Ibu Anggi tak kuasa menahan air mata haru ketika menceritakan kabar yang sudah lama dinantikannya—Anggi, yang sekian lama terbaring koma, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Suaranya tersendat di antara isak tangis, penuh rasa syukur yang tak terbendung. “Terima kasih, Nak Raga. Karena Nak Raga, Anggi bisa kembali kepada kami,” ucapnya, sarat kelegaan. Sorot matanya menyampaikan lebih dari yang bisa dikatakan kata-kata - sebuah keharuan mendalam dari seorang ibu yang sempat patah semangat.
Cerita tentang kecelakaan lalu lintas yang menimpa Raga dan Anggi telah menyebar luas di media sosial. Kisah mereka yang berjuang menyelamatkan orang bunuh diri lalu mengalami kecelakaan menyentuh hati banyak orang. Dukungan doa dan simpati pun mengalir deras dari berbagai penjuru. Tidak hanya itu, kartu ucapan dan karangan bunga membanjiri ruang ICU tempat Anggi dirawat, memberikan semangat dan harapan bagi keluarga yang tengah memperjuangkan kesembuhan bagi Anggi.
Selain dukungan moral, masyarakat juga menunjukkan kepeduliannya melalui donasi untuk biaya pengobatan Anggi. Keluarga Anggi yang kurang mampu merasa sangat terbantu dengan bantuan tersebut. Donasi yang terkumpul tidak hanya meringankan beban finansial mereka, tetapi juga memberikan harapan baru bahwa Anggi bisa mendapatkan perawatan terbaik yang ia butuhkan.
Keajaiban yang selama ini dinanti-nantikan akhirnya tiba—Anggi mulai sadar dari koma panjangnya. Meski dokter menjelaskan bahwa kemampuannya kini menurun, seolah kembali seperti anak sepuluh tahun, dan kemungkinan besar tidak akan pulih sepenuhnya seperti sebelum kecelakaan, keluarga Anggi tak memandangnya sebuah keterbatasan. Bagi Ibu Anggi dan keluarganya, kesadaran Anggi adalah anugerah yang tak ternilai. Mereka bertekad untuk memberikan dukungan penuh, disertai cinta tanpa syarat, agar Anggi dapat menjalani hidupnya dengan kebahagiaan dan makna yang utuh.
“Nak Raga, kami sudah sangat bersyukur Anggi tidak menjadi manusia tumbuhan. Syukur kepada-Nya, keajaiban itu memang tidak mustahil bila kita selalu berharap dan berusaha. Terima kasih sekali lagi Nak Raga.”
“Bu, jangan berterima kasih pada saya. Yang Maha Kuasa menghendaki keajaiban ini. Masyarakat yang peduli pada Anggi juga menunjukkan, setiap manusia pada dasarnya penuh cinta kasih dan empati. Syukur ke hadirat-Nya ya, Bu.” Raga menjawab dengan penuh haru.
Ibu Anggi menatap Raga yang terbaring di ranjang pasien dengan mata berkaca-kaca. Tangannya yang gemetar menyentuh kening Raga, lalu mengusap pipinya dengan penuh keibuan. Air mukanya terenyuh melihat sepasang lengan Raga yang bengkak dan masih diperban tebal. Tangisannya kembali pecah, “Kamu juga banyak menderita, Nak Raga. Semoga kedua tanganmu bisa pulih kembali seperti semula, ya.”
Kusala dan Nenad yang berada di samping Raga berusaha menenangkan Ibu Anggi dengan kata-kata penghiburan yang lembut. Kusala, dengan suara yang penuh kasih, berkata, "Raga tangguh dan kuat, Bu. Kami semua di sini untuk mendukungnya dan memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik.” Nenad menambahkan, “Bang Raga tidak sendirian, Bu. Kami semua ada di sini bersamanya, dan kami yakin dia akan pulih dengan baik.”
Ibu Anggi mengangguk pelan, meski air mata masih mengalir di pipinya. Ia merasa sedikit tenang dengan kehadiran Kusala maupun Nenad yang selalu setia menemani Raga. Mereka bertiga - karena Bibi Raga pamit keluar - duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam doa dan harapan untuk kesembuhan Raga.
Setelah selesai mengucap doa, Ibu Anggi duduk di samping ranjang Raga, matanya berkaca-kaca saat ia mulai bercerita. “Nak Raga, mungkin Nak Raga tidak tahu, ya? Cerita tentang kecelakaan lalu lintas itu menyebar luas karena videomu dan teman-temanmu yang menyanyi bersama viral di YouTube. Video itu mendapat jutaan like,” katanya dengan suara lemah namun penuh kegembiraan.
Raga terkejut mendengar kabar itu. Ia tidak menyadari bahwa “konser kecilnya” di kamar pasien direkam diam-diam dan diunggah ke platform berbagi video. “Aku tidak tahu kalau ada yang merekam,” gumamnya, masih tidak percaya. Ibu Anggi tersenyum tipis, “Ya, mungkin itu adalah cara Tuhan untuk menunjukkan betapa banyak orang yang peduli pada kalian.”
Menurut Ibu Anggi, ia sering memperdengarkan video nyanyian Raga pada Anggi yang masih koma. “Setiap kali Ibu memutar video itu, Ibu melihat ada sedikit kemajuan pada Anggi. Mungkin karena mendengarkan suara sahabat baiknya, Anggi terpacu untuk sembuh hingga akhirnya sadar kembali,” lanjutnya dengan mata yang berbinar penuh harapan.
Raga merasakan gelombang emosi mendalam saat mendengar cerita itu, nyaris tak percaya bahwa nyanyiannya bisa memberi dampak sebesar itu, menyentuh hati banyak orang di sekitarnya. Di sampingnya, Kusala dan Nenad merasakan kebanggaan dan keharuan yang serupa. Tatapan mereka bertemu, seakan memahami bahwa perjalanan mereka bukan sekadar tentang musik, melainkan tentang bagaimana melodi merangkai perasaan dan memperkuat ikatan di antara mereka. Kebersamaan yang hangat itu menggambarkan betapa kuat cinta dan pengertian yang telah terjalin di antara mereka bertiga.
Setelah kunjungan Ibu Anggi, suasana hati Raga terasa lebih cerah, seolah kunjungan itu menjadi seberkas cahaya yang menembus kegelapan, memberi secercah harapan di tengah kepedihan yang belum pergi. Raga menyadari bahwa meskipun Sendy dan Fanny telah tiada dalam kecelakaan itu, Anggi selamat, dan ia tidak sepenuhnya kehilangan sahabat baiknya. Dengan tekad barunya, Raga berjanji akan menjadikan kenangan indah tentang Sendy dan Fanny sebagai sumber kekuatan, membuktikan bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar hilang, meski maut memisahkan mereka.
Namun, keesokan harinya, keadaan berubah drastis. Raga tiba-tiba mengalami masalah serius dengan sirkulasi darah di kedua lengannya yang telah disambung. Dokter dengan cepat memutuskan bahwa operasi darurat diperlukan untuk memperbaiki kondisi ini. Tanpa membuang waktu, Raga segera dibawa ke ruang operasi, meninggalkan Kusala dan Nenad yang diliputi kecemasan, menunggu dengan harap-harap cemas hasil dari tindakan tersebut.
Operasi berlangsung selama beberapa jam yang terasa seperti seumur hidup bagi Kusala maupun Nenad. Akhirnya, dokter keluar dengan wajah serius, mengabarkan bahwa operasi berjalan lancar, tetapi Raga harus melewati masa kritis. Pasca operasi, Raga menderita demam tinggi dan mulai mengigau, membuat kedua sahabat itu kian mencemaskannya.