Melihat Beno yang tersenyum sinis di samping panggung, Rana berjalan cepat untuk menghampirinya.
“Apa yang kamu rencanain sebenarnya, Ben?”
“Lihat, aja. Bentar lagi, bukan hanya hobinya aja yang bakal sirna. Persahabatan mereka juga bakalan hancur! Hahaha ....”
Rana mencoba mencerna setiap perkataan Beno. Ia benar-benar yakin, Beno memang sangat serius untuk menghancurkan Inka. Tapi ada satu hal yang masih Rana rahasiakan sampai sekarang dari Beno.
“Kenapa kamu bisa kenal sama papa-nya Inka? Apa hubungannya dengan yang kamu rencanain?”
Beno hanya tersenyum sendiri membayangkan rencananya yang sebentar lagi akan berhasil.
“Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, ya, Ben?”
“Bukan masalah cara siapa yang akan berhasil. Yang terpenting tujuan kita sama,” jawab Beno sambil berjalan meninggalkan Rana yang masih berdiri tak berkata-kata.
Rana seketika terbangun dari lamunannya ketika melihat Bara yang tiba-tiba melewatinya begitu saja. Setelah dirasa cukup jauh, Bara menengok kembali ke arah Rana. Rana seperti merasakan ada sesuatu yang diketahui oleh Bara. Cepat-cepat ia berbalik arah dan berjalan dari tempat ia semula.
Di sisi lain, Bara teringat kejadian sewaktu Inka harus terpaksa pulang dengan ayahnya. Ia merasakan kejanggalan yang makin terasa dengan sikap Vena. Sama sekali ia tak melihat pergerakan Vena untuk membela atau pun menolong Inka.
Semua tim seni rupa juga masih tak percaya dengan kejadian yang baru saja mereka lihat. Tak terkecuali Vino yang masih duduk di samping Vena.
“Sepertinya, aku memang mencium hal yang tak beres dari kalian berdua,” ucap Vino.
“Maksud kamu?”
“Sepertinya, aku udah nggak kenal Vena yang dulu.”
Vena menoleh ke arah Vino. “Kamu ternyata sama dengan yang lain, Vin. Aku juga salah menilaimu. Kupikir, kamu nggak akan berkata seperti itu padaku.”
Vena mencoba berdiri meskipun dengan tubuhnya yang masih sempoyongan. Vino mencoba untuk membantunya berdiri, namun ditolak oleh Vena.
Pak Firman tidak mau membuat siswa lain di sekolah menjadi kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Disatu sisi juga menghargai keputusan ayah Inka. Beliau meminta tolong pada Beno untuk bisa menasihati Rana dan kawan-kawannya tim seni musik untuk mengisi kekosongan acara.
“Udahlah kita bantu aja. Itung-itung, bisa bikin nama kita balik lagi,” ucap Rana.
“Enak, aja. Dengan mudahnya minta tolong pas lagi butuh aja. Kemarin ke mana aja?”
“Setidaknya, itu yang minta Pak Firman sendiri, Ben. Kali aja bakal ada pertimbangan lain buat tim musik kita. Kasian tuh anak-anak. Sebenernya mereka pengin banget buat ngisi pensi ini. Cuman—”
“Cuman apa?” potong Beno.
“Aku nggak mau aja lah, kalau Pak Firman cuma belain si “gadis tinta” itu. Udah muak gue lihat sikap sok polosnya.”
Setelah perundingan yang cukup alot antara, Rana dan Vino, Pak Firman akhirnya memutuskan dengan cara memenuhi syarat yang diajukan oleh Rana.
Vino tak menyangka, segala persiapan yang matang jauh-jauh hari harus mengalami perubahan yang tak disangkanya sama sekali. Sebagai seorang ketua, ia merasa gagal karena sudah membuat kecewa teman-temannya bahkan sekolahnya. Padahal ini adalah acara pembuktian kerja keras tim seni rupa selama ini.
TTT
Vina melihat Inka berjalan menunduk di belakang Adi.
“Sayang, kamu kenapa?” Vina memapah badan Inka masuk ke rumah.
“Biarin dia di rumah dulu, Ma. Jangan izinin dia kemana-mana dulu!”
Inka menatap tajam papa-nya.
“Lalu sekolahnya gimana, Pa?”
“Papa udah minta kelonggaran waktu buat Inka. Sudah. Papa capek. Mama urusin putri kesayangan Mama itu.”
“Sebenarnya ada apa sayang?”
Inka melepas tangan Vina yang sedari tadi memijitnya.
“Maafin Inka, ya, Ma. Inka terlalu egois sama impian Inka, sama hobi Inka. Jadinya buat Mama jadi bahan omelan papa.”
Vina mengelus-elus rambut Inka yang bergelombang.
“Rambut Inka mungkin nggak bisa diacak-acak lagi sama dia, Ma.”
“Loh? Siapa yang udah nggak sopan sama putri kesayangan Mama?”
“Udah, Ma. Nggak apa-apa, kok. Apa yang Mama lakuin ini tadi, bikin Inka inget sama seseorang aja, Ma.”
“Udah main rahasia-rahasiaan nih, sama Mama? Sampai nggak bilang namanya?”
“Idih, Mama. Kepo, deh.”
“Ma ...,” lanjut Inka.
“Iya, sayang, ada apa?”
“Kalau Inka jadi guru Matematika nanti, tapi sambil jadi seniman, cocok nggak, Ma?”
“Kamu ngomong gini karena nggak putus asa sama sikapnya papa, kan, sayang?”
“Inka cuma pengin wujudin impian Inka, Ma. Tapi disatu sisi Inka juga pengin wujudin impian papa. Namun sayang, Inka nggak bisa lakuin keduanya. Maafin Inka, Ma.”