“BANGUN! WOY! BANGUN!”
Suara Kusala menggelegar, bagaikan petir di siang bolong. Gedorannya di pintu kamar Bagus bergema, mengguncang dinding rumah. Bahkan Bapak Bagus, yang terkenal dengan amarahnya, ternganga heran. Ibu Bagus, yang biasanya tenang, hanya bisa berbisik, "Masyaallah," berulang kali, sambil menempelkan tangan di dadanya. Raga, Anggi, Sendy, dan Fanny, yang mendampingi Kusala, semuanya menutup telinga dan meringis terkejut. Mereka tak pernah menyangka Kusala bisa bersuara sekeras itu. Seakan-akan, di balik tubuh kurus dan rambut pendeknya, tersembunyi kekuatan yang luar biasa.
“SIAPA DIA INI? HEI, MAS. KIRA-KIRA YA. INI BUKAN RUMAH KAMU, TAHU!”
Akhirnya, Bapak Bagus berhasil bersuara setelah lama terdiam keheranan. Sayangnya, suara bass-nya tenggelam di antara suara yang jauh lebih nyaring. Gedoran pintu kamar Bagus, yang seolah ingin menjebolnya, terdengar jauh lebih keras. Bahkan teriakan Kusala mengalahkan dentuman pintu, begitu mengejutkan, seakan-akan mampu membangkitkan orang mati.
Orang mati di balik pintu itu bernama Bagus Pradana. Siswa cerdas, berprestasi, dan teladan di sekolahnya, sejak SD hingga SMA. Segala penghargaan pernah diraihnya. Mulai dari juara olimpiade sains dan olimpiade matematika, juara renang dan lari sprint seratus meter, bahkan juara tenis meja se-Jakarta Raya. Anak serba bisa ini selalu diistimewakan, bahkan kepala sekolah pun segan padanya karena jasanya mengharumkan nama sekolah di berbagai kompetisi bergengsi nasional.
Bagus, anak tunggal dan harapan orang tuanya, terlahir sebagai anak sulung. Ayah dan ibunya menaruh harapan besar padanya, yang tak pernah mengecewakan hingga ia mogok makan untuk mengancam mereka. Ini bukan sekadar amarah biasa, pikir Kusala, karena tujuan Bagus adalah kuliah di universitas swasta, sementara orang tuanya tak mampu membayar uang pendaftarannya. Kusala tahu semuanya dari cerita Anggi di mobil tadi. Namun, ia tak mengerti mengapa pemuda secerdas Bagus begitu kekanakan dan menghancurkan hati orang tuanya. Keadaannya bahkan lebih menyedihkan dari orang mati.
“WOI, BAGUS! CEPAT BANGUN SEKARANG! KALAU GAK ELO MATI AJA DEH. KALO ELO MATI ORTU ELO MALAH GAK SESAKIT HARI INI! HEH, ANAK GOBLOK!”
Gedoran Kusala tak hanya membahana dan menggetarkan, tapi juga diiringi kata-kata kasar yang mungkin tak pernah didengar Bagus seumur hidupnya. Seakan badai menerjang, Kusala mengguncang dunia Bagus yang terbiasa dibungkus dengan beludru, lembut dan nyaman, sehingga tak pernah merasakan sengatan kenyataan. Dari cerita Anggi, Kusala tahu tak seorang pun berani memarahi Bagus. Ayahnya, yang kelihatan galak, pun tak berdaya karena rasa sayang berlebihan pada putra semata wayangnya. Ibunya, yang lembut seperti air, membiarkan Bagus tumbuh menjadi anak yang mau menang sendiri dan ingin dituruti semua kemauannya, tanpa memikirkan kondisi orang tuanya yang prihatin.
“WOI, BANGUN! ELO DENGER GAK, ANAK GAK TAHU DIRI? ELO HARUSNYA BERSYUKUR PUNYA ORANGTUA BAIK HATI. KALO ELO ANAK YATIM ELO MAU MERAJUK SAMA SIAPA? SAMA SETAN ALAM KUBUR?”
“Maaf, Mas. Si Bagus gak tidur, kok. Tadi kami ngintip dari lubang pintu, anaknya duduk-duduk merenung, sudah bangun dari pagi tadi. Mungkin dia lagi dengar musik pake headphones, jadi telinganya ketutup.” Ibu Bagus bertutur lembut.
Kemarahan Kusala perlahan luluh menjadi keprihatinan. Ia tak bersimpati pada ibu Bagus, yang lemah lembut dan tak tegas dalam mendidik anak. Namun, kelembutan seorang ibu adalah sesuatu yang dirindukannya selama ini. Bahkan ia tak keberatan dianggap laki-laki dengan sapaan “Mas”. Seandainya Kusala terlahir sebagai laki-laki, apakah kasih sayang orangtuanya akan lebih besar?
“Bagus belum bangun, Bu. Dia masih tertidur, di dunianya sendiri. Walau cerdas, dia egois, makanya dia tidak bisa melihat kenyataan, kalau orangtuanya juga sedih tidak mampu mengabulkan keinginannya. Maaf, sepertinya hanya kata-kata kasar yang bisa menyadarkan Bagus dari mimpi.”
Raga dan kawan-kawannya tercengang, tak mengira Kusala sanggup bertutur bijak dan menenteramkan hati. Seakan disambar petir, Ibu Bagus terpaku. Dipandangnya Kusala lekat-lekat, kelembutan suaranya terdengar feminin, apalagi raut mukanya yang halus menyadarkan Ibu Bagus kalau Kusala sebetulnya perempuan. Diraihnya tangan Kusala dan digenggamnya dengan keibuan. “Oalah, Nak. Cah Ayu. Ternyata kamu perempuan, ya.” Ibu Bagus meneteskan air mata haru, berlinang seperti hujan yang membasahi tanah kering, melepaskan segala beban yang lama terpendam di hatinya. Tangisnya pun akhirnya tak terbendung. Meskipun kedua tangannya menutupi wajah, isak pilu itu tetap mengalir deras tanpa henti.