Pada hari kelima Raga di ICU, keajaiban yang dinantikan akhirnya terjadi. Setelah berhari-hari dalam kondisi kritis, Raga mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang luar biasa. Alat bantu pernapasan yang selama ini menopang hidupnya berhasil dilepas. Dokter pun secara bertahap mengurangi dosis obat tidur, membawa Raga ke kondisi semi koma, setelah sebelumnya dibuat koma secara medis. Perkembangan ini jelas memberi harapan baru bagi semua orang yang mencintainya.
Kusala, yang setia menunggu di luar ruang ICU, merasakan campuran emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Setiap hari, ia hanya diperbolehkan melihat Raga dari balik kaca, namun itu sudah cukup baginya untuk merasa dekat dengan pria terkasihnya. Melihat Raga bernapas tanpa alat bantu memberikan secercah harapan yang selama ini ia nantikan. Meskipun perjalanan menuju pemulihan masih panjang, momen ini adalah bukti bahwa keajaiban bisa terjadi.
Di balik kaca, Kusala berdoa dengan penuh harap. Ia tahu bahwa Raga masih harus berjuang keras untuk bisa pulih sepenuhnya, namun ia yakin dengan dukungan dan cinta dari orang-orang terdekat, Raga akan mampu melewati semua rintangan. Kusala berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat dan terus mendampingi Raga, apa pun yang terjadi, di setiap detik yang berlalu.
Bayangan Nenad tak lagi terlihat sejak pertemuan di rooftop beberapa hari yang lalu. Pria dengan gitarnya dan lagu-lagu ceria yang mengalun lembut seolah hilang terbawa angin. Kusala sering menyelinap ke rooftop setelah makan siang, berharap menemukan Nenad di sana, namun pria itu tetap tak tampak. Setiap kali ia membuka pintu menuju rooftop, hanya angin yang menyambutnya, seolah menyampaikan pesan bahwa Nenad telah pergi dan tak akan kembali.
Kusala menyimpulkan dengan muram bahwa Nenad adalah pendamping pasien di rumah sakit ini. Mungkin pasien yang didampinginya sudah keluar dari rumah sakit, maka si pria juga tidak berkunjung lagi ke sini. Bayangan Nenad yang dulu selalu ada di sudut matanya kini hanya tinggal kenangan. Kusala merasa kehilangan, seperti kehilangan sepotong melodi yang pernah mengisi hari-harinya dengan keceriaan.
Setiap kali Kusala berada di rooftop, ia merasakan kehadiran Nenad dalam setiap hembusan angin dan setiap sinar matahari yang menyentuh kulitnya. Seolah-olah Nenad masih ada di sana, bermain gitar dengan senyum yang menenangkan. Namun, kenyataan berkata lain. Rooftop yang dulu penuh dengan alunan musik kini terasa hening dan kosong. Kusala hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan bertemu lagi dengan pria yang telah membawa sedikit cahaya ke dalam hari-harinya yang kelam.
“Perkenalkan, Bang, namaku Nenad, panggil saja Nad, seperti nama seekor kecoak.” Kata-kata lucu Nenad bergaung di telinga Kusala setiap saat.
Alhasil, Kusala terlihat tidak fokus dan sering melamun, membuat Bibi Raga merasa khawatir. Setiap kali Bibi Raga melihat si gadis menatap muram, matanya tampak kosong, seolah-olah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Kekhawatiran Bibi Raga semakin bertambah ketika Kusala mulai sering lupa dengan hal-hal kecil dan besar, seperti jadwal menjenguk Raga di ICU atau waktu makan siang. Bahkan ia kehilangan selera makan secara drastis.
Melihat kondisi Kusala yang semakin tidak menentu, Bibi Raga mengusulkan agar urusan mengurus surat keterangan tidak mampu dan pembayaran biaya rumah sakit diserahkan padanya. “Biarkan Bibi yang urus semua ini, Kusala. Kamu sudah terlalu banyak pikiran,” kata Bibi Raga dengan lembut, mencoba menenangkan hati Kusala yang gelisah.
Tanpa ragu, Kusala menyerahkan kartu debit dari tabungan peninggalan ibunya kepada Bibi Raga. Hatinya dipenuhi berbagai pikiran, seperti awan gelap yang menggantung di langit. Namun, di sela kerisauan itu, terselip sedikit rasa lega, menyadari bahwa kini ada yang membantunya mengurus segala tetek bengek administrasi rumah sakit. Kusala merasakan beban berat yang selama ini menghimpitnya perlahan mulai terangkat.
Bibi Raga menerima kartu debit itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang sesuatu yang sangat berharga. “Jangan khawatir, Kusala. Bibi akan urus semuanya,” katanya dengan senyum yang menenangkan. Kusala hanya bisa mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Bibi Raga adalah sosok yang bisa diandalkan, seperti jangkar yang menjaga kapal tetap stabil di tengah badai. Ia mempercayai perempuan yang parasnya mencerminkan kasih dan kelembutan ibu itu. Sesuatu yang tak pernah ditemui Kusala dari sosok sang ibu sendiri.
Pada hari kesembilan di ICU, Raga sudah sepenuhnya sadar, tetapi tatapan matanya masih hampa dan menerawang. Seperti kaca buram, matanya tak memantulkan apa pun. Dia tak mampu mengenali siapa pun, bahkan Kusala dan bibinya sendiri. Setiap kali Kusala memanggil namanya, hanya keheningan yang menjawab, seakan Raga berada di dunia lain yang tak terjangkau. Raga kini menjelma sosok asing yang tak lagi dikenali Kusala, meskipun Kusala telah mengenal Raga jauh sebelum pertemuan pertama mereka di rooftop perpustakaan.
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, Dokter Emanuel Sato, kepala tim dokter yang menangani Raga, datang membawa kabar buruk. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak serius. “Raga terinfeksi bakteri Staphylococcus yang mengancam nyawanya,” kata Dokter Sato dengan suara berat. Kusala terperangah mendengar kabar itu, seolah dunia berhenti berputar, dan hatinya terasa dihimpit batu besar.
Meski sebelum operasi, Bibi Raga pernah memberitahunya bahwa infeksi bakteri Staphylococcus memang menjadi risiko bagi pasien yang dioperasi, mendengar kenyataan ini langsung dari dokter tetap saja membuat Kusala terguncang. Seperti badai yang datang tiba-tiba, kabar ini menghancurkan harapan yang baru saja mulai tumbuh di hatinya. Kusala merasa seperti berada di tengah lautan yang bergelombang, tanpa tahu ke mana harus berpegangan di tengah arus kuat.
Dengan hati yang berat, Kusala mencoba menguatkan diri. Ia tahu bahwa ini adalah ujian yang harus dihadapinya. “Kami akan melakukan yang terbaik untuk Raga,” lanjut Dokter Sato, mencoba memberikan sedikit harapan. Kusala hanya bisa mengangguk, matanya berkaca-kaca. Seperti pohon yang tetap berdiri kokoh meski diterpa angin kencang, Kusala berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah.
“Dok, apakah ini karena saya pernah memaksa masuk ke ICU? Tapi sesuai prosedur saya sudah memakai gaun steril, shower cap, masker, dan sarung tangan. Apakah saya yang menularkan bakteri Staph pada Raga?” Kusala bertanya dengan nada yang menyalahkan dirinya sendiri.
“Tidak, bukan. You jangan menyalahkan diri sendiri. Infeksi bakteri Staph sudah umum. Repotnya bakteri ini resisten dengan antibiotik. Kita berharap yang terbaik saja. Saya khawatir salah satu dari lengan Pak Raga terpaksa harus dibuang. Keadaannya kurang bagus, terutama kondisi tangan kanannya. Tapi sekali lagi kita harus berusaha bersama.” Sang dokter yang berdarah blasteran Indonesia, Jepang, dan Belgia itu menandaskan dengan gamblang.
Siang hari itu, setelah mendengar kabar buruk dari Dokter Emanuel Sato, Kusala merasa dunianya runtuh. Ia tidak makan siang dan memilih menghabiskan waktunya di rooftop rumah sakit. Di sana, ia bisa merasakan angin yang sejuk, namun hatinya tetap terasa panas oleh kesedihan. Seperti bendungan yang jebol, air matanya yang telah menumpuk selama ini tumpah begitu saja. Kusala menangis tanpa henti, membiarkan semua perasaan yang terpendam itu merebak, tak dapat ditarik kembali.
Tiba-tiba, suara seorang pria menegurnya, “Bang, kenapa Bang nangis di sini?” Kusala terkejut dan segera menghapus air matanya. Ketika ia menoleh, rupanya itu Nenad dengan gitarnya. Laki-laki unik dan ceria itu tetap menganggap Kusala laki-laki meskipun sudah tahu Kusala seorang wanita. Nenad, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, mendekat dan duduk dengan mengangkang.
“Bang, apa yang terjadi? Bang ada kesusahan, kah?” tanya Nenad dengan nada lembut, sambil memetik senar gitarnya pelan-pelan. Kusala merasa sedikit lega dengan kehadiran Nenad. Seperti sinar matahari yang menembus awan gelap, kehadiran Nenad membawa sedikit kehangatan di tengah kesedihannya. Kusala menceritakan kabar buruk yang baru saja diterimanya, tentang infeksi bakteri Staphylococcus yang mengancam nyawa Raga.
Nenad mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak memotong cerita Kusala sedikit pun. Setelah Kusala selesai bercerita, Nenad mulai memainkan sebuah lagu yang lembut dan menenangkan. “Kadang, musik bisa membantu kita merasa lebih baik, walau mungkin kedengarannya sontoloyo,” katanya sambil tersenyum. Kusala hanya bisa mengangguk, merasakan sedikit ketenangan dari alunan musik yang dimainkan Nenad.
Di mata Kusala, Nenad adalah sosok yang penuh warna. Dengan rambut sebahu yang selalu tampak berantakan namun memikat, dan pakaian Rasta Reggae yang sering kali tidak serasi namun tetap terlihat menarik, ia adalah pribadi yang sulit dilupakan. Gitarnya selalu setia menemani, menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Setiap kali ia memetik senar gitarnya, lagu-lagu ceria dan penuh semangat mengalun, seolah-olah membawa kebahagiaan ke mana pun ia pergi.
“Kamu ke mana saja beberapa hari ini tidak kelihatan?” Kusala bertanya pada Nenad, suaranya penuh rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran.
Nenad, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, menjawab, “Aku sibuk merawat ayah yang sakit DBD. Ayahku dirawat di rumah sakit lain, agak jauh dari sini.”
Mendengar jawaban Nenad, Kusala tersadar bahwa rumah sakit tempat Raga dirawat adalah rumah sakit khusus ortopedi yang kebanyakan menangani kasus patah tulang. Ia merasa sedikit lega mengetahui alasan ketidakhadiran Nenad, namun tetap ada rasa khawatir yang menggelayuti hatinya. “Oh, begitu. Semoga ayahmu cepat sembuh, ya,” kata Kusala dengan tulus.
Nenad tertawa pelan lalu berkoar, “Rumah sakit ini tempat nongkrong yang sudah aku kontrak mati, soalnya kakak perempuan aku kepala perawat di sini. Coba tanya aja, semua orang tahu kok siapa itu Nenad si Raja Kecoak.”
Nada ceria Nenad yang slengekan memaksa Kusala untuk tersenyum simpul, namun mendadak senyum itu pudar dan ia kembali tersedu-sedu mendengar kata “mati.” Kata itu mengingatkannya pada kondisi Raga yang masih kritis dan kabar buruk yang baru saja diterimanya dari Dokter Sato. Raga bisa saja mati, batinnya. Bendungan air matanya pecah dan bulir demi bulirnya berhamburan bergulir di punggung tangannya.