Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #23

Raga Tangan Malaikat #23

Lebih dari satu bulan lamanya Raga terbaring di rumah sakit Bekasi, terkurung dalam dinding-dinding yang seakan menghalangi langkahnya untuk kembali ke dunia luar. Meskipun belum diperbolehkan keluar dari rumah sakit, semangatnya untuk pulih semakin membara setiap harinya, seperti api yang tak pernah padam. Setiap detik berlalu, harapan akan kesehatan yang lebih baik menguatkan semangatnya.

 Kondisi kesehatannya terus menunjukkan perbaikan berkat perhatian penuh kasih dari Kusala, yang selalu setia di sampingnya. Dengan kesabaran dan kecerewetannya yang tulus, Kusala memastikan Raga mendapatkan perawatan terbaik, mulai dari memeriksa obat hingga membawakan makanan yang selalu Raga sukai. Kehangatan kasih sayang Kusala menjadi sumber kekuatan bagi Raga dalam melewati masa-masa sulit ini.

 Tak hanya itu, kehadiran Nenad—teman yang selalu mampu membuatnya tersenyum dengan leluconnya yang konyol dan keahlian bermain gitar—menjadi hiburan yang sangat dinantikan Raga. Setiap kali Nenad mulai memainkan nada-nada ceria, suasana di ruang rawat berubah menjadi lebih hidup, membuat Raga merasa seolah-olah ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Hampir setiap hari, Nenad datang berkunjung dengan gitarnya. Ia membawa nada-nada lagu yang gembira, mengisi ruangan dengan melodi yang ceria. Setiap petikan gitarnya membawa senyum di wajah Raga, mengingatkannya pada cita-citanya yang sempat terlupakan: menjadi seorang penyanyi terkenal. Terinspirasi oleh musik Nenad, Raga mulai mencoba menyanyi mengiringi permainan gitar Nenad.

 Suara Raga yang merdu mengalun di ruangan, meski ia masih perlu belajar menguasai teknik vibrato dan falsetto. Kusala, yang mendengarkan dengan seksama, merasa kagum dengan bakat alami Raga. Ia memberikan dorongan dan saran agar Raga terus berlatih dan mengasah kemampuannya. Dengan dukungan Kusala dan Nenad, Raga merasa lebih percaya diri untuk mengejar mimpinya kembali.

 Setiap hari, suara nyanyian Raga semakin kuat dan penuh semangat, bagaikan burung yang terbang bebas setelah sekian lama terpenjara. Kusala dan Nenad, dua sahabat yang setia, menjadi saksi bisu perjalanan Raga menuju pemulihan, menyaksikan bagaimana ia tidak hanya pulih secara fisik, tetapi juga berjuang untuk meraih kembali impian dan cita-citanya yang selama ini terpendam.

 Musik yang mengalun dari bibir Raga, dipadukan dengan cinta yang tulus dari orang-orang terdekatnya, menjadi obat yang paling mujarab di tengah kesulitan yang dihadapinya. Setiap lirik yang dinyanyikannya adalah ungkapan rasa syukur dan harapan baru, seolah-olah menghapus semua luka dan trauma yang pernah melukai jiwanya. Raga merasa sangat tenang sekarang.

 Suatu malam yang tenang, Nenad datang ke kamar Raga dengan membawa sebuah humidifier yang memiliki efek api membara. Dengan senyum lebar dan cengengesan khasnya, Nenad menjelaskan bahwa mereka akan mengadakan malam api unggun bohong-bohongan. Kusala, yang selalu mendukung ide-ide kreatif Nenad, membantu menyiapkan ruangan agar suasana terasa lebih hangat dan nyaman.

 Setelah mendapatkan izin dari perawat dan dokter jaga, mereka menempatkan humidifier di tengah-tengah ruangan. Semua penerangan dimatikan. Cahaya lembut dari efek api membara menciptakan suasana yang hangat dan akrab di kegelapan. Raga, yang sudah bisa duduk di ranjangnya, merasa sangat antusias dengan ide ini. Mereka bertiga duduk mengelilingi “api unggun” tersebut, seolah-olah berada di tengah hutan menikmati malam bersama. Aroma lavender yang menyebar di udara membuat suasana semakin nyaman dan rileks.

 Malam itu, mereka saling berbagi cerita tentang cita-cita yang belum tercapai. Nenad, dengan gitarnya yang selalu setia menemani, bercerita tentang impiannya memiliki grup band sendiri. Ia ingin menemukan seorang vokalis yang bisa menemaninya tampil di atas panggung, menciptakan musik yang bisa menginspirasi banyak orang. Kusala, yang penuh kasih dan perhatian, berbagi tentang keinginannya menjadi pelukis terkenal. Ia bermimpi karyanya bisa dipamerkan di galeri-galeri besar dan menginspirasi banyak orang dengan keindahan goresan di atas kanvas.

 Raga, yang terinspirasi oleh semangat kedua sahabatnya, mulai bercerita tentang mimpinya menjadi penyanyi terkenal. Ia mengungkapkan betapa musik selalu menjadi bagian penting dalam hidupnya, dan bagaimana ia ingin menggunakan suaranya untuk menyentuh hati banyak orang. Kusala dan Nenad mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan dan semangat agar Raga tidak pernah menyerah pada mimpinya.

 Malam itu, di bawah cahaya “api unggun” yang hangat, mereka bertiga merasakan kebersamaan yang begitu erat. Mereka saling menguatkan dan berjanji untuk selalu mendukung satu sama lain dalam mengejar impian masing-masing. Suasana penuh kehangatan dan harapan itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Raga, Kusala, dan Nenad, mengingatkan mereka bahwa dengan dukungan dan cinta, tidak ada impian yang terlalu besar untuk dicapai.

 Sejak malam api unggun yang menyenangkan itu, hubungan Nenad dan Raga semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menyanyi dan memetik gitar di kamar rawat inap Raga. Suara riang nyanyian mereka sering kali terdengar hingga keluar kamar, mengundang senyum dari pasien dan staf rumah sakit lainnya. Namun, tidak semua orang merasa senang dengan kegembiraan mereka.

 Beberapa kali, suara nyanyian mereka mendapat teguran dari perawat senior yang tegas. Terutama Nenad yang mendapatkan sorotan tajam, “Jangan mentang-mentang kakakmu kepala perawat di sini, kamu jadi seenaknya menganggap rumah sakit ini tempat cabaret show, ini tempatnya orang sakit, ya,” kata perawat itu dengan nada marah. Nenad, Raga, dan Kusala segera meminta maaf, berusaha menahan tawa mereka. Meski begitu, semangat mereka tidak surut.

 Setiap kali perawat senior tersebut ganti shift, Nenad dan Raga kembali “pentas” di kamar rawat inap, menciptakan momen manis di tengah rutinitas yang monoton. Panggung kecil mereka penuh warna, karena Kusala, yang selalu setia mendampingi, tidak ketinggalan berpartisipasi. Dengan senandung merdunya yang lembut dan menenangkan, ia mengiringi mereka berdua. “Hmm hmm hmm,” senandungnya mengalun lembut, seakan menjadi backing vocal yang sempurna bagi Raga, sang “penyanyi utama.”

 Suasana kamar rawat inap yang biasanya sepi dan dingin berubah, kini penuh dengan tawa, musik, dan semangat. Setiap detik yang berlalu menjadi kenangan berharga, bahwa ruang rawat inap bukan hanya tempat pemulihan, tetapi juga tempat di mana mimpi dan harapan kembali hidup.

Suatu hari, ketika mereka sedang asyik bernyanyi, seorang pasien dari kamar sebelah mengetuk pintu. Kebetulan pasien ini menderita patah lengan kiri dan suasana hatinya sering memburuk. “Boleh aku ikut mendengarkan?” tanyanya dengan senyum lebar. Nenad dan Raga dengan senang hati mengundangnya masuk. Tak lama kemudian, beberapa pasien lain juga bergabung, menciptakan suasana seperti konser kecil di kamar rawat inap Raga.

 Malam itu, setelah “konser” kecil mereka, Nenad, Raga, dan Kusala duduk bersama, menikmati momen kebersamaan mereka. “Kita harus sering-sering melakukan ini,” kata Raga dengan senyum lebar. Nenad dan Kusala mengangguk setuju. Mereka tahu, selama mereka bersama, tidak ada yang tidak mungkin. Dengan cinta dan musik, mereka merasa mampu mengatasi segala kesulitan dan terus mengejar kebahagiaan masing-masing.

 Tentu tidak setiap momen di rumah sakit menyenangkan bagi Raga. Hal yang paling dibenci Raga dari perawatan lukanya adalah ketika waktunya mengganti perban. Setiap kali perban diganti, temperatur kedua lengannya selalu menurun, membuatnya merasa dingin di kedua lengannya yang disambung kembali. Rasa dingin itu membuatnya tidak nyaman dan cemas. Kusala, yang selalu berusaha menghibur, bergurau bahwa Raga punya “tangan dingin”. Meskipun Raga tertawa getir mendengar candaan itu, ia tahu Kusala hanya ingin membuatnya merasa lebih baik.

 Namun, perawat senior yang tegas menegur Kusala agar tidak menggunakan “tangan dingin” sebagai candaan. “Dingin di tangan Raga menandakan sirkulasi darahnya tidak lancar, ini bukan main-main ya,” kata perawat itu dengan serius. Kusala merasa bersalah dan berjanji untuk lebih berhati-hati bicara. Melihat kekhawatiran di wajah Kusala dan ketidaknyamanan Raga, Nenad mencoba mencari solusi.

 Nenad lalu mengusulkan agar saat Raga diganti perbannya, ia akan memainkan gitar. “Mungkin musik bisa membantu mengalihkan pikiran Raga dari proses penggantian perban,” kata Nenad dengan penuh semangat. Raga setuju untuk mencoba, meskipun ia sedikit ragu. Ketika saatnya tiba untuk mengganti perban, Nenad mulai memetik gitarnya, memainkan lagu-lagu yang ceria dan menenangkan.

 Trik ini ternyata berhasil. Setiap kali perban diganti, Raga merasa lebih tenang dan tidak terlalu fokus pada perban di tangannya. Musik Nenad membawa suasana hati yang lebih ceria, membuat proses pergantian perban menjadi lebih mudah untuk dijalani. Temperatur lengan Raga cenderung stabil karena pikirannya rileks. Apalagi Kusala ikut bersiul pelan, menambahkan harmoni yang indah pada melodi gitar Nenad.

 Perawat senior yang awalnya tegas pun mulai melihat perubahan positif pada Raga. “Musik memang bisa menjadi terapi yang baik, asalkan jangan terlalu berisik ya,” katanya suatu hari dengan senyum tipis. Raga merasa lebih kuat dan optimis, berkat dukungan dari dua kroninya, Kusala dan Nenad. Mereka bertiga menyadari bahwa dengan sedikit kreativitas dan banyak cinta, mereka bisa menghadapi tantangan apapun bersama-sama.

Lihat selengkapnya