Raga sibuk di dapur markas, mencoba meracik menu andalannya yang baru. Dengan teliti, ia mencampurkan mie ramen, jamur enoki, dan cabai merah besar yang tidak pedas, seakan sedang menciptakan sebuah karya seni. Sesekali, ia melirik ponselnya, membandingkan gambar di layar dengan hasil kreasinya sendiri. Wajahnya tampak serius, sesekali menggaruk kepala dan menggeleng, seolah ragu atau tengah memikirkan sesuatu yang lebih penting. Dari meja makan, Anggi memperhatikannya dengan penuh keheranan. ‘Kamu lagi ngapain, Ga?’ tanyanya penasaran.
“Aku lagi masak mie ramen spesial.” Ia menunjuk ke satu mangkuk mie yang terlihat berbeda dari yang lain. “Pokoknya yang ini lain dari yang lain, deh.”
Anggi mengerutkan kening, “Kenapa mie itu spesial? Karena enokinya lebih banyak?” Lantas ia menunjuk hiasan telor mata sapi yang diberi edible stamp berupa wajah tersenyum. “Oh, karena ada gambar senyum-senyumnya?”
Raga tersipu, “Ho-oh. Itu buat Kusala, agar dia selalu ingat untuk tersenyum.”
Anggi terkekeh, “Wah, kamu udah dimabuk kepayang sama Kusala, ye?” Ia bersiul-siul menggoda Raga. “Jatuh cinte ye, berjute-jute rasane, hehe.”
Raga menunduk, sibuk menata telor mata sapi yang posisinya kurang simetris. “Enggak kok, cuma … aku pengen dia bahagia.”
Anggi menggelengkan kepala prihatin, “Ya udah, semoga Kusala suka sama mie spesialmu, Mie Jantung Hati Sang Belahan Jiwa. Orang jatuh cintrong mah kayak orang pilon. Sarap semua. Ciee ciee.”
Senyum Raga merekah. “Semoga dia menyukainya,” gumamnya sambil menaruh mangkuk mie spesial di atas meja makan. Ia tak lupa meletakkan sepasang sumpit stainless steel yang baru dibelinya kemarin. Sumpit spesial untuk Kusala, pikir Raga. Sementara itu, ia dan tiga temannya menggunakan sumpit bambu sekali pakai yang harganya jauh lebih murah.
Beberapa menit berlalu. Raga duduk tenang di meja makan, menunggu Kusala datang untuk makan siang bersama. Berkali-kali ia merapikan semangkuk ramen buatannya, menanti si gadis mencicipi hidangannya. Aroma gurih dari ramen, berpadu dengan wangi jamur enoki dan cabai merah besar, memenuhi ruangan, menggugah selera. Anggi pernah berkata, aroma enoki mengingatkannya pada buah-buahan segar. Siapa pun pasti tergoda untuk mencicipi saat mencium harum semerbak itu.
“Bukan bau duren, Gi?” Sendy berseloroh, mengelap mulutnya dengan tisu, lalu menutup hidungnya karena tak tahan bau durian yang menyengat.
“Itu mah bau karbit. Gasnya udah mau habis. Makanya baunya kayak duren. Duren boong-boongan. Lumayanlah, dapet baunya aje.” Anggi kembali berceloteh sembari menandaskan mangkuk mie ayam jagonya.
Telor mata sapi yang tersenyum itu terlihat begitu manis, seolah-olah sedang menggoda Raga. Ia membayangkan senyum Kusala terbit di telor goreng buatannya. Senyum manis dengan mata sipit menggemaskan. Raga membayangkan membalas senyum itu dengan senyuman yang lebih manis lagi, seolah-olah mereka sedang bertukar senyum dalam sebuah percakapan bisu. Anggi hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Raga yang aneh, tersenyum pada semangkok mie dan telor mata sapinya. Ingin meledek, tapi ia tak tega, lalu membiarkan Raga hanyut dalam lamunan romantisnya.
Namun, si dia yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Raga mulai gelisah, menatap jam dinding yang berdetak dengan lambat. Mie ramen buatannya mulai mengembang, seolah-olah sedang menjerit karena kesepian diabaikan.
“Fan, kamu lihat Kusala?” tanya Raga pada Fanny, suaranya sedikit khawatir.
Fanny, yang selalu makan paling lambat, asyik menyantap mie ramen, menjawab dengan mulut penuh, “Sepertinya di kamar mandi, Ga. Lampu kamar mandi nyala, dan ada suara keran air yang mengalir.”
Sendy, yang sedang asyik bermain game di ponselnya, menimpali, “Iya, aku lihat Kusala masuk kamar mandi sekitar satu jam yang lalu.”
Raga mengerutkan kening, “Kok lama banget, sih?” Ia mulai merasa tidak tenang. “Mungkin Kusala kenapa-kenapa? Mungkin terkunci di dalam?”
Sejurus kemudian, Raga, Anggi, Sendy, dan Fanny berkumpul di depan pintu kamar mandi dengan rasa penasaran yang membuncah. Lampu kamar mandi menyala redup, memancarkan cahaya lembut yang menyerupai sinar kunang-kunang dari kisi-kisi jendela. Suara keran air yang mengalir deras menciptakan alunan musik aneh yang memecah keheningan rumah. Anehnya, tidak terdengar suara kecipak air dari dalam kamar mandi, hanya gemericik air yang terus mengalir tanpa henti. Mereka saling bertukar pandang, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu itu.
Raga mengetuk pintu kamar mandi dengan lembut, “Kusala, kamu ada di dalam, ya?” tanyanya, suaranya sedikit bimbang.