Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #3

Kusala #3

Mulanya Kusala antusias dilibatkan dalam misi mulia Raga dan kawan-kawan, terutama karena ia penasaran dengan apa yang akan terjadi. Ia merasa tertantang untuk melihat bagaimana Raga dan teman-temannya menolong orang yang ingin bunuh diri. Alhasil, mereka berlima memaksakan diri nyaman dalam mobil mini lawas, yang penuh dengan barang-barang Raga dan teman-temannya. Kusala merasa terjepit di antara tumpukan tas dan buku, serta bau keringat yang menyengat. Mobil itu memang mini, sesuai dengan namanya, Mini Morris. Kelirnya merah tua, produksi tahun 1959, pernah dimiliki kakek Anggi selama puluhan tahun. Kakek Anggi menyerahkan mobil itu pada Anggi sebelum meninggal dunia, seolah-olah menitipkan sebuah warisan yang berharga. Namun, masalahnya Anggi tidak bisa mengemudi mobil. Akhirnya tugas mulia itu diserahkannya kepada Raga.

“Gini-gini mobil ini pernah ditawar 200 jeti sama kolektor, tapi ogah aku lepas. Mobil jimat kok, harga segitu mah kagak pantes.” Anggi berkoar dari bangku depan, di sisinya Raga mengendalikan kemudi dengan serius.

“Yang nawar itu cuma becanda, kali. Masak butut kek gini 200 juta. Orang usil itu!” Fanny yang suaranya paling lantang menyembur, disusul gelegak tawanya menggema dalam mobil yang sempit.

“Kalau surat-suratnya lengkap dan kondisi mobil bagus, bisa harga segitu. Malah yang laku satu setengah M juga ada. Karena masih orisinil kondisinya.” Kusala menimpali.

Kata-kata Kusala menimbulkan keheningan tiba-tiba. Raga dan teman-temannya Trio Bebek kompak menoleh pada gadis yang sedari tadi mematung di bangku belakang. Kusala duduk dengan kikuk, seolah-olah tidak nyaman. Ia sampai menyilangkan kaki agar tak bersentuhan dengan Fanny dan Sendy. Fanny dan Sendy mencoba untuk memberi ruang pada Kusala. Namun, kedua laki-laki itu memiliki tubuh yang gempal, kira-kira menyerupai Gladiator Romawi.

“Kamu kenal sama kolektor mobil antik, ya?” Anggi menoleh lagi, menampakkan senyuman lebar yang jemawa.

“Pernah jadi sales mobil bekas di Tangerang. Tapi sudah resign bulan lalu.” Kusala menjawab.

“Oh, gitu.” Sendy menyahut, sekadar mencairkan situasi kikuk di mobil itu.

Beberapa menit berlalu, sementara hening menyergap mereka berlima. Hening ini menyeramkan. Satu menit terasa seperti satu jam, satu jam terasa bagaikan abad. Kusala mulai merasa menyesal bergabung dengan mereka, sekumpulan pahlawan anteknya si Tangan Malaikat. Now what? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah menolong orang bunuh diri bisa dibayar? Kusala merasa terjebak dalam situasi yang aneh, ibarat seorang perawan di sarung penyamun, karena ia satu-satunya perempuan dalam mobil ini.

“Eh, Gi. Ceritain dong soal orang bunuh diri itu. Katanya orangnya pintar ya sebenarnya?” Raga memilih topik yang lebih aman, misi penyelamatan yang tengah mereka tangani, demi menyelamatkan situasi kikuk di antara mereka “lima sekawan”.

“Iya, anaknya pinter. Juara kelas terus, juga pintar bahasa asing. Bisa bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Jepang. Pintar olahraga juga. Banyaklah bakatnya. Sayang ya kalau pemuda berbakat gitu cepat matot.” Anggi berceloteh penuh semangat.

“Aduh, macet kek gini. Keburu gak tuh kita nolongin si anu?” Fanny merutuk dengan nada tinggi, bunyi klakson di luar bersahut-sahutan, lantang membenamkan omelannya, karena mobil antik kepunyaan Anggi sulit dirapatkan kacanya.

“Keburu. Ini cara bunuh dirinya selow, kok. Pake mogok makan. Gak bakal mati dia sampai malam juga.” Anggi menyahut. Ia memutar head unit mobil dengan volume paling pelan.

“Killing me softly, ye.” Sendy mengoceh sekenanya.

Kebetulan sekali, head unit mobil memainkan Killing Me Softly, lagu yang memiliki arti khusus bagi Kusala. Lirik pembuka lagu itu menceritakan kesedihan yang dirasakan seorang perempuan, situasi yang putus asa. Strumming my pain with his fingers. “His” artinya seorang laki-laki. Seingat Kusala, penyanyi-penyanyi yang memopulerkan lagu ini semuanya perempuan. Apakah serendah itu harga perempuan di mata laki-laki? Berikutnya, “Singing my life with his words” berkumandang. Kusala terkejut mendengar lirik itu, mencerminkan pandangan merendahkan laki-laki terhadap perempuan. Kusala merasa mual. Lirik itu membangkitkan kenangan pahit tentang perlakuan tak adil yang menimpa seorang perempuan terdekatnya.

Lihat selengkapnya