Kusala berdiri di tengah arena yang terbengkalai, dinding-dindingnya dipenuhi coretan liar, sementara debu tebal menyelimuti lantai yang retak. Di depannya, seorang pria berkepala gundul dengan tubuh raksasa berdiri dengan sikap garang, siap untuk bertarung. “Kamu sepupunya Damien, bukan?” suaranya berat, menggelegar seperti gemuruh di ruangan yang hening. Kusala hanya mengangguk, matanya menajam penuh kecurigaan, berusaha menilai ancaman di hadapannya. Atmosfer tegang menyelimuti ruang itu, seakan udara pun menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi. Darah di kepala Kusala berdesir serasa mendidih, giginya gemertak seakan-akan ia kedinginan.
Pertarungan pun dimulai. Laki-laki itu menyerang dengan gerakan karate yang cepat dan kuat, membuat Kusala kewalahan. Meskipun Kusala mahir dalam jurus taekwondo, serangan laki-laki itu hampir menyamai atlet karate profesional. Kusala berusaha menangkis setiap pukulan dan tendangan, namun beberapa kali ia gagal. Sebuah pukulan keras mengenai matanya, membuat pandangannya kabur. Tak lama kemudian, bibirnya juga terkena tendangan, membuat darah mengalir di sudut bibirnya.
Kusala mulai terpojok. Ia merasakan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya, namun ia tidak menyerah. Ia tahu ia harus bertahan demi Damien. Namun, saat ia merasa hampir tidak mampu lagi, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Salah satu dari pengikut laki-laki itu memekik, “Stop! Stop! Jangan pukul lagi!”
“Heh, kamu gila, ya,” si lelaki gundul membentak. “ini musuh kita, dia orangnya yang bikin adik sepupuku babak belur di sekolah! Harus dibikin mampus!”
“Bukan gitu, Bang Dre. Itu Nona A Han, aku kenal dia.” Si laki-laki yang melerai perkelahian menginterupsi dengan panik.
Laki-laki yang melerai perkelahian itu membungkuk, meneliti kondisi Kusala yang terkapar di lantai dengan cemas. “Ini Nona A Han, kan?” tanyanya dengan nada khawatir. Kusala, yang masih terengah-engah dan kesakitan, merasa bingung mengapa laki-laki muda itu tahu nama kecilnya. Namun, saat ia menatap wajah laki-laki itu lebih lama, ada sesuatu yang familier. Ia menyadari bahwa laki-laki di depannya adalah seseorang yang pernah sangat dekat dengannya di masa lalu.
Kusala mengerjap cepat, berusaha mengais ingatannya. Perlahan, kenangan masa kecil mulai menyeruak. Laki-laki yang memanggilnya Nona A Han adalah putra dari mantan supir pribadi ayahnya. Dulu, mereka sering bermain bersama di halaman belakang rumah keluarganya. Supir itu tinggal bersama istri dan anaknya di paviliun kecil di belakang rumah utama. Kusala ingat bagaimana mereka sering berlarian di taman, bermain petak umpet, berbagi cerita di bawah pohon rindang, dan menerbangkan layang-layang buatan sendiri hingga langit menggelap.
Laki-laki itu tersenyum lebar, wajahnya menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kelegaan. “Nona A Han, ini aku, Aman,” katanya dengan suara lembut.
Kusala tertegun, mengingat kembali sosok Aman kecil yang dulu selalu ceria dan penuh semangat, namun tidak suka melakukan kekerasan. “Aman? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
“Panjang ceritanya, Nona A Han. Yang pasti aku senang ketemu lagi sama Nona.”
Aman menjelaskan bahwa ia terpaksa ikut dengan laki-laki berkepala gundul itu karena situasi yang rumit, namun ia tidak pernah menyangka akan bertemu Kusala dalam keadaan seperti ini. “Aku tak akan membiarkan Nona terluka, dulu Nona dan ayah Nona sangat menjaga kami,” katanya dengan tegas. Kusala merasa campuran antara lega dan bingung, namun ia tahu bahwa pertemuan ini adalah sebuah kebetulan yang membawa harapan di tengah situasi yang sulit.
“Nona? Jadi dia ini perempuan, ya? Astaga, kukira dia laki-laki, makanya kugebuk dia sekuat tenaga.” Si laki-laki gundul nampak menyesali perbuatannya menghajar Kusala.
Laki-laki yang berduel dengan Kusala benar-benar terkejut menyadari bahwa lawannya sebenarnya seorang perempuan. Pandangannya berubah dari penuh kebencian menjadi penuh penyesalan. “Maafkan aku,” katanya dengan suara yang lebih lembut, merasa bersalah telah menyerang Kusala dengan begitu brutal.
Si laki-laki semakin terkejut ketika Aman menjelaskan bahwa Kusala adalah putri konglomerat terkenal, Edmund Koo, dan teman masa kecilnya. Mendengar hal ini, laki-laki itu merasa semakin bersalah. Ia tidak hanya menyerang seorang perempuan, tetapi juga putri dari seseorang yang sangat berpengaruh dan teman dari pengikutnya sendiri.
Sikap si laki-laki gundul berubah drastis. Ia terus memohon maaf kepada Kusala, berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal. “Aku benar-benar tidak tahu. Maafkan aku, Nona A Han,” katanya berulang kali. Kusala, meskipun masih merasa sakit dan terkejut, bisa melihat ketulusan dalam permintaan maafnya.
Laki-laki itu kemudian berinisiatif untuk mengantar Kusala pulang ke rumah kosnya. “Biarkan aku mengantarmu pulang. Ini setidaknya yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku,” katanya dengan nada penuh penyesalan. Kusala, yang masih merasa lemah dan terluka, setuju. Dalam perjalanan pulang bermotor, laki-laki itu terus memastikan bahwa Kusala baik-baik saja, menunjukkan perhatian yang tulus. Bahkan ia tidak berani mengebut dan memastikan Kusala memegang jok motornya erat-erat.
Ketika sampai di muka rumah kos, laki-laki yang berduel dengan Kusala itu akhirnya memperkenalkan diri sebagai Dre Gunardi. Dengan nada yang lebih bersahabat, ia mengungkapkan bahwa dirinya adalah kakak sepupu dari preman sekolah yang pernah dihajar Kusala karena memalak Damien, murid taekwondo yang diakui Kusala sebagai adik sepupunya. Kusala terkejut mendengar pengakuan itu, namun ia segera menyadari bahwa kesalahpahaman ini perlu diselesaikan dengan baik.
Dre, yang awalnya datang dengan niat membalas dendam, mulai melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda, setelah Kusala bercerita soal pemalakan yang dialami Damien. Merasa bersalah atas kejadian tersebut, Kusala juga meminta maaf. “Aku benar-benar menyesal sudah menghajar adik sepupumu sampai babak belur,” kata Kusala dengan tulus. Dre, yang tidak menyangka Kusala akan meminta maaf, merasa tersentuh. “Aku juga minta maaf telah menyerangmu tanpa mengetahui kebenarannya,” balas Dre.
Situasi yang awalnya tegang mulai mencair. Kedua orang itu saling bersahut-sahutan meminta maaf, membuat suasana menjadi kocak. “Aku benar-benar tidak tahu, kamu kakak sepupu dari murid yang aku hajar itu,” kata Kusala sambil tersenyum. Dre tertawa kecil, “Dan aku juga tidak tahu kalau kamu adalah Nona A Han yang terkenal itu.”
Percakapan mereka berlanjut dengan lebih santai, dan mereka mulai berbagi cerita tentang masa lalu masing-masing. Dre menceritakan bagaimana ia selalu merasa bertanggung jawab atas adik sepupunya yang bengal, sementara Kusala berbagi tentang pengalamannya mengajar taekwondo dan bagaimana ia ingin melindungi murid-muridnya. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun mereka datang dari latar belakang yang berbeda, mereka memiliki tujuan yang sama: melindungi orang-orang yang mereka sayangi.