“JANGAN! JANGAN LAKUKAN!”
Raga kembali terjebak dalam mimpi buruk yang sama—mimpi yang membelenggu setiap malamnya sejak hari itu. Sekilas bayangan sosok perempuan dan koper hitam muncul. Langkahnya berat, diiringi angin dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Langit seolah berbisik satu kata: ‘mati’. Dedaunan kering berjatuhan, seperti tanda kematian yang mendekat. Perlahan, semuanya menghilang ke dalam kegelapan, ditelan oleh pekatnya aroma misteri malam."Tidak, jangan!" Tanpa sadar, Raga mencengkeram lengan gadis yang menyebut dirinya kesalahan, seolah berusaha menghentikan mimpi buruk itu.
“GOTCHA!”
Tawa kepuasan, atau entah apa suara yang didengar Raga, menggelegak dari gadis bernama “kesalahan” itu. Ia menolak mentah-mentah usaha Raga yang mencoba mengklaim kuasa Sang Tangan Malaikat. Sepasang mata Raga terperangkap dalam tatapan hitam gadis itu, bagaikan pasir hisap yang menghakiminya tanpa ampun. Mata sipitnya mencibir, sementara bibir cemberutnya melontarkan sindiran tajam. Memangnya, siapa kamu di dunia ini?
“Apa-apaan …”
Raga menahan perkataannya, khawatir ia salah tangkap atas niat si gadis, dan lalu si gadis kesalahan itu berubah pikiran sekonyong-konyong. Siapa tahu ia betul-betul terjun bebas menyongsong lalu lintas padat di bawah kaki mereka? Siapa tahu kata “gotcha” itu muslihat keji supaya ia lengah dan melonggarkan cengkeramannya?
“Kena kau! Wahai Tangan Malaikat Yang Mulia, aku sudah bilang aku bukan mau bunuh diri. Tapi kamu keras kepala!” Kusala menyentak lengan Raga yang mencekalnya, tapi sia-sia.
“Kamu … maksudmu apa?”
“Sejak awal aku sudah tahu soal kamu, Ferguso. Kepahlawananmu membuatku penasaran, seberapa jauh kamu mau menolong yang bunuh diri. Ternyata kamu lumayan ulet juga, ya. Dasar pahlawan kesiangan!” Kusala kembali tertawa, suara sarkastisnya menggelegak, seolah menantang dan mengejek dalam satu tarikan napas.
“Kamu betul-betul bikin prank tadi? Bukan mau bunuh diri?”
“Kan sudah kubilang gotcha. Eh, tolong. Tanganmu singkirkan dulu. Kita lawan jenis lho.”
“Oh, maaf. Aku akan lepaskan, tapi setelah kamu ada di tempat yang aman.” Raga justru mempererat genggamannya, tak memedulikan Kusala yang meringis, meski ia menutupinya dengan senyum sinis.
“Katanya, pria itu spesies yang kepala batu. Nah, kamu yang paling keras di antara spesiesmu itu.”
“Antara hatimu atau batu, mana yang lebih keras menurut kamu?” Raga menatap lekat pada gadis itu, seakan-akan khawatir bahwa Kusala yang digenggamnya hanyalah ilusi belaka. Bayangan yang dalam mimpinya, akan lenyap diterpa angin, seperti asap yang memudar dan pupus.
Aneh dan penuh keajaiban. Perkataan terakhir Raga terasa seperti mantra bertuah yang menuntun Kusala. Langkahnya ragu, namun ia tetap menjauh dari tepi rooftop dengan patuh. Ia berdeham pelan, seolah sengaja, mengingatkan Raga bahwa ia masih menggenggam lengan gadis yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Dengan suara sedikit gugup, Raga meminta maaf dan menunggu tanggapan gadis itu - yang kini tak lagi cemberut, namun bibirnya membentuk senyum seperti Badut Joker, penuh cibiran. Seperti pisau tersembunyi di balik topeng kepuasannya. Sombong dan tak bersahabat. Dingin dan meremehkan.
Gadis itu hanya diam saja, tak kunjung menanggapi kata maaf dari Raga.
“Ehm.” Raga membuat dehaman yang ragu-ragu.
“Sudah, ya. Kita sampai di sini saja.” Kusala melambaikan tangannya yang sudah kembali bebas.
“Tunggu. Kamu tetap mau gabung ke klub punyaku, tidak?” Raga menawar penuh harap.