Tanda Lahir

Era Chori Christina
Chapter #22

Sebuah Pengakuan

Inka mengambil satu persatu peralatan melukisnya dan mengembalikannya ke tempatnya. Rasanya ia sudah tak semangat lagi dengan kompetisi yang direkomendasikan oleh Saga. Ia mendapati gambar muka Bara ada di dalam tasnya. 

“Kenapa gue nggak bisa konsisten sama omongan gue sendiri? Apa gue udah lupa dulu pernah ngucapin kalimat itu? Terus kenapa gue gambar dia juga, sih?” Inka termakan dengan ucapannya sendiri. Ia tak sadar pikirannya saat ini dipenuhi dengan Bara. Ia tak pernah melihat bahkan mendengar perkataan Bara yang kasar seperti kemarin. Inka merasa ada yang tak beres antara Bara dan juga Saga.

Secara diam-diam Inka mulai mencari tahu kenapa Bara tiba-tiba berubah.

 

TTT

 

Seluruh siswa SMA Angkasa dihebohkan dengan ditemukannya gambar yang menempel di mading sekolah mereka. Setelah diamati lebih dalam, gambar itu berkaitan dengan pencurian uang seni rupa waktu lalu. Namun sebagian besar dari mereka tak ada yang tahu maksud dari gambar itu. Patahan teka-teki yang tertempel itu terlalau sulit diartikan oleh orang yang tidak mengenal betul siapa pelakunya.

Begitu riuh suasana pagi itu. Mereka saling melempar tanya, siapa pembuat gambar petunjuk tersebut. Saat itu Rana hanya melihat dari kejauhan. Ia pun pergi menemui Vena.

“Bagaimana ini bisa terjadi? Awas, ya kalau kamu sampai menyeret namaku!” Rana mendorong lengan Vena dengan kasarnya.

“Ada apa, Kak? Siapa yang menyeret nama siapa?”

“Kamu pura-pura nggak tahu atau emang bodoh, sih? Lihat sana ke mading sekolah!”

Vena bergegas menuju mading sekolah, meninggalkan Rana begitu saja dengan emosinya yang masih membara karena perbuatannya yang akan segera terbongkar.

Langkah Vena mulai memelan ketika sampai di depan mading sekolah. Ia semakin mendekat. Ia meraba setiap gambar yang tertempel di sana. Siswa lain yang masih berada di tempat itu saling berbisik satu sama lain.

“Eh, Na, kamu, kan, anak seni rupa. Pasti ngerti dong maksud dari gambar abstrak itu?” tanya salah satu siswa.

Vena tak merespon sedikitpun.

“Eh, maaf aku lupa. Kamu, kan, sekarang anak musik.” Siswa yang bertanya itu pun pergi meninggalkan Vena yang masih saja terdiam dan tak bergerak sedikitpun.

Dari kejauhan, Vino berlari dan menghampiri Vena lalu memeluk setengah badannya. Siswa lain pun terkejut dengan perlakuan Vino pada Vena saat itu. Karena setahu mereka, Vino lebih dekat dengan Inka. Ada hubungan apa Vena dan Vino? Itu pikir mereka.

Perlahan Vino membisikkan kalimat untuk menenangkan Vena. Ia tahu bagaimana perasaan Vena saat ini. Ia pasti takut jika harus di-bully oleh teman-temannya. Meskipun pihak sekolah tahu, tapi tekanan dari siswa lain itu yang lebih menakutkan. Vino melepas pelukannya; mengambil semua gambar yang terpajang lalu menarik lengan Vena, menjauh dari kerumunan siswa yang membicarakan mereka.

“Sudahlah, Vin. Kamu nggak perlu membelaku. Semuanya pasti akan tahu.”

“Belum. Mereka belum tahu, Na. Aku udah berusaha sampai saat ini menyembunyikannya dulu. Tapi, kenapa tiba-tiba ada gambar itu di mading? Siapa yang membuat bahkan menempelkannya, aku juga bingung.”

Vena menguatkan tekadnya. “Vin, kali ini tolong jangan ikuti aku dan jangan cegah aku!”

Vino melihat arah langkah Vena menuju ruang audio di sekolah mereka. Vino gelisah sendiri. Ia ingin sekali meyusul Vena, tapi dia tidak bisa mengelak pesan Vena tadi untuk tidak mengikutinya.

Perlahan Vena membuka pintu ruang audio. Ia melihat ada satu siswa yang saat itu bertugas. Vena meminta tolong supaya jangan ada yang boleh masuk ke ruangan itu sebelum ia selesai berbicara.

Setelah memastikan mikrofon aktif dan menyiapkan betul-betul dirinya, Vena mulai memajukan mulutnya dan mengeluarkan suaranya.

“Tes ... tess ... ehmm ....” Seperti ada yang mengganjal tenggorokannya saat itu. Vena mencoba membuat sebisa mungkin dirinya rileks.

“Selamat pagi temen-temen semua. Aku Vena dari kelas X Bahasa.”

Beberapa aktivitas siswa: dari yang memegang buku, bercanda dengan temannya, yang masih ada di depan mading, sedang menikmati semangkuk bubur ayam di kantin, semuanya berhenti sejenak dan mendengarkan suara diujung mikrofon audio sekolah.

“Sebelumnya aku mau ngucapin permintaan maafku, terlebih kepada Pak Firman serta pihak sekolah yang dirugikan dengan hal ini. Begitupun Vino dan juga sahabatku Bara dan Inka. Aku minta maaf karena sudah buat kalian yang begitu dekat denganku, harus kehilangan diriku yang dulu. Bahkan aku harus keluar dari tim seni rupa juga. Ini semua semata-mata karena ... aku malu sama kalian semua. Aku nggak tahu harus cari uang kemana lagi saat itu. Aku butuh uang dengan segera karena ayahku sakit keras. Sedangkan ibuku hanya bekerja seadanya ....”

Vena menoleh ke belakang karena terdengar ada suara yang memanggilnya.

“Na ... tolong jangan bilang sekarang! Aku bakal bantu kamu dengan cara lain. Nanti gimana kalau kamu—” Vino menghentikan kalimatnya. Ia berusaha untuk berlari secepat mungkin menemui Bara.

“Seorang yang mengambil uang itu adalah aku; Vena. Jujur aku iri dengan sahabatku Inka.”

Mendengar namanya disebut, Inka berjalan pelan ke ruang audio. Sembari mendengarkan penjelasan Vena, yang sebenarnya sudah diketahuinya.

“Teman deket aku, sahabatku, semuanya lebih dekat dengannya. Nggak ada yang pernah menanyakan gimana keadaanku sekarang. Gimana keluargaku? Apakah aku bisa bertahan atau tidak di sekolah ini? Sekali lagi aku minta maaf karena membuat kekacauan di sekolah ini. Sampai membuat kak Beno harus terkena dampaknya karena kesalahan aku. Aku pantas buat dibenci sama kalian. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Karena sampai kapan pun, apa yang kulakuin itu salah. Dan aku harap, baik tim musik maupun seni rupa tidak ada kesalahpahaman lagi.”

Siswa yang bersama dengan Vena saat itu pun menatapnya saking terkejutnya. Di susul dobrakan dari pintu ruang audio yang kini terbuka. Di depan pintu sudah ada Pak Firman dan juga Inka.

Inka mendekat lalu memeluk Vena.

“Gue udah tahu semuanya, kok, Na. Gue minta maaf karena nggak bisa bantu, lo.” Inka melepaskan pelukannya.

“Gue yakin, pasti ada alasan kuat lo nglakuin itu semua, Na. Jika gue ada di posisi lo, mungkin gue bisa lebih nekat lagi dari, lo.”

Mata Vena memerah. Air matanya meluncur seketika. Ternyata pikirannya selama ini salah. Banyak orang-orang yang sayang dan berjuang untuk melindunginya. Padahal sudah tahu dirinya yang bersalah.

“Tapi, kamu juga harus terima hukuman disiplin dari sekolah, Na. Karena Bapak nggak mau sampai siswa lain demo atau melakukan protes yang tidak baik. Karena disangkanya Bapak membela pelaku atau semacamnya. Bapak juga sudah koordinasi dengan pihak sekolah tentang hukuman apa yang tepat buat kamu. Setelah keluar dari ruangan ini kamu istirahat dulu di UKS. Tolong kamu temenin sahabat kamu, Ka. Bapak tahu, pasti banyak yang akan kalian bicarakan satu sama lain. Sekali lagi Bapak sangat bangga dengan kejujuran kamu. Karena mungkin banyak orang di luar sana yang justru bangga dengan kesalahannya.”

Terdengar tepuk tangan yang sangat keras dari belakang Pak Firman.

Lihat selengkapnya