Tanda Lahir

Era Chori Christina
Chapter #19

Salah Terka

Entah karena terlalu berpikir positif atau karena Inka yang terlalu baik. Ia tak tahu jika semua itu terjadi karena suatu persengkongkolan untuk menghancurkan dirinya. Ia bergegas menuju kelas Vino. Lebih mengejutkannya lagi, ia melihat Bara yang juga berada di kelas itu juga.

“Udah, kamu ngaku aja? Dulu yang mencuri uang seni rupa kamu, kan, Ben?” Vino menegaskan ucapannya.

“Jangan ngaco! Nuduh orang sembarangan.”

Vino memberikan bukti gambar yang ciri-cirinya sama dengan Beno: anak seni musik, ada gambar gitar juga not balok.

Mengetahui hal itu, Inka teringat dengan gambar yang  pernah ditemukannya di taman sekolah. Ia bergegas untuk mengambil potongan gambar itu dari sketchbook dalam tasnya. Inka ingin sekali mengajak Vena untuk bisa mengetahui bersama kelanjutan dari kasus yang membuatnya harus dijauhi oleh teman-temannya. Namun Vena seakan tidak peduli dengan sikap Inka yang begitu tergesa sampai hampir terjatuh terantuk kakinya sendiri.

Inka berlari dan menerobos dalam kerumunan siswa lainnya. Ia menemukan Beno dan menjelajahi lengan seragam Beno. Tapi tak ditemuinya bekas jahitan di sana. Beno merasa sangat terintimidasi. Dia tak terima dengan perlakuan Inka juga Vino yang mengintrogasinya seperti ini di hadapan siswa lainnya.

“Seragam Kak Beno ini aja?”

“Maksud kalian ini apa? Kalian menuduh aku hanya dengan gambar yang entah kalian tahu itu dari mana?” Beno menyinggungkan senyum sinisnya. “Pantas saja. Kalian terlalu halu hanya dengan gambar. Pakai logika kek kalau mau fitnah orang. Aku jadi curiga, kalian justru yang mau ngejebak aku gara-gara pensi kemarin gagal, kan?” lanjutnya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Vino dan Inka.

Inka mencoba mencerna setiap kalimat Beno.

Sepertinya Kak Beno emang nggak bohong. Tapi kenapa bukti yang gue punya sama dengan yang dibawa sama Vino? Dia dapat dari mana sebenarnya gambar itu? Apa dari orang yang sama dengan yang gue temuin?Lantas ini perbuatan siapa? Kenapa bukti itu mengarah ke Kak Beno?

Inka berbisik pada Vino. “Sepertinya bukti itu belum cukup, Kak. Atau mungkin ada yang pengin adu domba kita; anak seni musik sama seni rupa.”

Vino dan Inka meminta maaf pada Beno dan memberikan penjelasan pada teman-temannya. Namun tak berselang lama datanglah Rana membawa gitar Beno, yang dulu pernah diberikannya pada Vena sebagai ganti rugi uang seni rupa yang hilang.

“Beno sengaja pakai gitarnya buat nutupin kesalahannya. Dia juga udah sekongkol sama anak musik lain supaya acara pensi kemarin gagal.”

Beno mengernyitkan dahinya. “Apa ini rencana yang kamu maksud itu Rana?”

“Udahlah, Ben. Nggak usah ngelak lagi. Bukti udah ada di tangan kita semua,” imbuh Rana.

Beno memejamkan mata, menarik nafasnya dalam-dalam dan menghelanya. “Iya. Aku mau ngomong jujur sama kalian semua.”

Pak Firman datang menyelinap dari belakang siswa lainnya.

“Iya. Aku emang iri sama kalian anak seni rupa. Sekolah ini nggak adil karena memperlakukan aku kayak gini. Aku juga pernah bikin sekolah ini dapetin juara. Tapi kenapa setelah kekalahan dulu, buat semuanya melupakan kerja keras aku? Aku emang pengin buat Inka gagal dan hancur karirnya, tapi tidak dengan mengambil uang seni rupa itu. Aku nggak sebodoh itu ambil uang anak-anak lain.”

“Jadi selama ini Kak Beno deketin aku cuma manfaatin doang?” Inka melihat Beno yang hanya menatapnya.

“Kenapa masalahnya jadi rumit gini? Siapa yang salah sebenarnya?” Inka berjalan lemas ke taman sekolah. Ia mencoba mencerna setiap perkataan Beno yang begitu menyakitinya. Ia tak menyangka sama sekali Beno memiliki pikiran untuk menghancurkan impiannya. Sesekali ia melihat gambar petunjuk itu dan kembali melamun.

Pak Firman memutuskan untuk melerai kejadian itu. Beliau akhirnya mengetahui bahwa kedatangan ayahnya Inka adalah salah satu rencana Beno. Pak Firman juga merasa bersalah karena menjadi salah satu sumber dari masalah yang menyeret nama sekolah juga. Namun Pak Firman sangat menghargai kejujuran dari Beno. Beliau juga memberikan pengertian untuk semua siswa yang datang melihat kejadian itu, bahwa ini semua karena adanya salah paham dan kurangnya komunikasi. Pak Firman meminta untuk setiap siswa tidak mengucilkan atau membuat berita yang belum benar meskipun ada bukti yang sudah mengarah.

Pak Firman juga meminta keterangan pada Rana berkaitan dengan gitar milik Beno kenapa bisa dia yang membawa, padahal itu sudah diberikan pada Vena.

 

TTT

 

Ide yang diberikan Bara—Inka bisa belajar Matematika di sanggar miliknya—membuatnya tanpa diminta begitu antusias untuk melakukannya. Bara pun sudah memberikan pengertian pada orangtua Inka, terlebih Adi. Bahwa Inka hanya butuh untuk diberi kepercayaan juga kebebasan yang bertanggungjawab. Adi melihat begitu seriusnya Bara dengan apa yang ia ucapkan. Sangat sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan. Perlahan, Inka sekarang sudah sedikit demi sedikit berniat untuk mengerjakan tugas Matematika—karena sebelumnya ia selalu minta bantuan pada Vena. Karena kini hubungan mereka sedang tak baik-baik saja, ia harus berjuang untuk bisa membanggakan sahabatnya itu.

Yah ... entah kenapa gue masih saja menganggap diri ini sahabatnya. Padahal gue mungkin udah buat hal menyakitkan yang nggak gue sengaja. Tapi apa?

“Nggak usah dipikirin berat-berat.” Bara membangunkan lamunan Inka.

“Emangnya kamu tahu akau mikirin apa?”

“Paling kamu bingung mau kasih kado aku apa?”

“Kado? Emangnya kamu ultah?”

“Hahaha... nggak, sih. Eh, lebih tepatnya udah lewat.”

Inka hanya menganggukan kepalanya dengan mulut membentuk huruf O.

Aku ini ngapain, ya?

Bara menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Sini aku bantuin.” Inka ikut mengacak-acak rambut Bara. “Kamu bawa shampo nggak?” imbuh Inka sambil tertawa dengan sendirinya; meniru gaya Bara.

Sialan, kalimatku dibalikin ke aku sendiri.

“Oh, iya. Kamu pernah lihat di sekolah kita ada laki-laki mencurigakan nggak? Maksud aku yang ciri-cirinya kayak gini.”

Inka menunjukkan gambar tangan dengan tanda di tangannya pada Bara.

Sejenak Bara terdiam. Apa Inka tahu yang sebenarnya?

“Kok bengong, gitu? Kamu kan pinter tuh, makanya apa salahnya aku tanya kamu. Kali aja rumus Matematika-mu bisa bantu aku nemuin nih orang.”

“Emangnya kenapa kamu penasaran sama nih orang?”

“Soalnya mungkin dia jodoh aku,” jawab Inka dengan polosnya.

“Hahahahaha ....”

Inka bingung sendiri dengan sikap Bara. Ia baru sadar Bara bisa tertawa seperti itu.

“Sariawan kamu udah sembuh?”

Lihat selengkapnya