Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #10

Kusala #10

Dua tahun sebelumnya


“Nona A Han sudah pulang, Tuan.”

Kusala berdiri mematung di balik pintu berwarna gading, terbuat dari kayu hinoki berusia seratus tahun, entah didatangkan dari Negeri Matahari Terbit atau Pulau Formosa. Ukiran bunga sakura yang rumit menghiasi permukaannya, seolah ingin menceritakan sebuah kisah cinta yang indah namun sementara. Bagi Kusala, sakura merupakan simbol ketidakpastian dalam hidupnya. Meskipun tampak menawan dan murni, hatinya tak mampu merasakan keindahan itu; hanya kesuraman yang menyelimuti dirinya sejak pertama kali mendengar namanya disebut oleh asisten rumah tangga ayahnya. “Nona A Han.” Itulah nama kecil Kusala. Ayahnya memanggilnya A Han saat hatinya sedang baik, tetapi akan menyebutnya “anak kurang ajar” ketika suasana hatinya memburuk.

Gadis itu merasakan lututnya gemetar hebat hanya dengan mendengar langkah kaki dan dehaman pria di balik pintu. Ia teringat betapa ayahnya selalu bersikap dingin dan tak terduga. Kadang, ia bisa bersikap lembut dan penuh kasih sayang, tetapi di lain waktu, ia berubah menjadi momok, sosok menakutkan yang membuatnya gentar. Kusala tak pernah tahu kapan ayahnya akan berubah, dan ia hidup dalam ketakutan serta ketidakpastian. Terlebih lagi hari ini, ia tahu bahwa perbuatannya takkan dimaafkan oleh pria di balik pintu itu. Pria yang seharusnya menjadi ayah bagi Kusala. Seharusnya begitu - jika saja Kusala terlahir sebagai laki-laki, mungkin pria itu benar-benar akan menjadi ayah baginya.

“Suruh dia masuk.”

Hanya tiga kata yang disebut ayah Kusala. "Suruh dia masuk." Perkataan yang pelan dan berwibawa, namun di telinga Kusala terdengar menggelegak bak dentuman meriam kuno. Kebetulan, ayahnya punya benda kesayangan: meriam kuno yang dipamerkannya di taman tengah rumah mereka. Meriam itu selalu menjadi pusat perhatian, dengan badan baja yang kokoh dan moncong yang mengarah ke langit. Sewaktu kecil, Kusala sering bertanya pada ayahnya seberapa keras suara meriam itu. Ayahnya hanya tersenyum misterius dan berkata, "Kamu akan tahu nanti, A Han. Setelah kamu sudah dewasa, seperti Ayah."

Kusala masih ingat betapa ia selalu merasa takut dan terintimidasi setiap kali berada di dekat meriam itu. Benda itu baginya bukan sekadar senjata, tetapi simbol kekuatan dan kekuasaan ayahnya. Ayahnya selalu mengingatkan - melalui simbol meriam itu - bahwa Kusala harus menghormati dan patuh padanya, seolah-olah ia adalah raja yang memegang kendali atas hidup dan matinya.

Kusala menyaksikan punggung ayahnya, yang sengaja membelakangi putrinya yang baru pulang ke rumah. Sudah beberapa bulan Kusala menolak perintah ayahnya untuk pulang, namun kali ini ia tak bisa mengelak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya pada sang ayah. Bayangan ayahnya yang tegak berdiri persis sama dengan meriam kuno yang menegak dengan sombong di taman tengah rumah, mengejutkannya karena kemiripan itu kian meyakinkan, seiring usia ayahnya menua. Ia menundukkan kepala, menanti dentuman kemarahan laki-laki yang tidak lagi menjadi ayahnya itu.

Meriam itu kini disadari Kusala sebagai lambang kedaulatan dan kekuasaan yang tak terbantahkan. Dulu, ia sempat curiga bahwa ayahnya memasang meriam itu dengan tujuan tertentu—untuk menegaskan bahwa dialah penguasa tunggal di rumah ini. Namun, Kusala bukan lagi anak kecil yang naif. Tubuhnya telah matang, pikirannya pun demikian. Ia tak akan membiarkan ayahnya terus mendominasi seluruh hidupnya.

“A Han, kamu tidak menyapa Ayah? Apakah kamu tak menginginkan ayahmu lagi?”

Sesaat yang sangat singkat, Kusala seolah merasakan kerapuhan dalam diri ayahnya - pria yang tampak sukses, dikelilingi harta dan kekuasaan, tetapi tetap saja terperangkap dalam kesepian dan kebahagiaan yang semu. Di momen itu, Kusala merasakan keinginan kuat untuk memeluk punggung yang kokoh itu dan memanggilnya “ayah.” Namun, Kusala bukan lagi anak kecil; ia tahu betul bahwa kelembutan ayahnya hanyalah seperti bunga sakura - indah, tetapi hanya untuk sementara.

Ayah Kusala akhirnya membalikkan tubuhnya, karena putrinya tidak memanggilnya ayah, sesuai perintah dan kemauannya. Ia tidak lagi menemukan putrinya yang patuh dan penurut. Tatapannya tajam dan menuntut, bagaikan pisau tajam yang siap menusuk. Ia menghunus sang putri dengan telunjuknya. “Apakah kamu adalah A Han, putriku?”

“Apakah Tuan Koo adalah ayahku?” tanya Kusala, suaranya terdengar dingin dan penuh penolakan.

“Kau berani menentangku?” desisnya, suaranya bergetar karena amarah. “Kau pikir kau bisa lari dariku?” Ayah Kusala menggeram, tangannya meremas surat kabar yang memuat pernyataan Kusala dengan tegas, hitam di atas putih. Sejak kemarin, Kusala telah memutuskan hubungan ayah dan anak dengan pria itu.

Kusala menggeleng, “Aku tidak lari, Tuan. Aku hanya ingin bebas.”

Perkataan yang lemah dan klise, seakan umpan bagus bagi ayah Kusala untuk menyambar, kemudian tertawa sinis. “Bebas? Kau pikir kau bisa bebas dariku? Kau salah besar! Kau akan selamanya menjadi milikku! Kau putri sulung keluarga Koo. Camkan itu!”

Kusala menunduk, keringatnya mengalir deras. “Tidak, Tuan. Aku tidak akan menjadi milikmu lagi. Aku sudah memutuskan untuk hidup sendiri. Aku bukan lagi putri sulung di rumah ini.”

Ayah Kusala mencengkeram surat kabar itu dengan erat, matanya menyala-nyala. “Anak kurang ajar! Kau akan menyesal!” desisnya. “Kau akan menyesal telah menentangku!”

Kusala mengangkat kepalanya, tatapannya penuh tekad. “Aku tidak akan menyesal. Aku akan hidup bahagia tanpamu, Tuan.”

Lihat selengkapnya