Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #22

Raga dan Kusala #22

Raga yang pulih dari demam tinggi tersadar kembali, ia menatap Kusala dengan penuh cinta. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Raga merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Dengan menahan tangis, Raga meminta Kusala melepas masker bedahnya. “Aku ingin melihat wajahmu lagi, seutuhnya,” kata Raga dengan suara bergetar. “Selama ini aku cuma melihat sebagian wajahmu saja.”

 Dengan tangan gemetar, Kusala melepas masker bedahnya dengan rasa ragu. Ketika masker itu terlepas, Raga langsung melihat bibir Kusala yang memar dan bengkak, seolah-seolah dipukul keras. Hati Raga terasa diremas melihat penderitaan Kusala yang tidak diketahuinya. Wajah Kusala tampak lebih kurus, rahangnya semakin menonjol, menambah kesan maskulin. Namun, matanya tidak banyak berubah. Di balik memar itu, masih tersisa kekuatan dan keteguhan yang tak padam.

 Air mata mulai menitik dari mata Raga, mengalir perlahan di pipinya. Kusala tanggap, mengusap air mata itu dengan jari-jarinya yang hangat. Sentuhan itu seperti angin sepoi-sepoi yang membelai jiwa Raga. “Jangan menangis,” bisik Kusala, suaranya lembut seperti riak air yang menenangkan. “Aku di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”

 “Aku sangat ingin mengusap wajahmu, Sala, mengobati lukamu. Tapi aku tidak bisa, tolong maafkan aku.”

 “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Tapi, apa yang kamu alami selama demam tinggi? Coba kamu ceritakan padaku.”

 Raga lalu menceritakan mimpinya pada Kusala, mimpi yang dialaminya selama demam tinggi. Dengan semangat, ia mulai berbicara, “Aku bermimpi berlarian di sebuah taman yang indah bersama kamu, Sala. Taman itu penuh dengan bunga-bunga yang berwarna-warni, dan angin sepoi-sepoi meniupkan aroma harum yang menenangkan.”

 Kusala mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Langit saat itu sedang mendung,” lanjut Raga, “tapi anehnya, aku tidak merasa takut atau sedih. Justru, aku merasa damai dan bahagia karena kamu ada di sana bersamaku.”

 Raga berhenti sejenak, mengingat kembali detail mimpinya. “Di tengah taman itu, ada sebuah pohon dengan dahan yang rendah. Aku mengusulkan untuk menggantung Teru Teru Bozu di sana, berharap bisa mengusir awan mendung dan membawa sinar matahari masuk.”

 Kusala tertawa kecil, membayangkan adegan itu. “Kamu setuju,” tambah Raga, “dan kamu lalu membuat Teru Teru Bozu dari sapu tangan putihmu. Namun, kamu tidak bisa membuat wajah tersenyum di boneka itu karena kita tidak punya benang hitam.”

 Meskipun begitu, mereka tetap menggantung boneka itu di dahan pohon. Raga dalam mimpinya menatap Kusala dengan penuh haru dan berkata, “Tersenyumlah untukku, Kusala. Mungkin senyummu bisa membawa keajaiban.”

 Kusala tersenyum, senyum yang tulus dan penuh cinta. Ajaibnya, cuaca mulai berubah. Mendung yang tadinya menutupi langit perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh sinar matahari yang cerah. Teru Teru Bozu buatan mereka, yang tadinya tanpa wajah, kini terlihat memiliki senyum yang manis dan sangat lebar.

 Raga dan Kusala dalam mimpi saling berpandangan, terpesona oleh keajaiban yang baru saja terjadi. “Mungkin ini pertanda,” kata Raga, “bahwa selama kita bersama, kita bisa mengatasi segala rintangan dan membawa kebahagiaan, bahkan di saat-saat yang paling gelap sekalipun.”

 Sementara itu, Kusala di kamar pasien mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Aku akan selalu ada di sini untukmu, Raga. Bersama-sama, kita bisa menghadapi apapun.”

 Dalam keheningan yang penuh makna, mereka berdua merasakan kedekatan yang lebih dalam, terikat oleh mimpi dan kenyataan yang saling melengkapi. Maka, Raga akhirnya menyatakan perasaan yang selama ini disembunyikannya dengan rapi.

 “Mimpi itu membuatku teringat, betapa aku lebih mencintaimu dari nyawa sendiri. Aku sudah lelah, Sala. Maka aku putuskan berhenti berpura-pura membencimu. Ini karena aku terlalu mencintaimu. Aku tak sanggup lagi terus bersandiwara dan menyakiti hatimu.”

 “Raga … apakah kamu takut aku tak bisa menerimamu dalam kondisi cacat? Aku bersumpah …”

 “Bukan begitu. Aku sempat mencuri dengar, kata dokter kesempatan hidupku cuma lima belas persen. Aku pikir bila kamu membenciku, kamu tidak akan terlalu sedih bila aku tidak ada lagi …”

 Kusala menutup bibir Raga dengan telunjuknya, menghentikan kata-kata yang hendak keluar dari mulut laki-laki itu. “Aku takkan memarahimu,” bisik Kusala dengan lembut, “karena aku terlalu mencintaimu. Cinta selalu mendatangkan maklum, karena cinta yang sejati tidak egois, tidak memegahkan diri sendiri, dan tidak menyimpan dendam.”

Lihat selengkapnya