Tiba-tiba, kabar tentang kecelakaan yang menimpa Raga menyebar dengan cepat di rumah sakit tempat ia dirawat. Seperti api yang menyebar di rerumputan kering, berita itu berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya, tak hanya di kalangan pasien dan perawat, tapi juga sampai ke telinga para pendamping pasien, bahkan hingga ke luar rumah sakit dan penjuru tanah air. Anehnya, meski kabar itu baru tersebar beberapa jam, kiriman bunga, kartu ucapan, dan hadiah kecil sudah mulai membanjiri ruang depan ICU, tempat Raga dirawat intensif. Simpati pun datang bertubi-tubi dari berbagai arah. Doa-doa mengalir, bahkan dari mereka yang tak pernah mengenal Raga sebelumnya.
Kusala, yang selalu berada di sisi Raga, mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Bagaimana mungkin kabar itu bisa menyebar begitu cepat dan tiba-tiba? Ia menduga seseorang pasti memulainya, dan nama pertama yang terlintas di benaknya adalah Nenad. Sosok Nenad, yang baru saja dikenalnya, tampak gemar bercanda dan selalu ramah menyapa orang-orang di rumah sakit. Meski belum memiliki bukti kuat, Kusala yakin Nenad terlibat.
Suatu hari, Kusala memutuskan untuk menginterogasi Nenad di atap rumah sakit, tempat mereka sering bertemu dan berbincang, sementara Nenad asyik mengasah keterampilannya bermain gitar.
“Kamu, kan, Nad? Kamu yang menyebarkan cerita soal kecelakaannya Raga?” Kusala menatap Nenad tajam, dengan pandangan lebih menyelidik daripada detektif paling jeli sekalipun.
Nenad mengangkat bahu, wajahnya menyiratkan kebingungan yang dibuat-buat. “Aku? Oh, tentu saja bukan! Mana mungkin sempat? Aku sibuk jadi pahlawan tanpa tanda jasa di sini, bermain musik dengan gitarku dan menghibur orang tanpa bayaran,” katanya sambil menunjuk gitar akustik di tangannya.
Kusala menyipitkan mata, tak terkesan namun memilih setengah percaya pada Nenad. “Benar-benar kebetulan ya, kan kamu satu-satunya yang tahu soal cerita Raga.”
“Nah, mungkin ini mukjizat kecil, Bang. Lihatlah, orang-orang peduli, mengirimkan doa pada teman Abang. Kekuatan doa itu di luar nalar, Bang. Siapa tahu ada mukjizat yang lebih dahsyat?”
Dan barangkali ada benarnya. Di dalam ruang ICU, Raga yang berjuang melawan infeksi bakteri yang mengancam nyawanya mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Tangannya, yang semula terlihat memburuk, mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Dokter pun tak bisa menjelaskan sepenuhnya. Mukjizat, kata mereka. Tapi mungkin, doa-doa dan harapan semua orang yang peduli pada Raga, adalah bagian dari mukjizat itu sendiri.
Kusala, dengan mata yang berkaca-kaca, melihat keajaiban itu terjadi di depan matanya. Ia tahu, perjuangan mereka belum selesai, tapi setidaknya, ada harapan yang terus menyala. Doa dan cinta semua orang adalah obat mujarab bagi kesembuhan pria terkasihnya itu.
Keesokan harinya, Kusala akhirnya diizinkan menjenguk Raga di ICU secara langsung. Ini bukan kali pertamanya, tapi kali ini ia diperbolehkan masuk tanpa paksaan. Dengan jantung berdegup kencang, Kusala mengenakan gaun steril, shower cap, masker, dan sarung tangan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang melangkah di atas awan tebal. Saat pintu ICU terbuka, aroma antiseptik langsung menyergap hidungnya di balik masker, mengingatkannya pada betapa kritis kondisi Raga sebelumnya, dan bahwa perjuangan masih panjang di depan.
Di dalam ruangan ICU, Kusala melihat Raga yang matanya menerawang ke langit-langit. Seperti maneken yang tak bernyawa, Raga terbaring diam tanpa berekspresi. Kedua lengannya terbungkus perban tebal dan diangkat menggunakan penyangga khusus untuk menjaga posisi yang optimal bagi proses penyembuhan. Selang infus menancap di kaki kanannya, menyalurkan cairan nutrisi dan obat-obatan langsung ke tubuhnya. Monitor di samping tempat tidur memantau tanda-tanda vitalnya - detak jantung, tekanan darah, dan kadar oksigen - dengan suara pelan dari mesin yang sesekali berbunyi.
Kusala mendekat, menahan air mata yang mulai menggenang di kelopaknya. “Raga,” panggilnya dengan suara lembut, namun Raga tidak menggubris. Tatapan matanya tetap kosong, seolah-olah jiwanya mengawang di tempat yang jauh.
Kusala mencoba mengalihkan perhatian Raga dengan menceritakan tentang kartu ucapan yang membanjiri rumah sakit. “Banyak sekali orang yang mengirimkan doa dan harapan buat kamu, Raga. Tapi kartu-kartu itu tidak boleh masuk ke ruang ICU,” katanya dengan suara yang dipaksakan ceria. Ia berharap bahwa cerita tentang dukungan dari banyak orang bisa membangkitkan semangat Raga, namun Raga tetap bergeming. Matanya bahkan tidak menatap Kusala yang terus berbicara padanya.
Seolah-olah berbicara kepada tembok bisu, Kusala sempat merasa putus asa. Namun, ia tidak menyerah. Ia terus berbicara, menceritakan setiap detail kecil yang mungkin bisa mengingatkan Raga pada dunia luar. “Eh, Raga, aku kenalan sama teman baru, namanya Nenad. Dia mirip banget sama Anggi. Hobinya main gitar di rooftop. Oh ya, dia kirim salam buat kamu,” lanjut Kusala, mencoba mencuri sebuah celah di balik tatapan kosong pria itu.
Kusala terus menyebut nama Nenad dan menyebutnya mirip dengan Anggi, sahabat mereka yang terbaring koma di rumah sakit di Jakarta. Mendadak, Raga sedikit bereaksi. Matanya yang sebelumnya kosong dan menerawang kini tampak sedikit fokus, seolah-olah mencoba mencari sesuatu dalam ingatannya. Kusala merasa ada harapan, meskipun tatapan Raga masih meyiratkan kehampaan di jiwa dan raganya.
“Raga, kamu ingat Anggi, gak? Dia sahabat kita yang ceria dan suka melucu,” kata Kusala dengan suara lembut, berharap bahwa kenangan tentang Anggi mampu membangkitkan semangat Raga. Raga menggerakkan bibirnya dengan lemah, seperti ingin membisikkan sesuatu. Kusala merasa jantungnya berdesir kencang. Dengan gembira, ia mendekatkan telinganya pada bibir Raga, berharap mendengar kata-kata yang bisa memberikan sedikit harapan.
Namun, yang keluar dari bibir Raga adalah kata yang menyakitkan. “Pergi kamu,” kata Raga dengan suara lemah namun jelas. Kusala terkejut, hatinya terasa seperti ditusuk. Ia mundur perlahan, mencoba mencerna pengusiran Raga yang membingungkan. Kata itu bergema di kepalanya, menghancurkan harapan yang baru saja tumbuh.
Kusala merasa bingung dan terluka. Ia tidak mengerti mengapa Raga menyuruhnya pergi. Apakah Raga benar-benar tidak mengenalinya? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat Raga berkata demikian? Kusala mencoba menahan emosi yang mulai mempermainkan kesabarannya. Ia tahu bahwa Raga sedang dalam kondisi yang sangat sulit, namun kata-kata itu tetap saja menyakitkan hati.