Kusala dan bibi Raga tiba di rumah sakit dengan wajah penuh kecemasan. Setelah mencari informasi ke sana kemari, seorang perawat segera menghampiri mereka dan memberi tahu bahwa Raga sedang berada di ruang gawat darurat, di mana tim medis tengah berusaha menstabilkan kondisinya. Namun, ada masalah serius yang harus segera diatasi: persediaan darah di rumah sakit tidak mencukupi. Raga sangat membutuhkan transfusi darah untuk menyelamatkan nyawanya, dan waktu terus berpacu.
“Apakah jiwa Raga dalam bahaya, Suster? Tangannya bagaimana?” Kusala bertanya dengan peluh deras di wajahnya.
Sang juru rawat menjelaskan bahwa Raga termasuk cukup beruntung. Untungnya, tangan kanannya terputus total, sehingga mengurangi pendarahan karena arteri yang terputus otomatis menutup sendiri, sebuah mekanisme tubuh untuk mencegah pendarahan hebat. Namun, tangan kirinya tidak terputus sempurna, yang mengakibatkan pendarahan hebat dan memerlukan penanganan segera. Raga telah kehilangan separuh cadangan darah di tubuhnya. Fakta bahwa ia masih hidup dan dalam kondisi sadar saja sudah keajaiban yang patut disyukuri, karena campur tangan tak terduga di luar kuasa manusia.
“Raga dalam kondisi sadar? Apakah ia kesakitan, Suster? Bolehkah saya melihat dia?” Kusala mulai histeris dan tak sabar ingin menerjang masuk ke ruang gawat darurat.
“Maaf, sebaiknya hanya keluarganya saja yang masuk.” Sang perawat menatap Bibi Raga dan Kusala bergantian.
“Saya bibinya, Suster.” Bibi Raga menjawab segera.
“Saya istrinya, Suster. Boleh saya masuk?” Kusala berbohong tanpa ragu, berharap bisa melihat Raga yang tengah berjuang untuk hidup. Untungnya, bibi Raga tidak membantah kebohongan Kusala, mungkin karena ia sendiri terlalu cemas dan terguncang oleh kemalangan yang menimpa keponakannya itu.
Setelah memasuki IGD, Kusala dan bibi Raga menyadari alasan mengapa hanya keluarga pasien yang diperbolehkan melihat Raga. Ternyata, Raga sedang ditangani dalam keadaan tanpa berpakaian. Seorang perawat menusuk-nusuk kaki kanan Raga, berusaha mencari pembuluh darah vena untuk memasukkan jarum infus, sementara perawat lain memasangkan kateter urine ke dalam kandung kemihnya. Raga tidak menunjukkan reaksi kesakitan. Matanya terbuka, terlihat terlalu tenang di mata Kusala. Bukan hanya tatapannya yang hampa, Raga seolah-olah kehilangan ingatan dan tidak mengenali Kusala maupun bibinya.
“Aduh, Dokter. Pembuluh vena pasien sudah kolaps semua. Bagaimana kita pasang infus, Dok?” Seorang suster mengeluh sembari menyodok kaki Raga sekuat tenaga.
“Cari terus, Suster. Kita harus pasang jalur intravena segera.” Sang dokter memberi instruksi tegas.
“Kita kekurangan darah, Dokter. Perlu air ambulance untuk membawa suplai ke sini. Saya khawatir waktunya sudah mendesak.” Seorang perawat laki-laki menukas.
“Saya bisa mendonorkan darah, Dok. Golongan saya O, saya pendonor universal. Ambil saja darah saya.” Kusala mengajukan dirinya dengan gagah berani.
"Bagus, ini bisa membantu sementara, sampai kiriman suplai darah datang." Sang dokter menyetujui usulan Kusala.
“Syukurlah Dok, pembuluh venanya sudah ketemu, jarum infus bisa masuk sekarang.” Sang suster berseru dengan bersemangat.
Tangan kiri Raga tidak terlihat mengerikan karena sudah dibebat dengan rapi untuk menghentikan pendarahannya, begitu pula stump atau sisa tangan kanannya sudah ditangani dengan baik. Namun, suasana di ruangan itu berubah tegang ketika seorang juru medis masuk, membawa kantong plastik hitam besar yang sekilas tampak seperti kantung sampah. Ternyata, kantong itu berisi tangan kanan Raga yang terputus. Dengan tenang dan profesional, juru medis tersebut meletakkan tangan itu di sisi Raga dan mulai membersihkannya dengan cairan antiseptik bedah.
Ruangan itu dipenuhi dengan aroma antiseptik yang tajam, bercampur dengan bau darah yang samar. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya putih yang dingin, menambah kesan steril namun menegangkan. Suara mesin monitor detak jantung Raga terdengar berirama, namun setiap orang di ruangan itu bisa merasakan ketegangan yang bergejolak di udara.
Melihat pemandangan potongan tangan itu, bibi Raga langsung pingsan, tidak sanggup menahan keterkejutannya. Tubuhnya jatuh dengan bunyi gedebuk yang mengagetkan, membuat beberapa perawat bergegas menghampirinya. Akibatnya, bibi Raga harus segera mendapatkan penanganan darurat di IGD, menambah kekacauan di ruangan yang sudah penuh dengan ketegangan.