Awalnya, Kusala merasa antusias bergabung dalam misi mulia yang digagas oleh Raga dan kawan-kawannya, terutama karena rasa penasarannya terhadap apa yang akan terjadi. Ia tertantang untuk melihat bagaimana mereka akan membantu seseorang yang ingin bunuh diri. Akhirnya, mereka berlima berupaya berdesakan di dalam sebuah mobil mini lawas yang sesak oleh barang-barang milik Raga dan teman-temannya. Kusala merasa terhimpit di antara tumpukan tas dan buku, disertai aroma keringat yang menyengat. Mobil itu mini, sesuai namanya, Mini Morris, berwarna merah tua, produksi tahun 1959, yang dulunya milik kakek Anggi selama puluhan tahun. Sebelum meninggal, kakek Anggi mewariskan mobil itu kepada Anggi, seolah menitipkan sebuah kenangan berharga. Namun, masalahnya, Anggi tidak bisa mengemudi, sehingga tugas mulia itu diserahkan kepada Raga.
“Gini-gini mobil ini pernah ditawar 200 jeti sama kolektor, tapi ogah aku lepas. Mobil jimat kok, harga segitu mah kagak pantes.” Anggi berkoar dari bangku depan, di sisinya Raga mengendalikan kemudi dengan serius.
“Yang nawar itu cuma becanda, kali. Masak butut kek gini 200 juta. Orang usil itu!” Fanny yang suaranya paling lantang menyembur, disusul gelegak tawanya menggema dalam mobil yang sempit.
“Kalau surat-suratnya lengkap dan kondisi mobil bagus, bisa harga segitu. Malah yang laku satu setengah M juga ada. Karena masih orisinil kondisinya.” Kusala menimpali.
Kata-kata Kusala membuat suasana mendadak hening. Raga dan teman-temannya, Trio Bebek, serempak menoleh ke arah gadis yang sejak tadi diam membisu di bangku belakang. Kusala duduk dengan canggung, seolah merasa tidak nyaman. Ia bahkan menyilangkan kakinya, berusaha menghindari kontak dengan Fanny dan Sendy. Meskipun keduanya mencoba memberi ruang, tubuh kekar mereka—seperti gladiator Romawi—membuat Kusala tetap merasa sempit.
“Kamu kenal sama kolektor mobil antik, ya?” Anggi menoleh lagi, menampakkan senyuman lebar yang jemawa.
“Pernah jadi sales mobil bekas di Tangerang. Tapi sudah resign bulan lalu.” Kusala menjawab.
“Oh, gitu.” Sendy menyahut, sekadar mencairkan situasi kikuk di mobil itu.
Beberapa menit berlalu, sementara hening menyergap mereka semuanya. Hening ini menyeramkan. Satu menit terasa seperti satu jam, satu jam terasa bagaikan abad. Kusala mulai merasa menyesal bergabung dengan mereka, sekumpulan pahlawan anteknya si Tangan Malaikat. Now what? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah menolong orang bunuh diri bisa dibayar? Kusala merasa terjebak dalam situasi yang aneh, ibarat seorang perawan di sarang penyamun, karena ia satu-satunya perempuan dalam mobil ini.
“Eh, Gi. Ceritain dong soal orang bunuh diri itu. Katanya orangnya pintar ya sebenarnya?” Raga memilih topik yang lebih aman, misi penyelamatan yang tengah mereka tangani, demi menyelamatkan situasi kikuk di antara mereka “lima sekawan”.
“Iya, anaknya pinter. Juara kelas terus, juga pintar bahasa asing. Bisa bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Jepang. Pintar olahraga juga. Banyaklah bakatnya. Sayang ya kalau pemuda berbakat gitu cepat matot.” Anggi berceloteh penuh semangat.
“Aduh, macet kek gini. Keburu gak tuh kita nolongin si anu?” Fanny merutuk dengan nada tinggi, bunyi klakson di luar bersahut-sahutan, lantang membenamkan omelannya, karena mobil antik kepunyaan Anggi sulit dirapatkan kacanya.
“Keburu. Ini cara bunuh dirinya selow, kok. Pake mogok makan. Gak bakal mati dia sampai malam juga.” Anggi menyahut. Ia memutar head unit mobil dengan volume paling pelan.
“Killing me softly, ye.” Sendy mengoceh sekenanya.
Kebetulan, head unit mobil memutar lagu Killing Me Softly, sebuah lagu yang memiliki arti khusus bagi Kusala. Lirik pembuka lagu itu menggambarkan kesedihan mendalam seorang perempuan dalam situasi putus asa. "Strumming my pain with his fingers" — kata "his" merujuk pada seorang laki-laki. Kusala teringat bahwa semua penyanyi yang memopulerkan lagu ini adalah perempuan. Apakah harga perempuan di mata laki-laki serendah itu? Ketika lirik "Singing my life with his words" terdengar, Kusala tersentak. Lirik itu terasa mencerminkan pandangan merendahkan laki-laki terhadap perempuan, membuat Kusala merasa mual. Kenangan pahit tentang ketidakadilan yang pernah dialami oleh seorang perempuan terdekatnya kembali bangkit.