Kusala dikelilingi oleh Anggi, Fanny, dan Sendy, yang seolah sedang mewawancarainya. Mereka ingin tahu bagaimana si gadis tomboy itu bisa membujuk ibu yang mengamuk di rumah sakit dan ingin bunuh diri hingga tenang kembali. Anggi, dengan matanya yang berbinar-binar, bertanya, “Gimana caranya, Sal? Cerita dong!” Sendy, yang biasanya pendiam, pun ikut penasaran, “Iya, aku juga pengen tahu. Kok bisa, sih?” Fanny, dengan suara paling lantang, menyela penuh semangat, meski tubuhnya memeluk diri sendiri seakan diliputi ketakutan yang berlebihan. 'Gila, tadi gue deg-degan banget, hampir ambruk rasanya. Gokil lah."
Raga hanya mendengarkan, menatap Kusala dengan kagum. Ia terpesona dengan keberanian dan kedewasaan Kusala, yang mampu menghadapi situasi sulit dengan tenang dan bijaksana. Ia ingin sekali tahu bagaimana Kusala bisa menenangkan ibu itu, tapi ia juga merasa malu untuk bertanya.
Kusala tersenyum, “Begitu aku masuk, ibu itu teriak, kamu gak takut ya sama aku, aku ini sudah gila, katanya.” Ia mengedarkan pandangan ke teman-temannya, “Nah, detik itu juga aku sadar, ibu ini cuma pura-pura gila. Karena orang gila betulan gak akan ngaku dia gila, justru kita-kita yang waras dibilangnya gak beres, dia sendiri yang ngerasa paling waras di dunia ini. Kan?”
Anggi manggut-manggut setuju. “Pantas ya, waktu elo nekat masuk itu, Sal, suara bak bik buk langsung sunyi senyap. Gue kira elo udah pingsan atau pegimana. Kan waktu pas di rumah si Bagus, suara elo bikin setan-setan pada ngacir semua. Hehe.”
“Tadinya si ibu mau ngelempar barang ke aku. Terus aku bilang ke dia, di negeri kita ini, orang gila tetap ditahan sampai kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Setelah pengadilan membuktikan dia punya gangguan jiwa baru bisa dibebaskan. Kalau dia terbukti tidak gila dan sempat melukai orang, hukumannya bisa berlipat ganda, gitu. Padahal aku buta hukum, sih, asal nyerocos aja, yang penting gue gak kena lemparan asbak si ibu. Gokil kan gue?”
Raga makin terkesima mendengar Kusala punya wawasan soal hukum. Ia tak menyangka gadis tomboy itu memiliki pengetahuan yang mantap, seolah-olah ia telah mempelajari banyak buku tentang segala hal. Rasa kagum Raga bercampur dengan ketakutan. Kusala lebih cerdas dari yang disangkanya.
Raga mencampurkan kekagumannya dengan ketakutan, seperti burung kecil yang terperangkap dalam sangkar emas. Ia terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Kusala, tapi di saat yang sama, ia merasa takut akan kekuatan yang terpancar dari gadis itu. Rasa takutnya seperti bayangan yang tak kunjung hilang, menyertai sinar yang menyorot tajam. Burung kecil dalam sangkar itu kagum, matanya tertuju pada langit biru yang membentang tanpa batas, merindukan kebebasan yang tak pernah diraihnya. Namun ia takut dunia yang dikaguminya itu tidak menerimanya dengan ramah.
Terlebih lagi, Kusala bagaikan magnet yang menarik Raga, membuatnya ingin mendekat, tapi kekuatan yang terpancar dari gadis itu juga mengerikan. Si pria gamang merasa seperti berada di tepi danau yang memesona, ingin melompat, tapi ngeri akan kegelapan dan kedalaman yang menanti di bawah.
Keputusannya mengundang Kusala masuk dalam Klub Bunuh Diri entah benar atau salah. Raga sadar sejak pertama kali memandang Kusala di perpustakaan, gejolak aneh di perutnya semakin nyata. Setiap kali mata sipit si gadis itu menatapnya, Raga merasa ia bukan lagi seorang Raga yang dulu. Rasa gugup dan tidak nyaman bercampur aduk dalam dirinya. Seakan mata yang begitu kecil itu sanggup melahapnya bulat-bulat, ibarat pasir hisap yang diketahuinya tidak terlihat dari luar. Keingintahuan Raga semakin membuncah, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik mata sipit itu. Ingin ia menyelami kedalamannya, menjelajahi rahasia yang tersimpan di sana. Namun, ia juga takut akan kekuatan yang ditunjukkan mata itu, takut akan kemungkinan terjebak dalam pusaran tak berujung. Ya, Kusala seperti pusaran baginya, pusaran memabukkan itu, sesuatu yang namanya belum ia ketahui saat ini.
Raga merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak bertemu Kusala. Ia merasa tertantang dan terdorong untuk menjadi lebih baik. Ingin membuktikan pada Kusala bahwa ia bukan lagi anak laki-laki yang lemah dan cengeng. Betul, itulah rahasia gelap yang dipendam oleh Si Tangan Malaikat. Kelemahan dan kecengengan. Alhasil, Raga sangsi dan ragu, mampu menjadi seseorang yang kukuh, setidaknya pantas dan layak untuk dikagumi oleh gadis di hadapannya ini.
Gejolak hati Raga seperti bisa dirasakan Anggi yang membanyol dengan sampanyenya. Si pria gondrong yang seorang pelawak jadi-jadian ini mengacungkan botol besar dengan penuh gaya. “Kasus ini sukses berat, berkat kita lima sekawan yang kompak. Mari kita rayakan dengan minuman sampanye ini.”
Botol bening yang isinya kuning pekat mengundang curiga semua orang. Fanny menuduh Anggi mengoplos minuman itu dengan cairan berbahaya. “Gi, itu icing elo kali, ya. Udah fermentasi jadi arak tua. Terus elo oplos pake obat nyamuk sama minyak nyongnyong dukun. Jangan, Gi. Umur gue masih panjang, tahu.”
“Bakal mati, elo.” Sendy mengakak dengan ucapannya yang irit kata-kata.
“Sembarangan kalian ini. Gue ketemu di kulkas dapur, kok. Ini minuman jus jeruk, kali.” Anggi menukas seperti kurang senang. Setahu Anggi, dapur markas mereka punya harta tak terduga. Setidaknya dalam kulkas tua yang pintunya mengeluarkan embun itu, selalu ada temuan yang mengejutkan, contohnya botol jus jeruk yang teronggok di pojok lemari es, terlihat menggoda dengan bulir-bulir jeruk di dasarnya. Warna kuningnya kelihatan mirip jeruk peras yang harganya mahal. Bahkan menurut Anggi, kuningnya kelihatan lebih pekat dan kelihatannya lebih menggiurkan.
Raga yang melamun soal Kusala tidak menyimak omongan Anggi. Begitu Anggi sudah mengedarkan gelas yang diisi dari botol itu, Raga baru terkesiap. “Astaga!” Pekiknya keras. “Itu kan minuman jeruk yang udah expired tiga tahun yang lalu. Aku baru ingat, itu buat merayakan satu tahun klub kita, tapi belum sempat keminum.”