Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #1

Ragawi #1

Perpustakaan itu berdengung dengan energi anak muda. Rak-rak buku yang menjulang tinggi dipenuhi dengan buku-buku berwarna-warni, dihiasi dengan poster-poster film dan musik terkini. Aroma kayu dan buku baru bercampur dengan alunan musik elektronik yang pelan. Sejumlah anak muda duduk berkelompok, beberapa asyik membaca, beberapa lagi sibuk berdiskusi, sementara yang lain asyik mengetik di laptop mereka. Suasana perpustakaan ini terasa hidup, menular, dan penuh dengan semangat.

Jangan salah, buku bukan hanya milik kaum yang anti teknologi canggih! Slogan penuh semangat itu terpampang di setiap sudut ruangan, menggelitik minat baca yang nyaris padam di kalangan kaum muda.

Bagi Ragawi Natalegawa, pemuda yang berpenampilan seperti seorang gamers, buku adalah kebaruan yang menyegarkan, menyegarkan pikirannya setiap hari. Maka itu, ia bangga disebut Raga Si Kutu Buku dari Braga.

Faktanya, ia terlahir dan dibesarkan di Kota Kembang Parijs van Java. Braga, kebetulan, area paling favoritnya untuk menongkrong, lebih-lebih kedua hobi beratnya, yakni buku dan musik sangat bisa dikawinkan di jalan penuh sejarah tersebut. Seingatnya, ada sebuah kafe heavy metal yang memajang buku-buku klasik tebal berjubel-jubel. Buku-buku kurang terawat itu, sebagian telanjang tanpa sampul, sebagian lapuk dilahap kutu buku, dipaksakan muat dalam satu rak mungil keropos. Di situlah Raga remaja jatuh cinta kepada buku. Juga pada musik yang menghanyutkan perasaannya.

Namun, antara buku atau musik, Raga memilih musik. Ia ingin suaranya didengarkan dan memiliki dampak yang besar. Musik bisa menjangkau semua orang, semua orang sama rata. Asalkan masih memiliki hati dan kepekaan, musik bisa menyentuh mereka secara mendalam.

Raga tidak pernah berambisi menjadi penulis buku, ia lebih suka membaca daripada menulis. Namun, ia mencintai buku dan perpustakaan dengan segenap hatinya. Baginya, buku adalah jendela dunia, tempat ia bisa menjelajahi berbagai tempat, bertemu dengan berbagai tokoh, dan merasakan berbagai emosi. Perpustakaan baginya adalah surga, tempat ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam, tenggelam dalam dunia buku. Ia selalu merasa tenang dan bahagia saat berada di perpustakaan, seakan-akan semua masalahnya terlupakan saat ia membaca buku.

Kali ini, entah sudah yang keberapa kali, Raga menjelma tamu usilan di perpustakaan anak muda ini. Ia setidaknya terbiasa menyelidiki wajah-wajah tekun yang membaca buku, ataupun wajah-wajah kosong yang merenungi sampul buku berlama-lama, seolah-olah sedang cuci mata di pusat perbelanjaan ternama. Malah ada pula beberapa menumpang duduk dan mengadem sambil tertidur ayam. Yang menebeng Wifi gratis sembari main game juga ada.

Inilah Jakarta Raya, batin Raga. Jadi mengapa ia mau meninggalkan Braga dan bergelut dengan panasnya Jakarta? Karena Jakarta merupakan lautan kemungkinan tak terbatas. Cukup dengan memilih satu kemungkinan saja, Raga bermimpi suaranya didengarkan, lalu berdampak sebagai sosok penyanyi bernama besar. Sayangnya selama ini mimpinya selalu terhenti di babak audisi Gita Kharisma. Sudah tiga tahun terakhir ini, harapannya berakhir hampa.

Paras hampa seorang gadis menarik bagi Raga. Ia tahu seseorang itu gadis, walaupun ia berusaha kelihatan mirip pria. Two Block Messy gaya rambutnya, Korean Style dengan potongan poni tercabik-cabik, tekstur yang sedikit berantakan, sehingga terlihat natural dan effortless. Highlight warna rambutnya, ash grey atau silver blonde sekilas mengesankan ia memiliki uban di usia dini. Perawakannya tersamarkan oleh jins gombrong dan jaket oversize biru. Kebetulan ia berdiri amat lurus, setegak mistar dan sekurus pensil, menciptakan siluet tomboy yang elegan.

Dengan hati-hati Raga melewati si gadis yang mematung di hadapan rak buku, mencuri lihat sampul buku yang ditatapnya kosong. Cara Mengakhiri Hidup dengan Cepat dan Mudah. Judul yang provokatif, menohok siapa pun yang waras agar jangan membuka, apalagi membacanya. Lain halnya bila si pembaca memang punya pikiran pendek sedari awal.

Raga menunduk, matanya pura-pura sibuk menelusuri deretan buku di rak bawah. Sebetulnya ia meneliti tidak tanduk si gadis yang gamang. Berharap si gadis akan mengembalikan buku toksik itu ke posisinya semula. Lalu pergi dan melanjutkan hidupnya. Sayang harapannya tidak terkabul, gadis itu malah mengayun langkah, tergopoh dengan menggenggam bukunya erat-erat. Membangkitkan suatu alarm bahaya di benak Raga.

Dia pasti menuju tangga? Tebak Raga dengan was-was.

Perpustakaan ini punya titik menongkrong yang legendaris. Rooftop atau puncak atap yang memungkinkanmu memiliki panorama Jakarta Raya dengan riuh cahayanya, baik yang alamiah maupun yang artifisial. Langit senja bertabur jingga kemerahan membentang luas, menyertakan siluet gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Udara terasa sejuk, menyegarkan, menghilangkan penat hiruk pikuk kota. Di tengah rooftop, terdapat beberapa kursi dan meja kayu, dihiasi dengan tanaman hijau yang rimbun. Aroma rumput dan bunga jeruk tercium lembut, menciptakan suasana yang tenang dan inspiratif.

Itulah ingatan Raga di waktu sore hari. Namun siang bolong begini naik ke puncak gedung, kepentingannya selain untuk yang “satu itu” apa? Buku itukah pemicunya?

Lihat selengkapnya