Raga kembali menemukan sosok ibunya dalam ingatan masa lalu. Saat itu, usianya masih sangat belia—tepat enam tahun, pada hari ulang tahunnya. Hatinya dipenuhi kegembiraan anak kecil yang lugu. Namun, kebahagiaan itu dirusak oleh tragedi mengerikan yang membayanginya hingga kini. Dalam tidur panjangnya, Raga terus memutar ulang momen terakhir bersama ibunya. Ia sangat menyayangi sang ibu, namun entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya tidak merindukannya.
Sore itu, mata Raga berbinar-binar saat melihat kue tar yang disiapkan ibunya. Kue itu berlapis cokelat, dengan krim putih yang lembut di atasnya. Di tengahnya, terpampang mainan robot kecil yang terbuat dari plastik berwarna ungu. Robot itu memegang pedang panjang dan tampak gagah berdiri di atas kue. Sayangnya, ayah Raga sedang berdinas di luar kota. Raga dan ayahnya penggemar robot-robotan dan pedang-pedangan. Kalau saja ayah Raga melihat kue tar ini, bisa dibayangkan Raga, ayahnya pasti memekik-mekik girang menyerupai bocah kecil.
"Wow, Ma! Kue robot!" seru Raga dengan penuh semangat.
Ibunya tersenyum, namun senyumnya tampak dipaksakan. "Iya, sayang. Selamat ulang tahun ke enam ya."
Raga mendekat dan memeluk ibunya. "Terima kasih, Ma!"
Ibunya membalas pelukan Raga, namun sentuhan tangannya dingin dan kaku, seperti gerakan mesin. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tak bisa Raga pahami sepenuhnya. Di balik senyum lebar yang dipaksakan, terdengar helaan napas berat, seakan-akan ada beban tak terlihat yang menekan jiwa ibunya.
"Ayo Ma, potong kuenya," ajak Raga.
Ibunya menggeleng. "Tidak, sayang. Kamu makan saja sendiri. Mama sudah harus pergi."
Raga mengerutkan kening. "Pergi? Kemana, Ma?"
"Mama harus pergi. Mama sudah bereskan semua. Kamu makan saja kuenya, ya."
Ibunya beranjak dan mengambil koper hitam yang sudah terisi penuh pakaian. Raga memperhatikan ibunya dengan tatapan bingung. Setahu Raga, ibunya tidak perlu bekerja dan tinggal di rumah saja. Kalaupun bepergian, biasanya ia mengajak Raga ikut pergi bersamanya. Mungkin ibunya cuma membuat gurauan?
"Ma, kenapa Mama pergi? Mama gak mau potong kue sama Raga?" tanya Raga dengan suara kecil yang merajuk.
Ibunya tidak menjawab. Dia mencium kening Raga, lalu berbalik dan keluar rumah tanpa pamit. Raga terdiam, menatap punggung ibunya yang menghilang di balik pintu. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun dia tidak tahu apa itu.
Raga menatap kue tar yang tertinggal di meja. Kue itu masih utuh, dan robot kecil di atasnya masih berdiri gagah. Raga menghela napas, lalu mengambil pisau dan memotong kue itu sendiri. Rasa kue itu manis dan nikmat, namun di balik rasa manis itu, Raga merasakan pahitnya kehilangan. Ini pertama kalinya bagi Raga, merayakan hari ulang tahun tanpa orangtuanya. Namun, ia belum menyadari kesedihan yang lebih luar biasa, kue tar ini rupanya hadiah terakhir dari ibunya, ibu yang ingin mengajaknya mati bersama, sebagai hukuman bagi ayah Raga yang kekanakan dan hanya tahu bersenang-senang di luar rumah.
“Happy Birthday to me. Happy birthday to me …” Raga menyanyi dengan parau. Tak lama kemudian, si bocah Raga muntah-muntah dan kehilangan setengah kesadarannya. Ada sesuatu di dalam kue tar itu. Namun, saat itu Raga masih kecil, terlalu lugu untuk menaruh buruk sangka pada ibunya sendiri.
Raga masih ingat samar-samar saat-saat ia terbaring lemah di rumah sakit. Ingatannya tentang ruangan putih yang dingin, suara mesin yang berdengung, dan bau obat yang menusuk hidungnya. Ia ingat bagaimana ayahnya selalu berada di sisinya, mengelus rambutnya, dan membacakan cerita untuknya. Ayahnya juga diam-diam menangis saat sang putra dikiranya sedang tidur.
Raga sakit cukup parah, namun untungnya ia berhasil melewati masa kritis. Ia kembali sehat, namun hatinya terasa hampa. Ibunya tak kunjung kembali dari “perjalanan” yang tak jelas tujuannya. Setiap hari, Raga melihat ayahnya termenung di sudut ruangan, matanya sembab, dan wajahnya dipenuhi kesedihan.