajaran.”
Bara menoleh ke belakang. Inka berdiri di tengah pintu dengan melipatkan kedua tangannya ke dada.
“Kamu kangen aku?” tanya Bara.
Buset dah, bisa aja omongan gue dimentahin, nih, cowok sariawan?
“Jangan GR, ya. Kita udah nggak satu tim lagi. Jadi jangan harap—”
“Kamu tenang aja. Desain nanti kupastikan beres. Kamu hanya perlu datang ke ruang seni ini sebentar saja ketika jam pelajaran dimulai,” potong Bara.
“Kamu gila, ya?”
“Kenapa? Ide aku salah?”
Tiba-tiba Inka menepukkan kedua tangannya.
“Ide kamu bener-bener gila. Kenapa aku nggak kepikiran sampai situ?”
Inka berjalan menghampiri Bara dan duduk berhadapan seperti biasa. Mereka saling berkonsentrasi satu sama lain dan membereskan desain mereka.