“Pak Ragawi Natalegawa?”
Setelah sosok di pintu mendekati ranjangnya, Raga baru sadar bahwa sosok itu adalah polisi berseragam lengkap. Polisi itu tersenyum dengan wibawa dan hormat, menunjukkan sikap profesional yang menenangkan. Namun, hati Raga tetap was-was. Apakah polisi ini menyampaikan kabar bahwa Kusala ditahan karena berkelahi dengan pasien rumah sakit yang diawasi polisi? Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan buruk. Apakah Kusala terluka? Apakah ia akan dipenjara? Raga menelan ludah, menunggu dengan was-was apa yang akan dikatakan sang perwira.
“Selamat siang Bapak, apakah Bapak sudah merasa lebih sehat?” Sang polisi bertanya dengan senyum tersungging.
Raga sempat berpikir polisi berseragam itu seorang dokter yang berseragam polisi. Kira-kira seperti di RSPAD Gatot Subroto, dokter yang bertugas di rumah sakit itu semuanya tentara bertitel dokter. Raga teringat saat ia berkunjung ke RSPAD beberapa tahun lalu, terkejut melihat para dokter yang berpakaian seragam militer. Namun, segera ia sadar bahwa polisi ini memang benar-benar polisi, bukan dokter. Pasalnya, tidak ada stetoskop yang menggantung di lehernya. Ia teringat, setiap dokter yang pernah ia temui selalu membawa stetoskop sebagai alat bantu untuk memeriksa pasien. Polisi ini hanya mengenakan seragam lengkap, tanpa tanda-tanda lain yang menunjukkan profesinya sebagai dokter.
“Selamat siang juga Pak, saya sudah merasa lebih baik, Pak.” Raga menjawab lemah.
“Bagus. Nanti kalau Bapak merasa sudah siap, silakan ikuti saya ke kamar pasien kelas I.”
Pikiran Raga melayang tak keruan, terbayang adegan gore dalam benaknya. Kamar pasien kelas I bersimbah darah, barang-barang dalam kamar berantakan mirip kapal pecah. Ranjang pasien yang biasanya rapi, kini tampak seperti medan perang. Selimut dan bantal berserakan di lantai, tercampur dengan serpihan kaca dan barang-barang lainnya. Di atas meja kecil, terlihat sisa-sisa makanan yang tumpah, seolah-olah makanan itu baru saja dilemparkan dengan kasar. Kaca-kaca jendela hancur berantakan, serpihannya berserakan di lantai, mencerminkan keganasan perkelahian yang baru saja terjadi.
Raga membayangkan Kusala terkapar di lantai, tubuhnya penuh luka, darah mengucur deras dari lukanya. Ia terbayang Kusala yang terdesak, mati-matian berjuang melawan pasien bunuh diri yang jauh lebih bertenaga. Bayangan-bayangan itu membuat Raga semakin cemas, perutnya terasa melilit dan mual.
Raga mencoba menenangkan diri, berusaha untuk berpikir rasional. Mungkin bayangannya itu terlalu berlebihan. Mungkin Kusala hanya terlibat pertengkaran kecil, bukan perkelahian sengit. Namun, bayangan-bayangan itu tetap menghantuinya, menjadikan hatinya semakin berdebar-debar.
Sementara si polisi berbincang dengan bibi Raga, Raga meneliti kamar yang ditempatinya. Tersadarlah si pria, ruangan ini ruang IGD yang kebetulan sedang lengang. Hanya ada tiga orang pasien lainnya dan mereka berada di ranjang yang bersekat tirai putih, agak di kejauhan. Fanny, Sendy, dan Anggi … Apakah mereka terlibat juga dalam perkelahian Kusala? Mengapa tiga sekawan itu tidak kelihatan menjenguknya?
“Maaf, Pak.” Raga menyapa sang polisi muda. “Apakah situasi di kamar kelas I aman terkendali? Lalu empat teman-teman saya nasibnya bagaimana?”
“Kebetulan mereka semua ada di sana, Bapak. Silakan nanti Bapak ikuti saya ke tempat kejadian.” Sang polisi menjawab dengan profesional.
Mendengar kata “tempat kejadian” membuat Raga bergidik, meremang bulu romanya. Mungkin petugas polisi memang terbiasa berbahasa dengan santun dan profesional. Tempat kejadian yang dimaksud apakah berupa TKP atau tempat terjadinya kejadian yang biasa-biasa saja? Raga enggan banyak bertanya, ingin membuktikan dengan matanya sendiri. Alhasil, dengan kepala yang masih tidak nyaman, ia memaksakan dirinya bangkit dari ranjang berseprai putih, bertekad untuk melihat sendiri apa yang terjadi.