Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #20

Kusala #20

“Hah, rahasia gelap di sekolah taekwondo? Maksudmu apa, Nad?”

“Sini, Bang, aku bisikin ke Abang. Psst … psst …”

Setiap sekolah punya rahasia gelapnya sendiri. Kusala merasa pernah membaca kalimat itu di sebuah novel teenlit bertahun-tahun lalu. Saat itu, ia menganggapnya berlebihan dan tidak serius. Namun, di sekolah taekwondo milik ayah Nenad, kenyataan justru membuktikan bahwa rahasia-rahasia gelap memang selalu disembunyikan - hingga kamu benar-benar masuk dan menemukannya. Dari luar, sekolah taekwondo ini tampak baik-baik saja: murid-murid kecil yang patuh, disiplin, dan rajin berlatih. Mereka penuh canda tawa dan berlatih bersama dengan kompak.

Dengan suara rendah dan penuh keraguan, Nenad mengungkapkan rahasia gelap dalam sekolah taekwondo milik ayahnya. Bahwasanya ada seorang murid yang sangat membutuhkan pelajaran privat. Selama bertahun-tahun, anak laki-laki itu berlatih tanpa menunjukkan kemajuan yang berarti. Masalahnya anak itu selalu bergeming dan tidak mau bicara selama pelatihan berlangsung. Alhasil, mereka menjulukinya si Kepala Batu.

Ayah anak itu, seorang pria yang keras dan penuh ambisi, bersikeras bahwa putranya harus menjadi jagoan bela diri. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya lemah dalam berolahraga dan jadi sasaran perundungan geng sekolahnya. Setiap hari, dia memaksa anaknya untuk berlatih lebih keras, berharap bahwa dengan kerja keras, anaknya akan berubah menjadi seorang petarung yang tangguh. Namun, tekanan yang terus-menerus ini hanya membuat anak itu semakin menutup diri dan kehilangan minatnya pada olahraga taekwondo.

“Oh, jadi bonus mingguan yang kamu bilang waktu itu gak gratis toh, Nad?” Kusala menyela cerita Nenad.

“Yo’i. Bonus mingguan itu honor les privat untuk si Kepala Batu itu. Ayam sorry ya, Bang.”

Setiap sore, Kusala menikmati ritualnya di sekolah taekwondo. Sekolah milik ayah Nenad itu menempati sebuah gedung tua yang sarat sejarah. Dinding-dindingnya dipenuhi foto-foto hitam putih para murid yang telah meraih sabuk hitam, bercerita tentang pencapaian masa lalu. Lantai kayu yang sudah mulai usang sering berderit setiap kali diinjak, menambah kesan klasik pada tempat itu. Udara di dalam ruangan bercampur dengan aroma kayu tua dan bunga melati segar, yang selalu diletakkan di altar kecil di sudut ruangan. Patung dewa pelindung seni bela diri bersemayam di sana, senantiasa menerima persembahan bunga dari murid-murid sebelum mereka mulai berlatih. Kusala selalu tiba sedikit lebih awal dari jadwal, menghampiri altar untuk mencari inspirasi.

Kusala akhirnya bertemu muka dengan murid privatnya. Tidak salah Nenad menjulukinya si Kepala Batu, karena murid itu selalu bergeming dan tidak mau bicara selama pelajaran berlangsung. Kusala mengamati anak laki-laki dua belas tahun yang putih bersih kulitnya dan berparas manis. Anak itu duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong, seolah-olah dunia di sekitarnya tidak ada. Mengingatkannya pada Raga yang menolaknya hadir di ICU.

Bukan hal aneh bila Kusala merasa anak laki-laki kepala batu itu mirip dengan Raga. Raga mengusirnya pergi dari ICU, sementara anak itu tidak menerimanya sebagai pelatih baru. Mereka berdua sama-sama menutup diri dan terjebak dalam pikiran mereka sendiri, membuat Kusala yang biasanya jeli pun kesulitan menggali isi hati mereka. Oleh karena itu, Kusala tetap bertekad untuk menemukan cara untuk mendekati dan membantu mereka, karena dia tahu bahwa di balik sikap dingin mereka, ada rasa sakit dan ketakutan yang perlu disembuhkan.

Saat Kusala mendekat, dia bisa merasakan ketegangan dari sikap tubuh anak itu. “Halo, namaku Kusala. Aku dengar kamu suka taekwondo,” katanya mencoba memecahkan kebekuan. 

Anak itu hanya menatapnya tanpa ekspresi, tanpa tanda-tanda mendengar atau peduli. Namun, Kusala menangkap sesuatu ketika si Kepala Batu melirik ke luar jendela.

“Jadi, bukan kamu yang suka taekwondo? Ayahmu yang suka?” Kusala mendesaknya dengan lembut.

“Aku ingin menari. Tapi aku anak laki-laki. Laki-laki harus bisa bela diri kata ayahku.”

Suara anak itu terdengar lirih dan tipis. Jika ruangan ini sedikit lebih bising, Kusala mungkin tak akan menangkap ucapannya. Mungkin ini pertama kalinya si anak berbicara pada seseorang di sekolah taekwondo, karena Kusala melihat pipinya memerah, dan kepalanya semakin tertunduk, seolah berusaha menyembunyikan ekspresinya.

Lihat selengkapnya