Lima sekawan dalam mobil Anggi terdiam, diliputi ketegangan. Raga, pemimpin mereka, menolak mengemudi dan memilih duduk di belakang, diapit oleh Kusala dan Fanny. Sendy, yang biasanya tenang, kini tampak gelisah di balik kemudi. Meski pagi menjelang siang terasa sejuk karena hujan rintik-rintik, keringat dingin terus membasahi pelipis Raga. Tetesan gerimis menerpa kaca depan mobil, menciptakan suasana semakin muram. "Semua akan baik-baik saja," bisik Kusala, namun Raga hanya menggeleng pelan, matanya tetap terpaku pada jalan di depan, tak mampu menyembunyikan rasa takutnya.
“Wipernya rusak lagi ya, Gi?” Fanny berceloteh. Mungkin harapnya, suasana mobil bakal membaik bila ada seseorang yang mau berbicara.
“Ho, oh, penyakit lama. Wiper kanannya suka mandek. Agak seret. Gapapa lah, masih ada yang kiri, kok. Nanti yang kiri bisa ngedorong yang kanan. Masih fungsi.”
Raga memandang wiper mobil yang kurang berfungsi sebelah kanan, menyerupai keadaannya yang setengah lumpuh di lengan kanan. Keterbatasan fisik ini tidak membuatnya malu, hanya saja sikap ibunya yang kurang menyayanginya membuat Raga berasumsi, ibunya menolak menerima kecacatan putranya itu. Ia teringat bagaimana ibunya seringkali menunduk saat melihat lengan kanannya yang kurang berfungsi. Apakah aku beban bagi Ibu, makanya Ibu pergi meninggalkanku? Tanya Raga dalam hati.
Rasa sedih dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Pergulatan batin terus menerpanya.Wiper mobil ini cacat di bagian kanan, persis seperti diriku. Tapi wiper rusak bisa diperbaiki, kalau lengan yang cacat bagaimana membuatnya baik kembali?
Selama ini, Raga selalu meyakinkan dirinya bahwa ia sehat dan normal, sebuah sugesti yang ditanamkan dalam pikirannya sendiri. Lengan kanannya yang lebih kecil dan kurang berfungsi tetap ia anggap sama berharganya dengan lengan kirinya yang kuat. Raga berusaha melupakan kecacatannya, dan sejauh ini, kekuatan mentalnya berhasil mengatasi ketakutan itu. Namun, kasus kali ini mengguncang sebagian besar keteguhan hatinya. Pertahanan yang ia bangun dengan susah payah luluh lantak, menyisakan puing-puing yang membuat langkahnya tak tentu.
“Kasus kita ini termasuk karma instan, bukan ya?” Anggi bergumam tanpa menoleh pada siapa pun, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Kemudian, ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Iya, sepertinya begitu.”
Berkas di tangan Anggi yang ditulis tangan olehnya, sudah diedarkan dan dibaca kawan-kawannya. Kasus yang sungguh menyayat hati. Maksud hati membuat suaminya menyesal seumur hidup, ternyata takdir hidup membuyarkan rencananya dengan kejam. Sang Istri sudah membunuh anak-anaknya, dua anak gadis yang usianya belum genap enam dan delapan tahun, lalu si ibu muda mencoba mengakhiri hidupnya. Saat dibawa ke rumah sakit, ia dinyatakan sudah meninggal. Suaminya yang kalut hatinya terjun dari lantai tiga rumah sakit, merasa dunianya sudah berakhir. Siapa menyana, istrinya cuma mengalami mati suri, dan denyut jantungnya kembali berdetak. Si Istri yang kembali hidup akhirnya menggila. Setiap waktu ia mengamuk dan mencoba bunuh diri berkali-kali, bentuk penyesalan terdalam untuk perbuatannya yang gelap mata.
“Mati bersama bukan penyelesaian yang bagus. Maka itu, aku benci Romeo dan Juliet. Gara-gara kisah mereka, banyak orang yang memilih mati bersama, daripada memilih hidup bersama-sama.” Raga berucap pelan, hampir menyerupai bisikan. Kalau saja suasana mobil lebih ramai sedikit, suaranya pasti sudah tenggelam.
“Dasar manusia toksik.” Sendy berkomentar pendek, sesuai ciri khasnya yang irit bicara.
Raga berharap perjalanan ini tak pernah berakhir. Kasus yang mereka hadapi membangkitkan gejolak dalam hatinya, seakan menghidupkan kembali potongan masa lalunya yang menerjang ingatan seperti gelombang pasang. Ia teringat masa kecilnya, saat ia berusaha menyembunyikan kecacatannya dari dunia. Ia ingat perjuangannya menerima diri, melawan rasa takut dan rendah diri yang selalu menghantuinya. Namun, hari ini ia harus menghadapi semua itu dengan keberanian. Bayang-bayang masa lalu hanya bisa dikalahkan dengan tekad dan keteguhan hati. Ia harus membuktikan bahwa dirinya mampu mengatasi masa lalu dan melangkah maju, menjalani hari-hari mendatang dengan makna dan keberanian seorang laki-laki.
Masalahnya, ia belum terlalu siap menghadapi hantu itu. Tidak sekarang, seharusnya tidak sekarang. Raga bergelut dengan pikiran buruknya sendiri, mencoba meredam gejolak ketakutan yang mulai meracuni di dalam hatinya.
“Negeri kita ini kurang menghargai orang cacat,” gumam Kusala, menunjuk ke sebuah gedung megah. Dari jendela mobil yang merayap lambat, mereka menyaksikan seorang pengguna kursi roda tidak bisa menaiki lobi utama. Kursi rodanya sampai diangkat tiga orang sekuriti berbadan tegap. Seharusnya ada ramp untuk pengguna kursi roda, agar mereka bisa masuk dengan mudah. Padahal solusi segampang itu bisa memudahkan semua orang. Namun, prinsip negara ini cenderung berbelit-belit, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?
“Padahal teorinya, bangunan publik wajib ramah difabel, kan ada UU-nya. Ah, dasar teori itu cuma sebatas di bibir saja.” Fanny mencoba berkoar, namun suaranya tidak semantap biasanya.