Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #6

Raga #6

Lima sekawan dalam mobil Anggi diliputi ketegangan. Raga, ketua mereka, menolak mengemudi. Ia memilih duduk di belakang, di tengah antara Kusala dan Fanny. Sendy, yang biasanya kalem, kini terlihat gugup saat memegang kemudi. Raga terus berkeringat dingin, padahal pagi jelang siang ini sejuk karena hujan rintik-rintik. Keringat dingin itu menetes di pelipisnya, sementara kaca depan mobil diterjang tetesan gerimis. “Semua akan baik-baik saja.” Bisik Kusala. Namun Raga hanya menggeleng pelan, matanya tertuju pada jalanan yang membentang di depan. Ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

“Wipernya rusak lagi ya, Gi?” Fanny berceloteh. Mungkin harapnya, suasana mobil bakal membaik bila ada seseorang yang mau berbicara.

“Ho, oh, penyakit lama. Wiper kanannya suka mandek. Agak seret. Gapapa lah, masih ada yang kiri, kok. Nanti yang kiri bisa ngedorong yang kanan. Masih fungsi.”

Raga memandang wiper mobil yang kurang berfungsi sebelah kanan, menyerupai keadaannya yang setengah lumpuh di lengan kanan. Keterbatasan fisik ini tidak membuatnya malu, hanya saja sikap ibunya yang kurang menyayanginya membuat Raga berasumsi, ibunya menolak menerima kecacatan putranya itu. Ia teringat bagaimana ibunya seringkali menunduk saat melihat lengan kanannya yang kurang berfungsi. Apakah aku beban bagi Ibu, makanya Ibu pergi meninggalkanku? Tanya Raga dalam hati.

Rasa sedih dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Pergulatan batin terus menerpanya. Wiper mobil ini cacat di bagian kanan, persis seperti diriku. Tapi wiper rusak bisa diperbaiki, kalau lengan yang cacat bagaimana membuatnya baik kembali?

Selama ini, Raga selalu merasa sehat dan normal, sugesti yang ditanamkan dirinya sendiri. Lengan kanannya yang lebih kecil dan kurang berfungsi sama bernilainya dengan lengan kiri yang kuat. Raga mencoba melupakan kecacatannya, alhasil kekuatan mentalnya sejauh ini menaklukkan ketakutan itu. Namun kasus kali ini menenggelamkan separuh keteguhan hatinya. Pertahanan yang dibangunnya bersusah payah luluh lantak, tersisa puing-puing yang membuatnya melangkah goyah.

“Kasus kita ini termasuk karma instan, bukan?” Anggi berceloteh tanpa menoleh pada siapa pun. Seolah-olah menanyai dirinya sendiri, dan lalu ia menjawabnya sendiri. “Iya kayaknya.”

Berkas di tangan Anggi yang ditulis tangan olehnya, sudah diedarkan dan dibaca kawan-kawannya. Kasus yang sungguh menyayat hati. Maksud hati membuat suaminya menyesal seumur hidup, ternyata takdir hidup membuyarkan rencananya dengan kejam. Sang Istri sudah membunuh anak-anaknya, dua anak gadis yang usianya belum genap enam dan delapan tahun, lalu si ibu muda mencoba mengakhiri hidupnya. Saat dibawa ke rumah sakit, ia dinyatakan sudah meninggal. Suaminya yang kalut hatinya terjun dari lantai tiga rumah sakit, merasa dunianya sudah berakhir. Siapa menyana, istrinya cuma mengalami mati suri, dan denyut jantungnya kembali berdetak. Si Istri yang kembali hidup akhirnya menggila. Setiap waktu ia mengamuk dan mencoba bunuh diri berkali-kali, bentuk penyesalan terdalam untuk perbuatannya yang bodoh.

“Mati bersama bukan penyelesaian yang bagus. Maka itu, aku benci Romeo dan Juliet. Gara-gara kisah mereka, banyak orang yang memilih mati bersama, daripada memilih hidup bersama-sama.” Raga berucap pelan, hampir menyerupai bisikan. Kalau saja suasana mobil lebih ramai sedikit, suaranya pasti sudah tenggelam.

“Dasar manusia toksik.” Sendy berkomentar pendek, sesuai ciri khasnya yang irit bicara.

Raga berharap perjalanan bermobil mereka tidak berakhir. Menghadapi kasus ini membuat hatinya nyaris meledak, sepotong masa lalunya seakan hidup kembali, menyerbu ingatannya seperti gelombang pasang. Ia teringat saat dirinya, yang masih kecil, berusaha menyembunyikan kecacatannya dari dunia. Ia teringat bagaimana ia berjuang untuk menerima dirinya sendiri, menaklukkan rasa takut dan rendah diri yang menghantuinya. Namun, ia harus menghadapi hari ini dengan berani, karena hantu masa lalunya itu hanya bisa dikalahkan oleh keberanian dan ketetapan hati. Ia harus membuktikan bahwa ia mampu mengatasi masa lalu dan melangkah maju, menjalani hari kelaknya dengan penuh makna dan keberanian.

Masalahnya, ia belum terlalu siap menghadapi hantu itu. Tidak sekarang, seharusnya tidak sekarang. Raga bergelut dengan pikiran buruknya sendiri, mencoba meredam gejolak ketakutan yang mulai meracuni di dalam hatinya.

“Negeri kita ini kurang menghargai orang cacat,” gumam Kusala, menunjuk ke sebuah gedung megah. Dari jendela mobil yang merayap lambat, mereka menyaksikan seorang pengguna kursi roda tidak bisa menaiki lobi utama. Kursi rodanya sampai diangkat tiga orang sekuriti berbadan tegap. Seharusnya ada ramp untuk pengguna kursi roda, agar mereka bisa masuk dengan mudah. Padahal solusi segampang itu bisa memudahkan semua orang. Namun, prinsip negara ini cenderung berbelit-belit, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?

“Padahal teorinya, bangunan publik wajib ramah difabel, kan ada UU-nya. Ah, dasar teori itu cuma sebatas di bibir saja.” Fanny mencoba berkoar, namun suaranya tidak semantap biasanya.

Lihat selengkapnya