Kusala mengunci pintu kamar kosnya dengan hati-hati, namun tiba-tiba ia teringat bahwa ada sesuatu yang tertinggal. Dengan cepat, ia kembali masuk ke dalam kamar dan membuka laci meja, mengambil selembar lukisan yang sangat berarti baginya. Baginya, lukisan ini sama berharganya, bahkan lebih sentimental dari lukisan wanita di tengah hujan lebat. Lukisan itu berdebu, karena sudah lama diabaikannya. Kusala meniupnya perlahan, bibirnya seakan mengecup lukisan itu. Setelah memasukkan lukisan itu ke dalam tas dengan hati-hati, ia mendengar ketukan di pintu.
Kusala menghela napas, mengira itu ibu kos yang pemarah. “Iya, Bu. Maaf, saya agak lama.” Ucapnya dengan santun.
“Maaf, aku agak lama sampai di sini.”
Begitu membuka pintu, Kusala sangat terkejut melihat Raga berdiri di sana, tersenyum manis padanya. Bagaimana Raga bisa mengetahui alamat kosnya? Lagipula, bukankah Raga seharusnya sudah berangkat menolong seseorang yang ingin bunuh diri? Kusala merasa bingung dan cemas, namun senyuman Raga berhasil mengurangi kekhawatirannya.
“Boleh aku masuk?” Ujar Raga dengan manis.
Dengan tercengang, Kusala membolehkannya masuk. Alhasil, Raga bersiul takjub. Ganjil rasanya, melangkah masuk ke dalam kamar kos yang sederhana tapi penuh dengan karya seni. Matanya segera tertuju pada lukisan-lukisan yang terpasang di dinding. Ia berhenti sejenak di depan salah satu lukisan, mengamati setiap detail dengan saksama.
“Ini luar biasa,” kata Raga dengan tulus, “Teknikmu mungkin masih mentah, tapi kamu punya bakat besar, Kusala. Lukisan ini punya jiwa.”
Kusala merasa pipinya memerah mendengar pujian itu. Ia tidak menyangka Raga akan begitu terkesan dengan karyanya. “Terima kasih, Raga,” jawabnya pelan, masih merasa sedikit canggung dengan kehadiran Raga di kamarnya.
Kusala, masih terkaget-kaget, bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu alamat kosku?”
Raga tersenyum dan menjawab, “Aku mengira-ngira dari cerita kamu di mobil Anggi. Kamu bilang pernah menjadi sales mobil bekas di Tangerang, dan setahuku showroom mobil bekas terbesar di Tangerang cuma ada satu, di Tanah Tinggi. Tempat kosmu kebetulan dekat dari showroom itu.”
“Lalu nomor kamarku, kamu tahu dari mana?”
“Dari gembok besar di pintu kamar. Lalu kamu bilang uang kosmu dua juta, aku tebak itu kamar paling besar di lantai satu, betul?”
Kusala merasa pipinya memerah. Dengan malu-malu, ia berujar, “Kamu selalu berhasil menemukan aku.”
Raga tertawa kecil, “Mungkin aku punya bakat detektif,” katanya sambil mengedipkan mata. “Tapi yang lebih penting, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku menyesal tidak ikut pergi sama kamu tadi.”
“Ya, kamu takut aku dimakan sama ibu kos galak itu, ya?” Kusala berbisik dengan hati-hati.
“Terutama aku merindukanmu, Sala. Rindu sekali.”
Raga memeluk Kusala dengan sangat erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya. Namun, Kusala dengan lembut mendorong tubuh Raga menjauh. “Kamu masih harus menolong orang yang ingin bunuh diri. Kerjakan dulu tugasmu,” katanya dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Raga menghela napas dan menjelaskan, “Mobil Anggi mogok dan sekarang diservis di bengkel. Jadi, Anggi, Sendy, dan Fanny pakai taksi online ke lokasi orang yang bunuh diri itu. Aku akan menyusul ke sana,” ujarnya, “setelah urusan aku dan kamu selesai.”
Kusala heran dan bertanya, “Urusan aku dan kamu? Maksudnya apa?”