“Ibu dulu tidak suka minuman manis. Kesukaannya teh tawar beraroma melati. Ayah ingat, kan?”
“Ingat. Ayah juga paling suka teh tawar, lagi pula sekalian menghindari diabetes.”
“Aku juga paling suka teh tawar, seperti minuman kesukaan Ayah dan Ibu. Apakah favorit seseorang ditentukan faktor genetika, ya, Yah?”
“Itu tandanya kita berjodoh sebagai satu keluarga. Kebetulan, ibumu keras kepala, sama sepertimu, dan … juga … sama seperti Ayahmu ini.”
“Tapi Ayah tetap mencintainya, meskipun Ibu keras kepala?”
“A Han, ibumu itu wanita yang penuh perasaan. Dia sanggup mencintai seumur hidup, tapi juga sanggup membenci seseorang sampai ia mati. Itulah yang membuat Ayah mabuk kepayang pada Ibumu.”
Angin sepoi-sepoi berembus lembut, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran, menciptakan suasana yang menyejukkan jiwa. Di bawah naungan langit biru, Kusala dan ayahnya duduk bersebelahan, tenggelam dalam kehangatan momen kebersamaan yang langka dan berharga. Dengan tatapan jauh yang penuh makna, sang ayah mulai mengurai benang-benang ingatan masa lalunya, seolah setiap embusan napas mengingatkannya pada perjalanan hidup yang telah dilalui.
“Ketika Ayah masih muda, 26 tahun usia Ayah,” Edmund memulai ceritanya, “Ayah baru saja mewarisi usaha perakitan mobil dari kakekmu. Baru beberapa bulan berselang, Ayah kembali dari Jepang setelah menyelesaikan pendidikan magister.”
Kusala mendengarkan dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa cerita ini sangat berarti bagi ayahnya. Edmund melanjutkan, “Suatu hari, seorang rekan bisnis mengajak Ayah ke sebuah klab malam. Awalnya, Ayah menolak, merasa lebih baik menghabiskan waktu dengan pekerjaan. Tapi, rekan Ayah terus membujuk, mengatakan bahwa Ayah perlu sedikit hiburan.”
Edmund tersenyum, mengingat malam itu. “Sesampainya di klab malam, suasana gemerlap dan musik yang menggema membuat Ayah merasa sedikit canggung. Namun, semua itu berubah ketika seorang penyanyi naik ke atas panggung. Suaranya yang merdu langsung memikat hati Ayah. Di mata Ayah, dia lebih molek dari bidadari surga.”
Kusala menggigit bibirnya, membayangkan sosok ayahnya yang muda, yang terpesona dan tergila-gila atas cinta pertama yang selalu menggebu-gebu.
“Rekan Ayah berbisik, ‘Dia memang primadona di sini. Banyak laki-laki tergila-gila padanya.’ Ayah hanya bisa mengangguk, kian terpesona oleh daya pikat penyanyi jelita itu.”
“Malam itu, suara merdu dan keanggunan penyanyi tersebut terus terngiang di benak Ayah, meninggalkan kesan yang mendalam. Setiap kali Ayah mengingat malam itu, Ayah tersenyum sendiri. Meskipun hidup Ayah kini dipenuhi dengan tanggung jawab besar, kenangan akan malam itu selalu memberikan warna tersendiri dalam hidup Ayah.”
“Maaf, Ayah, kalau dibandingkan, mana yang lebih cantik, ibuku atau cinta pertama ayah itu?” Kusala bertanya.
“Otakmu itu lambat sekali. Ibumu dan penyanyi primadona itu orang yang sama, dia cinta pertama Ayahmu ini.”
Di tengah panggung yang gemerlap, seorang penyanyi dengan rambut hitam panjang berkilau di bawah sinar lampu, memikat hati setiap penonton yang terpesona. Kulitnya halus seperti delima yang merekah, senyumnya manis, dan matanya memancarkan cahaya kehangatan. Suara merdunya menyihir telinga, seolah setiap lirik yang dinyanyikannya lahir dari kedalaman hati. Gaun glamor yang ia kenakan, dihiasi dengan payet dan permata berkilauan, membuatnya tampak bagaikan bintang yang bersinar, menonjolkan keanggunan dan pesona yang tak tertandingi.
Saat ia mulai bernyanyi, suaranya yang merdu mengisi ruangan dengan emosi yang mendalam, membuai penonton yang terpesona. Setiap lirik disampaikannya dengan perasaan yang tulus, menjiwai perannya sebagai penyanyi melalui gerakan dan ekspresi wajah yang penuh sensualitas. Malam itu, ia tampil luar biasa sebagai sosok yang tak terlupakan, meninggalkan kesan mendalam di hati Edmund Koo dan semua yang hadir.
Sejak malam itu, Edmund Koo tidak bisa menghilangkan bayangan si perempuan jelita dari pikirannya. Setiap kali ia menutup mata, ia bisa mendengar suara merdunya yang mengalun lembut, seolah-olah menyanyikan lagu hanya untuknya. Namun, meskipun hatinya semakin jatuh cinta, Edmund belum punya keberanian untuk mendekati sang primadona.
Setiap kali ia mengunjungi klab malam itu, Edmund hanya bisa duduk di sudut ruangan, menikmati penampilan sang biduanita dari kejauhan. Ia merasa puas hanya dengan melihat senyuman dan mendengar suaranya. Tak urung, hatinya selalu berdebar-debar setiap kali wanita jelita itu menatap ke arahnya, meskipun hanya sekilas.
Dari cerita rekannya, Edmund mengetahui bahwa penyanyi itu bernama Hai Hua. Ia juga tahu bahwa Hai Hua sudah memiliki pacar. Namun, hubungan mereka tidak berjalan mulus. Orangtua kekasih Hai Hua menentang hubungan mereka karena tidak menyukai pekerjaan Hai Hua sebagai penyanyi klab malam. Hal ini membuat Edmund merasa sedikit lega, meskipun ia tahu bahwa perasaannya tidak seharusnya bergantung pada masalah orang lain.
Setiap malam, Edmund merenung di kamarnya, memikirkan cara untuk mendekati Hai Hua. Ia ingin mengenalnya lebih dekat, ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya di luar panggung. Namun, rasa takut dan keraguan selalu menghantuinya. Ia takut ditolak, takut bahwa perasaannya hanya akan menjadi beban bagi Hai Hua yang sudah memiliki banyak masalah.
Namun, Edmund tak dapat mengabaikan perasaannya. Ia sadar bahwa ia harus bertindak, menemukan cara untuk mendekati Hai Hua. Dengan tekad yang semakin membulat, Edmund memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang kehidupan Hai Hua, berharap menemukan kesempatan untuk berbicara dengannya. Mungkin, siapa tahu saja, ia bisa memenangkan hati wanita yang sudah mencuri perhatiannya itu.