Salah satu hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah ketika harus terpisah dengan apa yang seharusnya dimiliki hanya karena keegoisan orang lain.
Tujuh tahun telah terlewati. Setelah kelulusannya dari SMA Angkasa, Rana menjelaskan pada Inka; kenapa ia sampai berbuat seperti itu pada Vena. Ia sadar tak ada teman yang mau bermain bersamanya. Jadi ia melampiaskan rasa jahilnya pada orang lain. Ia ingin menunjukkan rasa bertemannya, hanya saja ia melakukannya dengan cara yang salah.
Inka kini mengajar di salah satu sekolah menengah kejuruan. Dimana ia bisa mengajar Matematika juga seni rupa. Suatu hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hidupnya menjadi lebih berwarna ketika ia tak lagi memikirkan dirinya sendiri. Ketika ia mencoba untuk mendengarkan orang lain. Namun, hingga detik ini juga, ia tak hentinya selalu datang ke taman sekolah SMA Angkasa; ketika jam mengajar usai, atau jika ia sengaja pergi untuk menemui Pak Firman.
TTT
Sore itu—di bangku taman yang dulu selalu ia duduki—Inka memandang jauh ke depan; ke arah di mana ia menggantungkan gambar wajah Bara. Seseorang yang entah sampai kapan ia nantikan.
“Apa kabarmu ‘cowok sariawan’?” Inka menyimpulkan senyumnya. “Aku kalah darimu. Aku kalah dari kata-kataku sendiri. Kukira aku bisa melupakan semua tentangmu. Ternyata aku salah. Bahkan aku melukis wajahmu, meletakkannya di pohon itu. Berharap kamu akan datang dan mencariku; menjelaskan kesalahpahaman yang belum terselesaikan sampai kini. Apa kamu tahu? Kini Vena udah sukses, loh. Dia bisa dapat beasiswa karena ketekunannya dalam seni musik. Bahkan sekarang ia punya bisnis studio musik bersama orangtuanya. Dia nggak kesusahan lagi. Aku juga lebih tenang karena ada Vino yang menjaganya sampai kini. Papa aku juga sekarang membuka sanggar melukis sepertimu. Papa memberi kesempatan untuk anak-anak yang mengalami masalah keluarga seperti kita dulu.”
Betapa terkejutnya Inka ketika mendengar suara seseorang yang masih terngiang dalam pikirannya. Bara?
Bara meraba gambar dirinya. “Udah selesai pidatonya?”
Apa Bara dengar semua perkataan gue tadi?Dia pasti bakal ngatain gue.
“Bisa serius dikit, nggak, Bar? Apa kamu nggak ingat terakhir kali kita bertemu?”
“Kesalahpahaman itu?” tanya Bara.