Dengan keberanian yang luar biasa, Kusala memutuskan operasi penyambungan tangan Raga harus segera dilakukan, sebelum waktu emas 12 jam berlalu. Karena kondisi Raga tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan, Kusala dengan gigih membujuk bibinya agar menandatangani persetujuan operasi. Begitu persetujuan didapatkan, Raga segera dipindahkan ke RS NMC Genesis di Bekasi, rumah sakit khusus ortopedi yang dikenal memiliki reputasi sangat baik.
Pukul sembilan malam itu, Raga dipindahkan menggunakan air ambulance, dengan seluruh biayanya ditanggung oleh sang bibi. Karena kapasitas air ambulance yang terbatas, baik Kusala maupun bibinya tidak dapat mendampingi Raga dalam penerbangan tersebut, apalagi penambahan bobot bisa memperlambat perjalanan. Kusala meyakinkan bibinya bahwa ia akan segera mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan Raga. Dengan keyakinan itu, bibi Raga setuju menanggung uang deposit rumah sakit, sehingga Raga bisa segera menjalani operasi penyambungan tangan yang sangat dibutuhkannya.
“Bibik, terima kasih banyak ya, Bik. Kalau nanti uangnya sudah saya dapat, pasti saya kembalikan ke Bibik. Kami banyak merepotkan Bibik kali ini.” Kusala dengan haru memeluk Bibi Raga setelah Raga berhasil diberangkatkan dengan air ambulance.
“Sama sekali tidak repot. Kebetulan Bibik masih punya sedikit simpanan. Ah, seandainya pabrik suami Bibik tidak punya banyak piutang, mungkin Bibik bisa membiayai operasi Raga dan perawatannya. Sekarang keadaan memang sedang sulit. Semoga keputusan kita tidak salah ya, Kusala.”
“Sala, panggil saya Sala, Bik. Maaf, kalau tadi saya ada salah kata atau kata-kata kurang sopan pada Bibik, mohon dimaafkan ya, Bik.” Kusala membungkukkan tubuh sebagai tanda penyesalannya.
“Sala, kamu pasti sangat mencintai Raga, ya. Raga sering cerita ke Bibik soal kamu. Bibik tahu kamu sangat berarti bagi ponakan Bibik itu. Apa boleh Bibik menitipkan Raga kepada kamu?”
Kusala mengangguk, meskipun ada keraguan yang samar di hatinya. Ia berharap memiliki cukup keberanian untuk menemani Raga dalam perjalanan panjang menuju kesembuhan yang belum pasti. Saat ini, Kusala belum menemukan keberanian untuk menghubungi ayahnya melalui telepon. Dengan perasaan gentar, Kusala akhirnya memutuskan untuk pulang dan menemui ayahnya secara langsung.
Di dalam taksi yang membawanya pulang menemui ayahnya, Kusala terus melirik arloji di pergelangan tangannya. Saat ini baru pukul empat subuh, dan operasi Raga masih berlangsung sejak tengah malam tadi. Bibi Raga sudah menyusul ke rumah sakit NMC Genesis, terus memberikan kabar terbaru kepada Kusala, yang hanya sempat tidur selama tiga jam untuk memastikan operasi tersebut berjalan lancar. Sebenarnya, Kusala tidak ingin tidur malam ini, tetapi ia memutuskan untuk beristirahat sejenak agar siap menghadapi amarah ayahnya di rumah.
Kusala kebetulan melihat sebuah helikopter melintas, dan pikirannya melayang dalam lamunan muram. Ia membayangkan kondisi Raga yang sangat kritis di dalam air ambulance, terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis memantau setiap detak jantung dan tekanan darahnya. Tim medis bekerja tanpa henti untuk menjaga stabilitas Raga selama penerbangan. Kusala membayangkan potongan tangan kanan Raga disimpan dalam lemari es portabel, mungkin mirip dengan cooler box yang biasa dipakai pedagang minuman kaki lima. Syukurlah, masa kritis itu sudah berlalu, dan kini Raga sedang ditangani di ruang operasi, pikir Kusala dengan lega.
Kusala akhirnya tiba di gerbang rumah ayahnya yang mewah. Gerbang itu memadukan gaya Tionghoa klasik dengan sentuhan arsitektur Hindia Belanda, menciptakan pemandangan yang megah dan elegan. Kusala berdiri terpaku di depan gerbang, ketakutan menyelimuti dirinya hingga ia lupa membayar ongkos taksi. Sopir taksi terus memanggilnya, namun Kusala tidak menggubris. Akhirnya, sopir taksi membunyikan klakson keras-keras, memecah keheningan pukul lima pagi itu.
Bunyi klakson menarik perhatian tukang kebun rumah itu. Ia segera mendekati gerbang dan terkejut mendapati Kusala berdiri di sana. Dengan mata terbelalak, ia langsung mengenali Kusala dan menyebut nama kecilnya. 'Nona A Han!' serunya, penuh dengan nada heran.
Kusala menatap gerbang besar itu dengan perasaan campur aduk. Pintu gerbang yang megah dan kokoh itu adalah sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia buka selamanya. Kenangan masa lalu yang menyakitkan dan hubungan yang rumit dengan ayahnya membuatnya enggan untuk kembali. Namun, keadaan memaksanya untuk berdiri di sana, menghadapi masa lalu yang selama ini ia coba hindari.
Gerbang ini tidak banyak berubah, pikir Kusala kagum. Strukturnya megah dengan pilar-pilar tinggi yang kokoh, khas arsitektur Hindia Belanda. Pilar-pilar tersebut dihiasi dengan ukiran-ukiran klasik dan ornamen yang rumit. Di bagian atas gerbang, terdapat atap berbentuk pelana dengan genteng berwarna merah, mengingatkan pada gaya bangunan kolonial Belanda.
Elemen Tionghoa terlihat pada detail ornamen dan dekorasi. Di setiap pilar, terdapat ukiran naga dan motif awan yang melambangkan keberuntungan dan kekuatan. Pintu gerbangnya sendiri terbuat dari kayu jati yang diukir dengan pola-pola tradisional Tionghoa, seperti bunga teratai dan burung phoenix. Di bagian atas pintu, terdapat lentera merah yang menggantung, memberikan sentuhan khas Tionghoa yang menjadi napas arsitektur rumah ini, rumah yang menjadi kebanggaan ayah Kusala di antara rumah-rumah lain yang mereka miliki.
“Nona A Han, sepertinya taksi itu belum dibayar, ya,” suara tukang kebun ayahnya membuyarkan lamunan Kusala. Seketika, Kusala tersadar bahwa di balik gerbang ini menanti hukuman berat yang akan menghancurkan sisa harga dirinya. Sebuah harga mahal yang harus ia bayar demi menyelamatkan harta Kusala satu-satunya, yaitu nyawa Raga yang dikasihinya.
“Pagi Pak Mat. Ayah saya apakah sudah bangun, Pak?” Kusala menyapa sang tukang kebun yang dikenalnya sejak kecil.
“Sepertinya sudah, Nona. Nyonya sudah bangun juga. Nona A Han mau bicara sama mereka?”
Dengan pasrah, Kusala melangkah melewati gerbang yang sebenarnya tak ingin ia masuki. Di balik gerbang setinggi lima meter itu, pandangannya hanya menangkap jalan aspal yang terbentang, bercabang ke kiri dan ke kanan, menyerupai jalan di perumahan kecil yang tenang dan permai. Jalan tersebut mengapit taman bergaya Jepang yang terhampar di tengah, dihiasi bonsai-bonsai koleksi ayahnya yang tersebar di setiap sudut, menciptakan pemandangan yang seolah menenangkan, namun terasa asing dan tak bersahabat di mata Kusala.