“Bik, apakah ayahku ada di sini?”
“Eh, begini, Sala …”
“Apakah setiap aku tidak ada di RS, ayah selalu datang untuk menjenguk Raga?”
“Sala, kata ayahmu kepada Bibik …”
Dulu, Kusala selalu menganggap dirinya tegar, kuat, dan mandiri. Ia merasa mampu menghadapi segala tantangan yang datang, apapun rintangannya, tanpa perlu bantuan siapa pun. Namun, perlahan kenyataan mulai menggoyahkan keyakinannya. Mungkin, tanpa Edmund Koo, ayahnya, ia tak akan mampu berdiri sekuat ini. Baru setelah mendesak Bibi Raga untuk berterus terang, Kusala menyadari betapa besar peran ayahnya dalam hidup dan keselamatan Raga, pria yang paling ia cintai, yang nyaris kehilangan kedua lengannya.
Bibi Raga akhirnya mengungkapkan bahwa Edmund Koo sering menjenguk Raga diam-diam, terutama saat Kusala tidak berada di rumah sakit. Kusala terkejut mengetahui bahwa ayahnya telah memantau kondisi Raga sejak awal, bahkan sejak hari pertama Raga tiba di RS NMC Genesis untuk operasi penyambungan lengan. Edmund Koo, ayah Kusala, sudah ada di sana, dengan penuh perhatian mengawasi Raga di ICU pasca operasi.
Alhasil, Kusala teringat tentang hari ketika ia dilarang mendekati ruang ICU. Saat itu, Kusala merasa bingung dan heran, tidak mengerti alasan di balik larangan tersebut. Sekarang, semuanya menjadi jelas. Ayahnya ingin memastikan dengan mata kepala sendiri, Raga mendapatkan perawatan terbaik untuk pemulihan, dan mungkin juga ingin melindungi Kusala dari kekhawatiran yang berlebihan. Bibi Raga mungkin dipesan oleh ayah Kusala untuk membawa Kusala pergi dari rumah sakit, agar mereka tidak saling bertemu muka pada hari itu.
“Pantas pada hari pertama itu, Bibik langsung mengajakku keluar mencari kamar kos.” Kusala bergumam lirih.
“Sala, ayahmu dan Dokter Emanuel Sato sahabat baik. Mereka bertemu waktu sama-sama menuntut ilmu di negeri Jepang. Ayahmu tahu, beliau satu-satunya pakar bedah mikro di Indonesia yang ahli dalam penyambungan anggota tubuh. Makanya ayahmu langsung mengontak Dokter Sato waktu Raga akan dioperasi.”
“Bibik, apa Bibik kenal sama ayahku?”
“Secara pribadi tidak kenal. Setidaknya sebelum Raga mengalami kecelakaan, Bibik cuma tahu nama besar ayahmu. Tapi ayahmu menghubungi Bibik melalui telepon saat Raga dioperasi. Sepertinya ayahmu tahu nomor ponsel Bibik dari Dokter Sato atau perawat rumah sakit. Begitulah, akhirnya ayahmu sering bicara pada Bibik soal Raga.”
Lalu kalian bekerjasama menipuku, membuatku merasa punya kemampuan dan mandiri, seolah-olah aku yang berperan besar dalam kesembuhan Raga di rumah sakit ini. Tapi ternyata semua itu palsu. Haha, bukan main ayahku yang satu ini. Kusala tidak meneruskan perkataan ini pada Bibi Raga, hanya menelan perkataan tak pantas ini dan menyimpannya dalam hati.
“Bik, apakah ayah sekarang sedang bicara dengan Dokter Sato? Ayah ada di rumah sakit ini, kan?”
“Eh, iya, benar.”
Orang bilang, kemiripan ayah dan anak tak hanya dilihat dari fisik, tetapi juga dari ikatan batin di antara mereka. Suara hati Kusala membisikkan bahwa saat ini ayahnya juga ada di RS NMC Genesis, berbicara dengan Dokter Emanuel Sato, yang ternyata teman baiknya sejak dulu. Kusala merasa campur aduk—antara marah, terharu, dan bersyukur. Namun, kemarahan yang ia rasakan jauh lebih kentara, berkecamuk hebat di dalam batinnya saat ini.
Ketika Kusala mengetahui bahwa ayahnya berada di rumah sakit dan sedang berbincang dengan Dokter Emanuel Sato, rasa marahnya justru semakin mengental. Ia merasa dikhianati karena tidak diberi tahu tentang kehadiran ayahnya yang selama ini diam-diam memperhatikan kesehatan dan pemulihan Raga. Dengan tekad yang bulat, Kusala memutuskan untuk mendatangi ruang praktik Dokter Sato, yang terletak tidak jauh dari Bangsal Damarbaru, tempat Raga dirawat saat ini.
Kebetulan saat itu pukul 12 siang, dan Dokter Sato sedang beristirahat makan siang. Kusala bergegas menuju kafetaria di lantai atas, berharap bisa menemukan Dokter Sato di sana. Namun, baru saja hendak menaiki tangga, ia menangkap bayangan Dokter Sato dan ayahnya berjalan bersama melintas di koridor. Buru-buru Kusala memalingkan wajah dan bersembunyi di sudut lorong, tidak ingin terlihat oleh mereka.
Dari tempat persembunyiannya, Kusala mendengar percakapan antara ayahnya dan Dokter Sato. Sekilas ia menangkap ayahnya berpesan pada Dokter Sato, “Dokter, tolong berikan yang terbaik pada putra saya itu. Pastikan dia sembuh total, ya.”
Kusala terpaku dan tak percaya, kata-kata lembut itu diucapkan oleh ayahnya sendiri. Selama ini, ia selalu melihat ayahnya sebagai sosok yang keras dan tidak berempati. Namun, mendengar nada penuh kasih dalam suara ayahnya membuat Kusala merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Putra saya. Yang dimaksudkannya tentu Raga, yang diakui Kusala pada ayahnya sebagai sosok kekasih yang dicintainya. Tak sadar, Kusala menggigit bibirnya hingga sedikit terluka.