Meskipun penuh drama, akhirnya Vino bisa mengambil kamera yang ada di motor Bara. Segala kata yang terucap dari mulut Bara dan juga perlakuannya selama ini yang tak terlihat oleh Inka terbukti semua. Raut wajah marah, sedih atau pun kecewa yang tak pernah diperlihatkannya kini terbongkar sudah.
Vino dan Vena pun menyusun rencana untuk membongkar siapa lelaki misterius pemilik tanda yang sama dengan Inka. Yang adalah Bara sendiri.
Pagi itu, Vena meminta Bara untuk memakai atribut yang sama waktu pertama kali tak sengaja bertemu dengan Inka. Bahkan dengan sengaja Inka membuat ban motor Bara bocor. Awalnya Bara curiga namun, ia menurut saja apa yang diperintahkan Vena, tanpa tahu maksud sebenarnya apa.
Demikian dengan Vino. Ia meminta tolong pada ayah Inka untuk tidak mengantarkannya berangkat sekolah. Vena pun beralasan yang sama; tak bisa menjemput Inka.
TTT
Karena disibukkan dengan sketchbook-nya, Inka tak melihat Bara menaiki bus yang sama dengannya. Hampir saja tas pralon yang di bawanya mengenai kepala Inka. Namun dengan cekatan Bara menghalangi kepala Inka dengan tangannya.
Sejak perdebatan terakahir kali, belum ada yang memulai untuk mengobrol terlebih dulu. Bara memilih berdiri dan membelakangi tempat duduk Inka.
Bus tepat berhenti di halte dekat SMA Angkasa. Inka terburu berlari keluar dari bus. Ia ingat pesan Vino untuk menjatuhkan sketchbook-nya lagi. Demikian Vena meminta untuk mengambil sketchbook Inka yang terjatuh.
Dari kejauhan Vino dan Vena bersembunyi; sembari memastikan rencana mereka berhasil kali ini.
Dan kecurigaan keduanya—Bara dan Inka—pun terbukti.
“Benar, kan? Selama ini pemilik tanda itu kamu, Bar? Nggak usah ngelak lagi!” ucap Inka sambil memegang tangan kanan Bara.
“Selama itu pula waktuku bersamamu.”
“Maksudnya?”
“Resikonya ketika kamu tahu tanda itu milikku. Aku harus pergi meninggalkanmu. Puas?”
Inka mengernyitkan dahinya.
“Kok, kamu nyolot sih, Bar? Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarain.”
“Kukira kamu sudah diberitahu Vena—”
“Vena ingin aku tahu dari kamu sendiri, Bar,” potong Inka.
“Apa kamu masih percaya dengan tanda yang ada di tangan kamu itu, bisa nemuin kamu dengan jodoh kamu?”
“Emh ....” Inka mulai ragu sendiri dengan pendiriannya selama ini.
“Iya. Aku masih percaya. Soalnya itu mama aku sendiri yang bilang!” tegas Inka.
“Nggak akan berubah pikiran atau punya pendapat sendiri? Apa kamu yakin itu emang tanda yang ada sejak kamu lahir? Atau jangan-jangan kamu nggak tahu kalau sebetulnya itu mungkin hanya luka terkena sayatan saat kamu dilahirkan?”
Seperti terkena petir di siang bolong. Inka selama ini tak pernah berpikir sejauh itu. Ia hanya selalu percaya, jodoh adalah seseorang yang mempunyai kemiripan dengannya. Itulah yang selalu menggema dalam dirinya. Makanya ia selalu gagal menjalin hubungan dengan siapa saja.
“Kenapa kamu sampai beragumen seperti itu? Aku lebih percaya sama mama aku!”
“Sekarang aku tanya lagi sama kamu. Gimana kalau seumur hidup, kamu nggak bisa ketemu sama pemilik tanda seperti kamu itu? Apa kamu akan sendiri selamanya?”
“Sudahlah! Aku nggak mau berdebat terlalu panjang sama kamu. Kesambet apa kamu jadi sekasar ini ngomong sama aku? Kamu tahu apa soal tanda lahir ini?” Inka menunjuk tanda di tangannya.
Bara menghela nafas panjangnya.
“Ok. Kalau kamu masih pertahanin pendirian kamu. Berarti, ini kali terakhir kita bertemu. Lelaki misterius itu aku. Pemilik tanda itu yang sama denganmu. Tapi tidak karena ada sejak lahir. Tanda itu ada karena kecelakaan yang merenggut kedua orangtuaku. Aku sangat membenci tanda di tanganku ini. Bahkan aku pernah mau mati karena tanda ini. Aku sudah berjanji tidak akan bisa bersama dengan orang yang memiliki tanda seperti ini denganku.”
Mendengar penjelasan dari Bara, Inka perlahan memundurkan langkahnya dan terduduk lemas.
Bara masih melanjutkan kalimatnya. “Apa kamu tahu? Semakin kamu dekat denganku, semakin sulit juga tanda itu akan sembuh. Aku nggak mau menyakiti orang yang kusayang. Untuk itu aku harus pergi. Tugasku sudah berakhir di sekolah ini.”
Bara mendahului Inka yang masih saja tak berkutik dari tempatnya. Vino dan Vena pun berlari menghampiri Inka. Mereka berdua membantu Inka untuk berdiri.
“Gue harus pulang buat minta kejelasan papa sama mama, Na. Gue nggak bisa jika harus selamanya meyakini hal yang belum pernah gue tahui sepenuhnya.”
“Apa sekarang lo udah berubah pikiran? Apa itu nggak bisa ditunda dulu, Ka? Ada hal penting yang harus kamu tahu,” ucap Vena.
Dengan terseok-seok, Vena dan Vino membawa Inka ke sekolah.
Pak Firman sudah menunggu Inka di ruangannya. Inka tak menyadari jika ia didaftarkan dalam kompetisi Matematika oleh seseorang.
Bukan kepalang, Inka mencecar Pak Firman, Vino, dan Vena dengan beragam pertanyaannya.
“Gimana bisa, Pak? Inka baru beberapa kali dapat nilai lebih dari 80, Pak? Nggak mikir kali tuh orang yang daftarin Inka, Pak?
Siapa yang dengan tega masukin gue ke lubang buaya, sih?
Pak Firman mengeluarkan sebuah kertas perjanjian.
“Jika kamu bisa lolos setidaknya ke babak 10 besar saja, papa kamu akan izinin kamu masuk universitas seni seperti yang kamu inginkan. Tanpa melarangmu lagi melukis atau pun semacamnya.”
Inka membaca isi perjanjian itu. Hanya saja ia masih bingung kenapa papanya akhirnya mengizinkannya.
TTT
Vina melihat Vena bersama Vino memapah Inka sampai di depan gerbang rumahnya. Vina bergegas berlari menjemput Inka.
“Tante, maafin Vena. Inka harus kumat lagi.”
Vina meminta Vino untuk duduk di teras. Ia bersama Vena menenangkan Inka dulu ke kamarnya.
“Tante, tolong beri tahu Vena. Apa ada yang tante sama om selama ini rahasiain soal tanda di tangan Inka?”
Vina memastikan apa Inka sudah terlelap atau belum. Ia tak tega melihat wajah Vena yang penuh dengan rasa kekhawatiran.
Vina memelankan suaranya. “Sebenarnya tante juga kurang tahu dengan tanda itu, Na. Setahu tante. Tanda itu ada saat Inka lahir. Tante juga selalu bingung dengan tanda itu, kenapa selalu saja kumat. Padahal setahu tante yang namanya tanda lahir pasti tidak akan menyakiti pemiliknya, kecuali kalau itu kelainan atau penyakit bawaan.”
Betapa terkejutnya Vina dan Vena, ketika pintu kamar Inka terbuka. Vina melihat suaminya di depan pintu.
“Kalian ikut aku keluar!” ucap Adi setengah membentak.
Di ruang tamu, Vina, Vino dan Vena bersama menunggu informasi apa yang akan diberikan oleh Adi.
“Tanda di tangan Inka sebenarnya adalah luka yang harus ia dapati saat lahir ke dunia. Itu bukan tanda lahir seperti yang selama ini mamanya Inka selalu gemakan padanya.”