"Pulang ke mana aku? Pulang ke mana?" Kusala bergumam, tatapannya kosong, tertuju pada Raga maupun teras markas yang teduh. Sebatang pohon mangga di halaman menjadi rumah bagi burung-burung emprit. Gadis itu menatap penuh haru pada makhluk-makhluk mungil itu, bibirnya melantunkan siulan lembut, menirukan kicauan sang induk. "Ini nyanyian cinta seorang ibu," bisiknya, suaranya bergetar, memancarkan kerinduannya yang dalam.
“Setiap orang harus pulang. Burung saja punya sarang, apalagi manusia, seharusnya punya rumah untuk pulang.” Raga menatap mata Kusala yang menunduk. Matanya, meski terpejam separuh, tetap tak bisa berbohong. Keputusasaan Kusala terbaca jelas, seperti halaman buku yang terbuka di hadapannya.
“Dulu aku mau menjadi burung. Tapi tidak satu pun pohon mau menerimaku. Aku ini sebuah kesalahan besar di dunia ini.” Kusala akhirnya berani menatap Raga lurus-lurus.
“Terima kasih.” Raga berucap lembut.
“Heh, maksudmu?”
“Tadi kamu menolong seorang manusia yang terjebak mimpi. Si Bagus. Kamu membangunkan dia. Baiklah, sebagai tanda terima kasih, markas ini jadi rumahmu, selama kamu membutuhkannya.” Raga merentangkan lengannya, seperti menyambut teman lama yang baru saja kembali dari perjalanan jauh.
“Tapi kamu, lalu kamu tidur di mana?”
“Aku ini mantan anak MAPALA. Pakai kantung tidur juga jadi. Tidur di mana saja tak masalah.”
“Jangan-jangan aku ini masalah buat kamu, Raga?” Kusala memberanikan diri mengeja nama pria di hadapannya, namun rasa takut yang menusuk merayap tanpa diizinkannya. Ia ragu meneruskan pertanyaannya. Sesuatu yang dipendamnya mungkin terbongkar bila ia nekat menanyakannya.
“Ehm. Satu-satunya masalah, kita makan malam pakai apa? Biasanya aku makan mie telor instan, kalau kamu mau?” Raga melebarkan senyumnya, membuat Kusala merasa seolah-olah harus membalas senyuman itu.
Keputusan Raga memasak mie telor instan sangat tepat. Kusala sangat menyukai masakan Raga, yang dinilainya punya talenta menciptakan menu yang spektakuler. Padahal menu masakan Raga sebenarnya cukup sederhana. Berupa mie instan direbus tiga menit saja, lalu diceplok telor mata sapi dengan taburan bawang goreng dan irisan tipis mentimun mentah. Menurut pengakuan Kusala, baru kali ini ia mencicipi mie instan dimasak dengan selera bintang lima, yang kontan pengakuan itu membuat Raga terbahak-bahak besar kepala.
“Berarti habis ini, aku buka restoran dong, lalu dapat bintang Michelin tiga biji. Ah, jangan tiga, satu saja cukuplah. Jangan terlalu serakah, ya.”
Raga dan Kusala duduk berdampingan di ruang tengah yang luas. Aroma mie instan yang gurih memenuhi ruangan. Mereka menikmati makan malam sederhana mereka, seolah-olah menikmati hidangan terlezat di dunia. Ruangan itu sebenarnya adalah ruang pertemuan untuk penyintas bunuh diri. Ruangan yang sederhana dengan dinding biru kusam dan lantai berkeramik yang sudah pudar. Namun, di mata Raga dan Kusala, ruangan itu terasa mewah. Kehangatan kebersamaan yang mereka rasakan menjadikan ruangan itu lebih berarti daripada ruangan mewah manapun.
Malam semakin larut. Setelah larut dalam obrolan makan malam dan mie instan, Raga menunjukkan tempat tidur Kusala di ruang admin Klub Bunuh Diri. “Ini tempat tidur aku dulu." Raga menunjuk ke arah sofa bekas berwarna hijau toska. Letaknya persis di sudut ruangan belakang. Jendela samping yang berlapis kasa kawat nyamuk membentang di sisi sofa. Kisi-kisinya kecil, tapi jendela itu selalu dibuka sedikit oleh Raga untuk menyegarkan udara ruang kerjanya.