Tanda Mata Kematian

Falcon Publishing
Chapter #3

3

Satu-satunya orang yang tahu tentang koleksi Teisha adalah Riri. Mereka berkenalan saat masa orientasi kuliah dan langsung akrab. Seusai jam kuliah, mereka kerap saling menunggui sampai kegiatan masing-masing bubar—Teisha di klub fotografi, Riri di grup teater yang jauh lebih aktif.

“Kalimat lo banyak titiknya, pendek-pendek gitu,” cetus Teisha.

“Ngomong panjang cuma waktu lagi akting, ya?”

“Energi mendingan dihemat. Dipakai mikir daripada banyak ngomong.” Riri menuding ponsel di tangan Teisha. “Ponsel merek itu kameranya bagus?”

“Lumayan. Lo mau difoto? Buat gue latihan, nih.”

“Gue enggak fotogenik. Terusin saja foto rumput dan bangunan. Mereka enggak akan protes sama hasilnya.” Kendati menolak difoto, Riri bersedia mengomentari hasil bidikan Teisha. Komentarnya selalu telak, sebab dulu dia sempat menggemari fotografi dan paham tentangnya. Bila Teisha balik bertanya tentang klub teater, Riri berkata, “Nanya itu kalau lo tertarik. Bukan buat balas budi. Tunggu saja kalau ada berita seru. Pasti gue kasih tahu.”

Gaya bicara Riri yang terlalu lugas—dan karenanya tidak munafik—itu membuat Teisha suka berteman dengannya. Riri pun berpikiran terbuka, tidak mudah menghakimi. Baginya, orang bebas bertindak dalam ranah pribadi selama tidak merugikan manusia lain.

“Contohnya apa, tuh?” tanya Teisha. Hari menjelang sore, dan mereka melewati gedung depan. Gedung itu paling baru di kampus dan baru dibangun setahun ini. “Kamar boleh berantakan asal yang kelabakan kita sendiri?”

“Contohnya, benda koleksi pribadi.”

Teisha berhenti berjalan. “Boleh koleksi apa saja, jumlahnya gede atau kecil, tanpa ganggu orang? Maksud lo itu?”

“Ya. Tempat simpannya jangan sampai ganggu kenyamanan orang lain. Koleksinya bukan benda berisik atau berbau tajam.” Sambil berbicara, Riri mengucir ulang rambutnya. “Kemarin gue baca artikel macam-macam jenis koleksi. Kantong muntah dari maskapai. Potongan rambut orang terkenal. Boneka merek tertentu. Bulu udel.”

Lihat selengkapnya