Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #2

Ragawi #2

“JANGAN! JANGAN LAKUKAN!”

Raga mengulangi mimpi buruk itu. Mimpi buruk yang membelenggu malam-malamnya sejak hari itu. Sekelebat sosok perempuan dan koper hitam. Langkahnya yang berat. Angin dingin mencekik di malam yang mencekam. Langit seakan berbisik kata 'mati'. Dedaunan kering berjatuhan, menyerupai kematian yang mendekat. Mereka menghilang dalam kegelapan, menghilang tanpa jejak. Tidak, jangan! Tak sadar Raga mencengkeram lengan gadis yang mengaku dirinya sebuah kesalahan itu, seolah-olah ingin menghentikan mimpi buruk itu.

“GOTCHA!” 

Tawa kepuasan, atau entah apa pun suara yang didengar Raga, menggelegak dari gadis bernama “kesalahan” itu. Jelas ia menolak usaha Raga yang mengaku-aku Sang Tangan Malaikat berkuasa. Sepasang mata Raga bersirobok pasir hisap, manik kelam yang menghakiminya tanpa ampun, mata sipit itu mencibirnya, selagi bibir cemberutnya meliukkan sindiran yang tajam. Memang kamu itu siapa di dunia ini?

“Apa-apaan …” 

Raga menahan perkataannya, khawatir ia salah tangkap atas niat si gadis, dan lalu si gadis kesalahan itu berubah pikiran sekonyong-konyong. Siapa tahu ia betul-betul terjun bebas menyongsong lalu lintas kota padat di bawah kaki mereka? Siapa tahu kata “gotcha” itu muslihat keji supaya ia lengah dan melonggarkan cengkeramannya?

“Kena kau! Wahai Tangan Malaikat Yang Mulia, aku sudah bilang aku bukan mau bunuh diri. Tapi kamu keras kepala!” Kusala menyentak lengan Raga yang mencekalnya, tapi sia-sia.

“Kamu … maksudmu apa?”

“Sejak awal aku sudah tahu soal kamu, Ferguso. Kepahlawananmu membuatku penasaran, seberapa jauh kamu mau menolong yang bunuh diri. Ternyata kamu lumayan ulet juga, ya. Dasar pahlawan kesiangan!” Kusala kembali menggelegak dengan tawanya yang sarkastis.

“Kamu betul-betul bikin prank tadi? Bukan mau bunuh diri?”

“Kan sudah kubilang gotcha. Eh, tolong. Tanganmu singkirkan dulu. Kita lawan jenis lho.”

“Oh, maaf. Aku akan lepaskan, tapi setelah kamu ada di tempat yang aman.” Raga malah mempererat cekalannya, tak peduli Kusala meringis yang ditutupinya dengan cengiran sinis.

“Katanya, pria itu spesies yang kepala batu. Nah, kamu yang paling keras di antara spesiesmu itu.”

“Antara hatimu atau batu, mana yang lebih keras menurut kamu?” Raga menatap si gadis lekat, seakan-akan cemas Kusala yang dicekalnya hanyalah bayang-bayang. Bayangan yang dalam mimpinya akan menghilang tertelan angin lalu, bak asap yang mengepul.

Aneh dan sangat ajaib. Perkataan terakhir dari Raga bak mantera bertuah yang menuntun Kusala. Langkahnya ragu, tapi dengan patuh ia menjauh dari bibir rooftop. Lalu ia mendeham dibuat-buat, menyadarkan Raga ia masih mencekal lengan gadis yang baru dikenalnya beberapa menit berselang. Dengan suara tersipu Raga meminta maaf dan menunggu tanggapan gadis yang tidak lagi cemberut, tapi bibirnya menjiplak senyuman Badut Joker yang penuh cibiran. Seperti pisau yang menghunus di balik topeng kepuasannya. Kejam dan merendahkan. Dingin dan mencekam.

Gadis itu hanya diam saja, tak kunjung menanggapi kata maaf dari Raga.

“Ehm.” Raga membuat dehaman yang ragu-ragu.

“Sudah, ya. Kita sampai di sini saja.” Kusala melambaikan tangannya yang sudah kembali bebas.

“Tunggu. Kamu tetap mau gabung ke klub punyaku, tidak?” Raga menawar penuh harap.

Lihat selengkapnya