Belakangan ini, Adi lebih sering melihat putrinya diantar jemput oleh orang lain. Tak lain tak bukan ia adalah saudara Bara: Saga, meski tak sedarah. Dengan cerdiknya Saga memberikan penjelasan jika ia pemilik sanggar melukis tempat Inka belajar Matematika. Dengan sombongnya, Saga menceritakan bagaimana sepak terjangnya dalam dunia seni. Bahkan tanpa sepengetahuan Adi, Saga mengetahui jika Adi sangat menentang Inka terjun dalam dunia seni. Adi seperti merasakan kejanggalan dari setiap cerita Saga. Insting seorang ayah bagi Adi sekarang ini sedang diuji. Ia berharap Bara tak lari dari tanggungjawabnya. Ia masih menimbang cerita siapa yang lebih benar kali ini; seperti halnya tak yakin melepas Inka yang akhir-akhir ini bersama dengan orang yang baru dikenalnya. Sejenak, Adi teringat akan Vena. Adi menanyakan kabar Vena pada Inka. Sayangnya, Inka juga belum berhasil membuat Vena jujur akan apa yang sedang terjadi dengan dirinya.
TTT
Inka melihat pemandangan lain pagi ini. Ia melihat buku musik yang terbuka berada di atas meja Vena. Ia juga melihat not balok yang tersusun rapi di buku Vena. Ingin rasanya Inka melihat dan membuka buku tersebut, hanya saja ia ragu; takut jika itu akan semakin menambah permasalahan mereka. Namun, bukan Inka jika ia tidak memiliki keinginan yang gigih untuk kebaikan semua orang. Ia berusaha sedikit demi sedikit membuka lembar demi lembar buku Vena. Ia tak menyangka menemukan foto Bara di sana. Inka terduduk lemas di bangkunya. Dengan berat, ia berusaha mengembalikan posisi buku itu seperti semula.
Apa karena ini, Vena menjauh dari gue? Apa selama ini Vena suka sama Bara? Tapi dia kan yang menyarankan sendiri Bara jadi guru privat gue? Gue jadi bingung sendiri. Atau maksud pembicaraannya kemarin itu berkaitan dengan Bara?
“Itu pasti Bara!!” Inka mengatakannya begitu saja dengan kerasnya sampai membuat seisi kelasnya menoleh padanya.
Tanpa mempedulikan anggapan akan sikap anehnya pagi itu, Inka sedikit berlari menuju kelas Bara. Inka melihat Bara sedang menaruh earphone di telinganya sambil membaca buku. Inka masuk ruang kelas Bara dan meraih tangan kanan Bara. Seketika Bara terkejut dan mengelak tangan Inka dengan kasarnya.
“Kamu apa-apaan pegang tangan aku gitu?”
“Aku cuma mau mastiin, apa tanda di tangan kamu itu sama seperti yang aku cari selama ini atau bukan, Bar.”
“Aku, kan, kemarin udah bilang ke kamu. Ini cuma bekas luka terkena kayu bakar. Udah kamu balik ke kelas saja. Bentar lagi pelajaran Pak Firman,” jawab Bara nyolot.
“Kenapa malah jadi bahas Pak Firman? Apa hubungannya? Apa aku nggak salah denger kamu bicara kasar seperti itu ke aku?”
“Sudah waktunya buat nunjukin kemampuan kamu. Aku udah capek ajarin kamu terus!”
Inka memasang muka terkejutnya. Ia tak akan menyangka Bara mengeluarkan kalimat seperti itu di hadapannya.
“Jadi, kamu selama ini terpaksa buat ajarin aku?”
Tak ada jawaban dari Bara. Ia hanya fokus dengan buku yang ada di depannya. Dengan langkah gontai, Inka keluar dari kelas Bara menuju ruang seni rupa. Ia bertemu dengan Vino dan menceritakan apa yang sudah terjadi. Vino sendiri pun tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bara pada Inka. Meskipun sebenarnya Vino sudah tahu, jika selama ini dalam hati Vena hanya ada Bara. Cepat atau lambat Inka pun juga akan tahu. Dan hal yang ditakutkan Vino sebentar lagi akan terjadi. Ia sangat khawatir dengan Bara. Bagaimanapun juga, meskipun Bara adalah saingannya untuk mendapatkan Vena, namun ia tak bisa jika melihat dua orang yang sebenarnya saling memiliki ikatan ini: Bara dan Inka harus berpisah; bahkan sebelum waktunya.
Vino menunjukkan hasil dari kamera yang ia tempatkan di setiap sudut sekolah; terkecuali motor Bara. Karena baik Inka maupun Vino belum ada yang sempat mengambilnya. Dalam video itu, Inka justru menemukan hasil lain yang tak pernah ia duga.
“Ini benar pelakunya Vena, Vin? Atau apa, sih, ini maksudnya? Aku nggak ngerti.”
“Sebenarnya aku salah mengatakan kebenaran ini padamu, Ka. Namun, aku rasa kamu perlu tahu soal ini karena kamu adalah sahabat Vena. Aku percaya kamu bisa bantu Vena. Tenang aja, Pak Firman juga menjaga rahasia ini, kok. Sampai waktu yang tepat, Pak Firman memintaku untuk menyelesaikan ini bersama pihak sekolah. Aku juga udah bantu Vena dengan tabungan aku untuk mengganti uang itu.”
“Kenapa kamu sampai lakuin seperti ini, Vin?”
“Nggak tahu, Ka. Hatiku menuntunku untuk melakukan itu semua. Meskipun rasanya aku lelah sendiri, harus berjuang sendiri. Namun, aku merasa bahagia bisa membantunya.”
Vino mengeluarkan selebaran poster pada Inka.
“Ini ,kan, audisi band? Ini buat aku? Aku nggak bisa main musik kali, Vin.”
“Siapa bilang itu buat kamu. Itu buat Vena. Aku minta tolong sama kamu. Berikan itu sama Vena. Kalau kamu bisa membujuknya, itu jauh lebih baik.”
“Tapi, kan—” Inka merasa ragu dengan dirinya sendiri.
“Aku tahu kamu bisa, Ka. Vena harus nyelesaiin sekolahnya di sini. Kamu nggak mau, kan, kalau dia harus berhenti gitu aja?”
“Tapi apa ini bisa membantu, Vin?”
“Menang atau pun kalah itu urusan belakang. Yang penting kita coba dulu.”
Inka menerima poster itu dan membawanya ke kelas. Ia duduk dan meletakkan perlahan di dekat Vena yang sedari tadi tertunduk menulis not balok. Vena menoleh ke arah poster itu.
“Ini maksudnya apa?”
“Ini bukan dari gue, Na. Jadi tolong terima ini.”
“Nggak perlu.” Vena meletakkan poster itu di meja Inka.
“Terserah lo deh, Na. Gue udah nggak tahan lihat lo kayak gini terus. Oh, iya, lo kemarin ditanyain papa juga. Gue nggak tahu harus bilang gimana, Na. Dosa apa sih gue sama lo? Sampai lo segininya benci sama gue. Apa ini semua gara-gara—” Hampir saja Inka keceplosan. Jangan sampai apa yang diketahuinya saat ini diketahui oleh Vena terlebih dulu. Karena taruhannya adalah persahabatan mereka akan semkain hancur. Inka merasa ia harus menyelesaikan semuanya satu per satu supaya tak ada kesalahpahaman lagi.
Tak terdengar suara Inka lagi, Vena mencoba menoleh padanya. Ia lalu menarik poster itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Tanpa banyak bicara dan merespon Inka saat itu. Tak peduli balasan sikap apa yang diberikan Vena, bibir Inka tersenyum. Ia percaya pasti ada secerca harapan bahwa Vena masih menganggapnya sahabatnya. Melihat Inka yang berjalan keluar kelas, Vena melihat kembali poster itu. Ia mengamati lebih dalam.
Pelajaran terakhir hari ini pun kosong. Vena meminta Beno untuk menemuinya di taman sekolah.
“Untuk apa kamu memintaku ke sini?” Mengingat fitnah yang mendarat pada dirinya kala itu, membuat Beno masih menyimpan kemarahan pada Vena.
“Aku ingin bantu Kak Beno dapetin posisi lagi di sekolah ini.”