“Kusala, operasi Raga … operasinya … sangat sukses. Segala syukur ke hadirat-Nya …”
Bibi Raga, dengan penuh sukacita, menyampaikan kabar bahwa operasi Raga berjalan sangat sukses. Kusala langsung membayangkan air mata syukur yang mengalir di pipi bibinya saat mengabarkan berita baik ini. Menurut tim dokter, kedua tangan Raga yang tersambung kembali menunjukkan denyut kuat - pertanda positif keberhasilan operasi. Namun, dokter juga mengingatkan bahwa mungkin diperlukan beberapa operasi tambahan untuk memastikan sirkulasi darah berfungsi lancar dan optimal. Singkatnya, kedua lengan Raga belum sepenuhnya dipastikan 'hidup' seperti semula.
Bagi Kusala, kabar keberhasilan operasi Raga bagaikan secercah harapan di tengah kegelapan. Sepanjang perjalanan menuju RS di Bekasi dengan taksi, ia terus tersenyum penuh rasa syukur meskipun langit di luar mendung. Senyumnya seakan perlahan mengusir awan-awan gelap, membawa sinar matahari masuk ke dalam hatinya. Ia teringat kata-kata Raga dulu, yang menyebut Kusala sebagai Teru Teru Bozu—boneka Jepang yang senyumnya dipercaya bisa mendatangkan cuaca cerah. Kenangan itu membuat senyumnya semakin lebar, dipenuhi harapan dan keyakinan bahwa segalanya akan membaik.
Kusala tiba di rumah sakit NMC Genesis di Bekasi dengan perasaan campur aduk, antara kegembiraan dan kecemasan. Saat melangkah masuk, ia terpukau oleh fasilitas rumah sakit yang modern dan canggih. Bangunan megah berdesain futuristik itu memancarkan aura profesionalisme serta kepercayaan diri. Setiap sudut rumah sakit berstandar internasional ini dirancang dengan cermat untuk menghadirkan kenyamanan optimal bagi pasien maupun pengunjung.
Salah satu hal yang paling menarik perhatian Kusala adalah penggunaan teknologi tinggi di rumah sakit ini. Ia menyaksikan beberapa robot pengantar bergerak tenang, hilir mudik membawa dokumen dan rekam medis pasien. Dengan presisi, robot-robot tersebut menghindari orang-orang yang lalu-lalang di koridor. Kusala merasa seolah berada di masa depan, di mana teknologi dan layanan kesehatan berpadu untuk memberikan pelayanan terbaik.
Kusala terus melangkah, matanya tak henti-hentinya terpukau oleh keajaiban teknologi di sekitarnya. Ia melihat layar-layar interaktif yang menampilkan informasi real-time tentang jadwal dokter dan status pasien. Di sudut lain, ada ruang tunggu yang nyaman, lengkap dengan kafe kecil, serta fasilitas hiburan modern untuk membantu mengurangi kecemasan para pengunjung. Pemandangan ini membuat Kusala merasa sedikit lebih tenang, yakin bahwa Raga berada di tangan yang tepat.
Saat menunggu di kafe rumah sakit, Kusala merenung tentang betapa cepatnya dunia medis berkembang. Ia merasa bersyukur bahwa teknologi seperti ini ada untuk membantu orang-orang yang dicintainya. Dengan senyum tipis di wajahnya, Kusala berharap yang terbaik untuk Raga, yakin bahwa segala upaya yang dilakukan akan membuahkan hasil yang positif.
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Kusala. Bibi Raga membalas pesan Kusala, pesan yang memberitahu bahwa Kusala sudah tiba di rumah sakit Bekasi. Tak lama kemudian, Kusala tiba di ruang tunggu di bagian lain rumah sakit, matanya sibuk mencari sosok yang dikenalnya. Di sudut ruangan, ia melihat Bibi Raga duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. Kusala segera menghampirinya, dan mereka berdua berpelukan erat, saling memberi kekuatan di tengah situasi yang penuh ketegangan ini.
“Bibi, bagaimana keadaan Raga setelah operasi?” tanya Kusala dengan suara lirih. Bibi Raga menghela napas panjang sebelum menjawab, “Raga sedang dirawat di ICU. Kesadarannya diturunkan secara sengaja, atau istilahnya dibuat koma, untuk membantu pemulihannya.” Mendengar penjelasan itu, dada Kusala terasa sesak, namun ia berusaha keras mempertahankan ketenangannya, mencoba tetap tegar meskipun batinnya bergolak.
Kusala ingin segera menjenguk Raga di ICU, berharap bisa melihatnya meskipun hanya sebentar. Namun, Bibi Raga dengan lembut menahan tangannya. “Sala, lebih baik kamu beristirahat dulu di sini. Raga butuh ketenangan untuk pemulihannya, dan kita harus percaya pada tim dokter yang merawatnya,” kata Bibi Raga dengan suara penuh pengertian.
Meskipun hatinya ingin sekali melihat Raga, Kusala tahu bahwa Bibi Raga benar. Ia duduk di kursi ruang tunggu, mencoba menenangkan diri. Pikirannya melayang ke masa-masa indah bersama Raga, berharap dan berdoa agar semuanya akan baik-baik saja. Di tengah kekhawatirannya, Kusala menemukan keyakinan bahwa Raga akan pulih dengan baik, berkat dukungan sang bibi. Bibi Raga kemudian bercerita tentang tim dokter yang menangani operasi Raga, dipimpin oleh dua ahli bedah mikro, salah satunya adalah Dokter Emanuel Sato, serta dua dokter spesialis tulang dan seorang ahli anestesi. Operasi berlangsung sedikit lebih dari enam jam, sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh tim medis.
Menjelang siang, Bibi Raga mengusulkan pada Kusala untuk mencari rumah kos yang terjangkau di sekitar rumah sakit. “Sala, mungkin lebih baik jika kamu mencari tempat tinggal sementara yang dekat dengan rumah sakit. Ada beberapa rumah kos yang cukup terjangkau di sekitar sini,” katanya dengan nada lembut namun tegas. Kusala, yang awalnya ragu, akhirnya setuju dengan usulan tersebut, meskipun hatinya merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi Raga.
Agaknya ini strategi Bibi Raga agar Kusala tidak menjenguk Raga di ICU hari ini. Kusala merasa ada yang aneh dengan permintaan tersebut, namun ia tidak ingin menambah beban pikiran Bibi Raga. “Baiklah, Bik. Aku akan mencari rumah kos sekarang. Tapi Bibik harus menemani, ya.” jawab Kusala sambil berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Ia tahu bahwa Bibi Raga selalu memiliki alasan yang baik, tetapi kali ini ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Dalam perjalanan mencari rumah kos, Kusala mendesak Bibi Raga apakah keadaan Raga begitu parah, hingga ia tidak boleh melihatnya. “Bibik, apakah keadaan Raga sangat buruk? Kenapa aku tidak boleh melihatnya hari ini?” tanyanya dengan suara yang penuh kekhawatiran. Kusala berharap mendapatkan jawaban yang jujur, namun ia juga takut mendengar kenyataan yang mungkin lebih buruk dari yang ia bayangkan.