A Letter to Myself in The Future
Dear Raga,
Pernahkah kamu membayangkan sebuah perpustakaan modern terasa seperti surga di jantung kota? Dinding-dindingnya dihiasi mural penuh warna, mempertemukan Harry Potter dengan Sherlock Holmes dalam dunia imajinatif, berinteraksi bersama Aang, sang Pengendali Udara dari Avatar. Semuanya adalah tokoh favoritmu sejak dulu, bukan?
Bayangkan ruang baca yang luas dan terbuka, dilengkapi dengan bean bag empuk dan sofa minimalis berwarna pastel yang menciptakan suasana hangat, seperti berada di rumah sendiri. Asalkan kamu tidak tidur semaumu sendiri, kemudian berbangga diri mengaku-aku kutu buku.
Cahaya alami mengalir masuk melalui jendela-jendela besar, memberikan rasa tenang dan segar. Alunan musik lo-fi lembut mengisi udara, mengundang setiap pengunjung untuk tenggelam dalam bacaan. Bukankah ini perpustakaan impian yang terlalu nyata, tapi tak kunjung menjadi kenyataan buatmu?
Lihatlah, rak-rak tinggi dipenuhi buku dari berbagai genre dan disiplin, membuka pintu bagi petualangan haus ilmu tanpa batas. Kamu bisa meminjam buku semaumu, tanpa batas waktu, namun waktumu yang 24 jam tidak pernah terasa cukup.
Di sudut lain, sekelompok mahasiswa sibuk berkolaborasi, diskusi mereka mengalir seru, ditemani aroma kopi segar dari kafe kecil di pojok. Di seberang kafe itu, Sebuah papan tulis besar memantulkan semangat muda yang haus akan ilmu, seolah berbisik, “Mari berpetualang, berbagi ide, dan temukan dunia baru di sini.” Apakah kamu mendengarkan bisikan itu atau kamu berpura-pura tidak tahu, lebih menikmati secangkir robusta di samping bukumu?
Raga, tokoh utama kita, membayangkan suasana perpustakaan yang ideal untuk anak muda sambil memejamkan mata. Ia membayangkan dinding-dinding penuh mural warna-warni, bean bag yang nyaman, dan alunan musik lo-fi yang lembut. Namun, begitu matanya membuka, kenyataan yang ia lihat sangat berbeda. Perpustakaan di depannya memiliki desain yang kaku, dengan meja-meja baca biasa yang berjajar rapi. Buku-buku warna-warni tersusun di rak kayu tinggi, tetapi tidak ada sentuhan kreatif yang ia impikan. Kafe kecil yang ia bayangkan penuh aroma kopi segar ternyata hanya sebuah dispenser minuman kopi berukuran besar, tanpa kehangatan dan kenyamanan yang ia harapkan. Raga menghela napas, menyadari bahwa perpustakaan ini jauh dari bayangan idealnya.
Kali ini, entah sudah keberapa kalinya, Raga kembali menjadi tamu usil di perpustakaan anak muda ini. Ia sudah cukup akrab dengan pemandangan wajah-wajah serius yang tenggelam dalam buku, maupun mereka yang hanya menatap kosong sampul buku seolah sedang di mal, lebih suka "cuci mata." Ada juga yang sekadar duduk santai, mencari kesejukan sambil terlelap sebentar. Beberapa lainnya sibuk memanfaatkan Wi-Fi gratis untuk main game.
Raga, dengan kacamata berlensa amber, sekilas tampak seperti seorang gamer dengan kacamata anti radiasinya. Namun, ia lebih bangga jika dipanggil 'Raga Si Kutu Buku dari Braga'.
Kebetulan, ia lahir dengan nama lengkap Ragawi Natalegawa dan tumbuh besar di Kota Kembang, Parijs van Java. Braga menjadi area favoritnya untuk nongkrong, terutama karena kedua hobinya, buku dan musik, dapat berpadu sempurna di jalan yang sarat sejarah itu. Ia masih ingat sebuah kafe heavy metal yang memajang tumpukan buku klasik tebal. Buku-buku itu, meski kurang terawat, ada yang tak bersampul, ada yang lapuk digerogoti kutu buku, dipaksakan masuk dalam rak kecil yang sudah keropos. Di tempat itulah, Raga remaja pertama kali jatuh cinta pada buku, sekaligus musik yang selalu menggetarkan perasaannya.
Namun, jika harus memilih antara buku dan musik, Raga akan memilih musik. Ia ingin suaranya didengar dan memberi pengaruh yang besar. Musik dapat menjangkau semua orang, tanpa pandang bulu. Selama seseorang masih memiliki hati dan rasa, musik bisa menyentuh mereka dengan cara yang mendalam.
Raga tidak pernah bercita-cita menjadi penulis; ia lebih suka membaca daripada menulis. Namun, cintanya pada buku dan perpustakaan begitu besar. Baginya, buku adalah jendela dunia, tempat ia bisa menjelajahi berbagai tempat, bertemu beragam tokoh, dan merasakan berbagai emosi. Perpustakaan adalah surganya, tempat di mana ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam, tenggelam dalam dunia buku. Di sana, ia selalu merasa tenang dan bahagia, seakan semua masalahnya hilang saat ia larut dalam bacaan.
Jangan salah, buku bukan hanya milik kaum yang anti teknologi canggih! Slogan penuh semangat itu terpampang di setiap sudut ruangan, menggelitik minat baca yang nyaris padam di kalangan kaum muda. Lucunya, yang menulis slogan itu seorang relawan pustakawan muda, yang seingat Raga lebih banyak bermain game daripada membaca buku di perpustakaan ini.
Inilah Jakarta Raya, batin Raga. Lalu, kenapa ia rela meninggalkan Braga dan memilih menghadapi panasnya ibu kota? Karena Jakarta adalah lautan kemungkinan tanpa batas. Di sini, cukup dengan memilih satu jalur, Raga bermimpi suaranya akan didengar, dan suatu hari ia menjadi penyanyi besar. Namun sayangnya, mimpinya selalu kandas di tahap audisi Gita Kharisma. Tiga tahun terakhir, harapan itu selalu berujung kekecewaan. Hampa dan sia-sia.
Di sudut perpustakaan yang lengang, Raga melihat seorang gadis. Paras kosong gadis itu menarik perhatian Raga. Meski ia mencoba tampil seperti pria, Raga tetap bisa mengenalinya sebagai seorang perempuan. Rambutnya bergaya Two Block Messy ala Korea, dengan poni yang tampak tercabik-cabik dan tekstur berantakan yang memberi kesan natural dan effortless. Highlight rambutnya—entah ash grey atau silver blonde—sekilas membuatnya tampak seperti memiliki uban di usia muda. Tubuhnya tersamarkan di balik jins cutbray dan jaket denim belel biru. Kebetulan, ia berdiri begitu tegap, setegak mistar dan sekurus pensil, menciptakan siluet tomboy yang tetap anggun dan elegan.
Dengan hati-hati, Raga melangkah melewati gadis yang terpaku di depan rak buku, diam-diam melirik sampul buku yang tengah ditatapnya dengan hampa. Cara Mengakhiri Hidup dengan Cepat dan Mudah. Judulnya provokatif, seolah memperingatkan siapa pun yang waras untuk tidak membukanya, apalagi membacanya. Namun, lain cerita jika sang pembaca memang sejak awal memiliki pikiran yang sempit.
Raga menunduk, matanya pura-pura sibuk menelusuri deretan buku di rak bawah. Sebetulnya ia meneliti tidak tanduk si gadis yang gamang. Berharap si gadis akan mengembalikan buku toksik itu ke posisinya semula. Lalu pergi dan melanjutkan hidupnya. Sayang harapannya tidak terkabul, gadis itu malah mengayun langkah, tergopoh dengan menggenggam bukunya erat-erat. Membangkitkan suatu alarm bahaya di benak Raga.