Teisha mengambil barang milik orang mati mulai usia sebelas tahun.
Pagi itu, dia tiba di ruangan kelas 6-B setengah jam sebelum bel pelajaran pertama. Teman-temannya duduk berkelompok dan sedang heboh. Romi, bendahara kelas, hari ini tidak masuk, dan alasannya sensasional.
Kemarin kakak perempuan Romi tidak pulang sampai malam. Orangtuanya mengira dia mengikuti kegiatan klub bisnis daring di sekolah. Panggilan ke ponsel tidak dijawab, berarti kakak Romi sibuk. Pukul delapan malam dia belum juga pulang, dan barulah orangtuanya waswas.
Telepon rumah Romi berdering. Si penelepon adalah kepala sekolah di SMA kakak Romi, yang sedang berada di kantornya. Beliau datang karena dihubungi sekuriti sekolah. Selagi berpatroli, sekuriti menemukan kakak Romi: di WC yang terletak di belakang bangunan, dalam kondisi tidak bernyawa.
Bersama wali kelas dan teman-teman sekelas, Teisha melayat ke rumah Romi. Sembari menyambut tamu, orangtua Romi terus- menerus menyusut air mata. Romi, yang dekat sekali dengan kakaknya, mengurung diri di kamar. Selagi wali kelas menghibur orangtua Romi, Teisha menguping pembicaraan tamu-tamu lain.
Kasihan. Padahal dia anak baik, berprestasi. Jual gantungan kunci bikinannya sendiri lewat kegiatan klub.
Nilai akademisnya juga tinggi. Selalu masuk peringkat tiga besar di kelas.
Kepala terbentur? Jatuh? Kok bisa, padahal sendirian di tempat sepi...
Bersama teman-temannya dan wali kelas, Teisha menuju kamar tempat Romi mengurung diri. Wali kelas bertutur tentang cara mengikhlaskan orang meninggal, dan Teisha melirik ke sekitar. Bendera klub bisnis daring SMA, poster klub, jaket SMA. Kamar ini bukan kamar Romi, melainkan kamar kakaknya.
Sebuah tas ransel menggeletak di kaki tempat tidur. Ransel itu setengah terbuka, menampakkan buku-buku dan wadah alat tulis. Ritsleting tas berhias gantungan kunci berbentuk kepala kucing dari perca merah muda. Satu mata si kucing mengedip, dan mulut benang hitamnya tersenyum.
Gantungan kunci itu imut sekali, tapi Teisha lebih memikirkan ransel. Benda itu saksi kematian kakak Romi. Kesaksian yang selamanya terkunci, kecuali polisi memeriksa ransel dan mendapatkan bukti. Karenanya, ransel itu—dan benda-benda yang melekat padanya— menjadi sangat menarik.
Perhatian semua orang terpusat pada Romi. Teisha bergeser ke arah ransel. Dia membungkuk, dan tak ada yang bereaksi. Jarinya mencukil kaitan gantungan kunci, lalu mencabutnya dari ritsleting. Berdebar karena gembira, Teisha kembali tegak sambil mengantongi gantungan kunci.