“Sala, Sala, Sala.”
Suara lembut itu membangunkan Kusala, seolah berasal dari mimpinya yang penuh keindahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden, hangat menyentuh wajahnya yang dihiasi senyum. Ia merasakan tangan ramping melingkar di pinggangnya, mendekap erat tubuhnya ke dalam pelukan menenangkan. Ketika ia menoleh, ia melihat Raga yang masih tertidur lelap, wajahnya damai dan tampak kekanakan, begitu menggemaskan di bawah sinar lembut matahari pagi.
Kusala menggigit bibirnya, tersipu karena Raga memeluknya erat dari belakang. Ia merasakan detak jantung Raga yang berdebar pelan di punggungnya, menciptakan sebuah melodi merdu yang menyenangkan hatinya.
Kusala dengan lembut melepaskan pelukan Raga, tak ingin membangunkannya. Ia duduk dengan hati-hati di sisi Raga, untuk mengamatinya lekat-lekat. Ia mengusap rambut Raga yang ikal, menikmati kelembutan rambut itu di bawah jemarinya. Belum puas, Kusala menepuk-nepuk pipi Raga gemas, menikmati kehangatan kulit Raga di bawah telapak tangannya. Pertama kali dalam hidupnya, Kusala begitu bahagia bisa merasakan kehangatan seseorang di sampingnya.
“Hai, pagi.” Raga menyapa Kusala, menyipitkan matanya, tersenyum lebar dan menggenggam erat tangan mulus yang menepuk-nepuk pipinya.
“Pagi yang indah.” Kusala menyahut mesra.
Raga menunduk, menatap tangan Kusala yang lembut. Dikecupnya tangan itu berkali-kali, seolah-olah mencuri sedikit kehangatan dari kulit Kusala yang halus. Setiap kecupan membuat wajah Kusala semakin memerah. Kusala merasa jantungnya berdebar kencang, dan untuk menutupi rasa rikuhnya, ia berseloroh, “Raga, kamu belum gosok gigi, lho.” Berkata begitu, wajahnya menyemu serupa buah delima yang sudah masak.
“Oh ya, aku belum gosok gigi, ya,” Raga berlagak mengerutkan kening. Ia mulai mengangkat tubuhnya dari sofa, namun tiba-tiba dengan helaan napas panjang, ia kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa, membiarkan matanya terpejam sejenak.
“Hei, kok tidur lagi. Dasar malas!” Kusala mengguncang pundak Raga, berpura-pura marah-marah.
“Kayaknya aku udah mati, deh.” Ujar Raga masih dengan mata terpejam.
“Amit-amit. Kamu bicara apa, sih. Sembarangan aja ngomong, pagi-pagi juga.” Kusala mengomeli Raga dengan bibirnya yang tersenyum.
“Maksud aku, aku pasti lagi di surga nih. Bagaimana mungkin pagi-pagi sudah ada bidadari cantik di samping aku. Kok bisa?” Raga akhirnya membuka matanya, senyum mesra menghiasi wajahnya. Ia menarik Kusala dalam dekapannya, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang begitu istimewa.
Kusala mengecup pipi Raga dengan gemas. “Pipimu sangat menggemaskan, kamu tahu gak?”
Raga semakin mantap berpura-pura pingsan, matanya terpejam rapat namun bibirnya mengulum senyum yang manis. “Ah, aku pasti betul-betul sudah mati sekarang. Tolong aku, dong.” Ucapnya konyol.
“Mau aku kasih kamu napas buatan sekarang?” Kusala mengancam Raga dengan geraman kecilnya.
"Ah, aku gak mau mati kalau kamu yang kasih napas buatan ke aku." Raga akhirnya membuka matanya, menatap sang gadis dengan matanya yang berbinar-binar.
“Kusala, maaf, maksudku Sala. Kamu lebih cantik dari bidadari surga, sungguh luar biasa cantik,” bisik Raga dengan penuh kelembutan. Ia mengusap wajah Kusala dengan sentuhan mesra, jemarinya menelusuri rahang lonjong yang begitu anggun. Tatapannya terpaku pada paras Kusala yang, meskipun lebih menyerupai seorang pria tampan, di mata Raga justru memancarkan keindahan yang melampaui Sang Venus. Bagi Raga, Kusala adalah kesempurnaan miliknya yang sulit tertandingi kecantikannya.
“Kamu sungguh konyol,” Kusala mengomel dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya. Matanya berkaca-kaca oleh pujian Raga, menatap penuh kasih pada paras Raga yang tampak begitu feminin tanpa kacamata. Saat Raga berbaring, rahangnya yang lembut membuatnya menyerupai seorang gadis rupawan. Kusala mendekatkan wajahnya, merasakan detak jantungnya yang semakin deras. Ia bisa merasakan kehangatan napas Raga, dan dalam momen itu, dunia seakan berhenti berputar, hanya ada Raga dan Kusala, serta keheningan manis di antara mereka berdua.
“TINN … TINN … TINN …”
“Astaga! Si Anggi!” Kusala tak sadar memekik, cepat-cepat membekap mulutnya sendiri. Ia bangkit dari dekapan Raga, yang sebenarnya ingin memeluknya lebih lama. Dengan jantung berdebar kencang, Kusala berlari tunggang langgang menuju kamar mandi, seolah-olah melarikan diri dari sesuatu yang menakutkan. Baginya, sungguh kiamat jika Anggi memergoki mereka tengah bermesraan di sofa ruang admin. Kusala menutup pintu kamar mandi dengan cepat, mencoba menenangkan diri sambil mendengarkan langkah-langkah di luar, berharap Anggi tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
“Good morning, sunshine. How are you today?” Itu suara Anggi yang penuh semangat berbicara bahasa Inggris.
“Halo, pagi, Gi. Aku bangun kesiangan, nih.” Yang ini suara Raga yang berlagak baru bangun dari tidurnya.
“Cewek elo dah ketemu, Ga?” Anggi bertanya pada Raga.
“Ada tuh di kamar mandi.” Raga menjawab santai.