Raga melangkah dengan cepat, menaiki tangga yang berkelok-kelok. Ia seperti mengejar bayangan, siluet seorang gadis yang menuntunnya ke lantai lima. Siluet itu samar, namun Raga yakin itu adalah Kusala. Ia bisa merasakan kehadirannya, merasakan aura kesedihan yang mengelilingi siluet itu. Seakan suara Kusala sendiri yang berbisik padanya, “Raga, aku ada di sini.”
Langkah Raga semakin cepat, napasnya memburu, namun hatinya berbunga-bunga. Setiap detak jantungnya seolah berirama dengan harapan yang bergejolak. Ia tahu Kusala akan segera ditemukannya. Bayangan wajah gadis itu terus terlintas di benaknya, membuatnya semakin bersemangat. Ia tak ingin tahu alasan si gadis lari dari markas mereka, tak ingin mendengar langsung dari bibirnya yang selalu cemberut. Raga hanya ingin memintanya kembali ke sisinya, menghapus kesalahpahaman mereka, dan bersama-sama menghadapi segala tantangan yang ada.
Napas Raga terengah-engah, namun hatinya berteriak gembira. Di sana, di bangku penonton paling belakang, ia melihat Kusala. Gadis itu duduk mematung, hanya diterangi oleh cahaya redup dari bioskop yang sudah kosong. Film sudah selesai diputar, namun Kusala tetap duduk di sana, seakan ingin diketemukan dalam kesendirian oleh Raga, kesendirian yang rapuh dan membingungkan, sosok yang anggun sekaligus canggung di saat yang sama.
Raga merasakan campuran emosi yang kuat. Ia melihat Kusala yang tampak begitu rapuh, namun keanggunan yang memikat membuat siapa pun terpukau padanya. Cahaya redup yang kosong menyorot wajahnya yang muram, menciptakan cahaya lainnya yang berpendar misterius. Raga tahu, di balik kesendirian itu, Kusala menyimpan banyak cerita dan perasaan yang belum diungkapkan. Ia ingin mendekatinya, meski tak mampu menghapus kepedihan yang mungkin Kusala rasakan. Dengan langkah hati-hati, Raga mulai mendekati gadis itu, berharap bisa membawa kembali senyum di wajahnya.
“Kamu menemukan aku.” Kusala berucap dengan lemah.
“Iya, kamu yang memberiku petunjuk.” Raga berucap tanpa keraguan sedikit pun.
“Tapi, kenapa kamu begitu lama? Aku hampir tak bisa bertahan lagi. Kukira kamu tak akan datang selamanya.” Kusala berujar dengan cemberut di parasnya.
“Astaga, apakah kamu sakit? Kamu gak apa-apa?” Raga menyambar dengan cemas.
Kusala yang cemberut tampak pucat dan lemas. Wajahnya putih seperti selembar kertas kosong, tanpa warna, tanpa goresan cerita yang mengisinya. Teru Teru Bozu, pikir Raga, membandingkan Kusala dengan boneka tradisional Jepang yang digunakan sebagai jimat untuk mendatangkan cuaca cerah. Boneka putih itu, terbuat dari kain sederhana, dibentuk menyerupai sosok manusia dengan wajah tersenyum. Namun, yang membedakan Kusala dengan Teru Teru Bozu adalah parasnya yang tak dihiasi senyum, Raga merenung. Ia heran, di tengah kecemasan yang ia rasakan, bagaimana mungkin pikiran konyol seperti itu muncul di benaknya. Mungkin karena ia begitu bahagia akhirnya bisa menemukan Kusala yang sempat hilang.
Teringatlah Raga, sepertinya seharian ini, Kusala belum makan apa-apa selain sarapan mie instan. Raga terenyuh, menyentuh tangannya yang dingin, segera ingin memapahnya untuk pulang dan beristirahat. Teringatlah Raga pada mie ramen spesial yang terlupakan di markas mereka. Telor mata sapi itu dibuat Raga penuh senyum, sayang Kusala tadi tidak sempat mencicipinya.
“Hati-hati, aku berat.” Kusala mengingatkan dengan suara serak.
“Aku ini Tangan Malaikat. Kamu lupa?” Raga seakan mengingatkan Kusala, bahwa tangan kirinya sangat kokoh dan bisa diandalkan.
Kusala dengan dipapah Raga berhasil menuruni tangga hingga ke pelataran parkir. Namun, hujan deras turun, menciptakan genangan air yang berkilauan di bawah cahaya neon putih. Setiap tetes hujan yang jatuh menambah kesan dramatis pada malam itu. Kusala semakin cemberut, wajahnya yang pucat semakin menyerupai Teru Teru Bozu yang tak tersenyum.
Raga tersenyum geli, mengingat Teru Teru Bozu, jimat penangkal hujan yang selalu tersenyum. Senyuman itu adalah pertanda cuaca cerah dan bersahabat. Pantas saja hujan turun, pikirnya, karena Kusala yang berkulit putih dan bermata sipit mirip sekali dengan Teru Teru Bozu. Namun, amat disayangkan, cemberut di parasnya mendatangkan hujan beruntun. Seandainya ia tersenyum sedikit, mungkin cuaca yang buruk bisa sedikit membaik.
“Kamu seperti Teru Teru Bozu yang cemberut,” ujar Raga, mencoba menghibur Kusala.
Kusala mendengus, “Aku tidak suka hujan.”
“Aku tahu,” jawab Raga, “Tapi aku suka melihatmu cemberut.”
“Jangan konyol. Aku tidak suka hujan. Hujan menghalangi langkah manusia, kamu tahu itu kan?” Kusala yang pucat semakin cemberut.
Dengan santai, Raga membuka tas selempangnya dan mengeluarkan sebatang payung lipat berwarna hitam. Ia mengacungkannya pada Kusala yang membelalakkan mata, terkejut melihat persiapan Raga. “Kita bisa jalan terus dengan payung ini. Hujan bukan halangan buat manusia, kan?” ujar Raga dengan senyum penuh keyakinan.
Kusala akhirnya tersenyum sangat manis, senyum yang melelehkan hati Raga dan membuatnya terpukau oleh cahaya redup di mata gadis itu. Kusala meraih payung hitam yang dipegang Raga, berniat memayungi pria itu, namun Raga dengan lembut menolaknya. “Sebagai pria, seharusnya aku yang memayungi kamu,” ucapnya, sambil membuka payung dan memayungi mereka berdua. Kusala menatapnya dengan penuh rasa terima kasih, senyumnya semakin lebar. Di bawah payung hitam itu, mereka melangkah bersama, menghadapi hujan deras dengan hati yang penuh kehangatan.
“Aku tak menyangka, ada pria yang bawa payung kemana-mana. Kamu tuh manusia antik, Raga.” Kusala kembali tersenyum dengan manis.
Senyum Kusala seolah menjadi Teru Teru Bozu yang membawa kecerahan. Hujan yang tadinya deras kini mereda, menyisakan gerimis lembut yang membuat malam tampak semakin indah dan romantis. Raga memayungi Kusala dengan tangan kirinya, sementara tubuh Kusala bersandar erat padanya. Kusala tahu tangan kanan Raga lemah, sehingga ia merangkul pinggang si pria lekat-lekat. Di bawah payung hitam kecil, mereka tampak seolah menyatu, sementara kilauan lampu neon dan percikan air gerimis memberi semburat warna pada malam bercahaya remang.
“Tinggi kamu berapa senti?” Raga bertanya pada Kusala, yang mula-mula tercengang akan pertanyaan itu.
“179 cm, kalau tidak salah.”