Setelah hampir dua bulan terbaring di ranjang rumah sakit, Raga akhirnya bersiap untuk memulai latihan berjalan. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, bukan hanya karena otot-ototnya yang masih lemah dan keseimbangan tubuhnya yang terganggu, tetapi juga karena kegugupan yang terus menggelayuti pikirannya. Dalam waktu dua hari, ia akan bertemu dengan Edmund Koo, ayah dari Kusala, kekasihnya. Pertemuan ini menimbulkan kecemasan dalam diri Raga; ia takut tidak dapat memberikan kesan yang baik.
Kusala, yang selalu setia mendampingi Raga, menyadari kegugupan yang dirasakan oleh kekasihnya. Dengan senyum lembut, ia menggenggam bahu Raga, memberikan dukungan yang dibutuhkan. “Tenang saja, Raga. Ayahku orangnya baik. Kamu hanya perlu bersikap wajar,” ucapnya dengan suara menenangkan. Namun, melihat wajah Raga yang masih tampak tegang, Kusala berusaha mencairkan suasana dengan candaan. “Lagipula, kamu bukan mau melamar kok sama camer,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Raga tersenyum tipis mendengar candaan Kusala, meskipun hatinya masih berdebar. Ia menyadari bahwa pertemuan ini sangat penting, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depannya bersama Kusala. Dengan dukungan dan cinta yang tulus dari Kusala, Raga berusaha mengumpulkan keberanian. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Baiklah, aku akan mencoba rileks,” jawabnya dengan suara yang sedikit terbata-bata.
“Ayo, Mas Raga, kita akan mulai latihan berjalan hari ini,” ujar seorang perawat sambil memberi tanda agar Raga bersiap-siap.
“Tapi, Sus, saya takut tangan saya bisa jatuh kalau saya berjalan,” ujar Raga dengan nada was-was.
Untungnya, para perawat di rumah sakit ortopedi ini tidak meremehkan kekhawatiran Raga dan tidak menertawakan perkataannya yang mungkin terdengar konyol. Setelah berdiskusi dengan dokter jaga, Raga akhirnya diberi sejenis obat penenang untuk menenangkan pikirannya dan mengurangi kecemasannya. Dengan hati yang lebih tenang, Raga pun merasa mantap untuk memulai latihan berjalan.
“Untungnya, Mas Raga sudah bisa duduk di ranjang dan juga sudah bisa duduk di kursi roda. Seharusnya, latihan berjalan pasti lebih mudah, ya?” ujar seorang perawat junior dengan senyum menenangkan.
Kenyataan ternyata jauh bertolak belakang dengan harapan mereka semua. Begitu Raga mencoba berdiri, ia sudah merasakan mual yang luar biasa dan terpaksa menjatuhkan diri kembali ke ranjang. Awalnya, seorang juru rawat melilitkan ikat pinggang khusus di tubuh Raga. Kemudian, tiga orang perawat lainnya mulai beraksi, membantu Raga berdiri dengan menarik ikat pinggang itu dengan hati-hati. Empat perawat akan mendampinginya selama latihan berjalan, masing-masing menjaga posisi di depan, di belakang, serta di kiri dan kanan Raga. Sayangnya, bahkan untuk sekadar berdiri, Raga harus berjuang lebih keras dari yang ia bayangkan.
“Tidak apa-apa, Mas Raga. Ini baru permulaan. Yang penting, sudah ada langkah awalnya. Setidaknya, Mas Raga sudah berdiri beberapa detik tadi. Sudah ada kemajuan,” ujar sang perawat junior, berusaha menghibur Raga yang terlihat sangat kecewa.
“Padahal kakiku baik-baik saja, Sus. Kenapa kayaknya untuk berdiri saja seperti oleng, ya.” Raga mengeluh.
“Mas Raga sudah hampir dua bulan berbaring di ranjang. Jadi sistem peredaran darah Mas tidak siap berganti posisi. Istilahnya pembuluh darah Mas Raga sudah lama tidak menentang gaya gravitasi bumi, makanya jadi kaget saat berdiri. Gejalanya mual dan merasa seperti akan pingsan seperti yang Mas alami tadi.”
“Betul, itu namanya orthostatic hypotension, Mas. Rasanya seperti semua darah kita turun dari badan atas ke kaki. Tekanan darahnya langsung anjlok seketika,” jelas seorang juru rawat lainnya, sambil melepas ikat pinggang dari tubuh Raga.
“Maaf, Sus, apakah kita tidak latihan berjalan lagi?” Raga tidak dapat menyembunyikan kekecewaan yang terdengar jelas dalam nada suaranya.
“Besok latihan dimulai lagi, Mas. Kita latihan berdiri dulu sampai Mas Raga tidak mual lagi. Semangat ya, Mas.”
“Raga, kita pelan-pelan saja, ya. Selangkah demi selangkah, oke?” Kusala menepuk bahu Raga dengan lembut.
“Masalahnya dua hari lagi, ayahmu mau datang besuk ke kamarku. Pasti ayahmu kecewa melihat aku seperti ini. Berdiri saja tidak mampu.”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Raga. Kamu kan pasien rumah sakit, bukan atlet yang mau ikut lomba. Wajar kalau keadaanmu lebih lemah. Ayahku memaklumi kondisi kamu, kok,” kata Kusala dengan penuh kasih, sambil mengusap rambut Raga dan menyisirnya dengan jari-jarinya agar terlihat lebih rapi.
Keesokan harinya, Raga mampu berdiri beberapa detik lebih lama dengan bantuan empat juru rawat. Meskipun demikian, ia tetap merasa tidak puas dengan kemajuannya yang lambat. Kusala berusaha memberi semangat dengan senyumannya, sementara Nenad memainkan lagu-lagu upbeat yang ceria agar semangat Raga tidak terpuruk dan mendorongnya untuk berlatih lebih keras lagi dalam berjalan. Raga hanya bisa mengulas senyum lemah, sementara pikirannya terus tertuju pada rencana pertemuannya dengan Ayah Kusala.
Hari-H yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Siang ini, Edmund Koo, ayah Kusala, akan membesuk Raga di kamar rumah sakit. Raga merasakan campuran antara gugup dan bersemangat. Batinnya telah berlatih keras untuk momen ini, berharap bisa memberikan kesan yang baik kepada ayah kekasihnya.
Raga juga memperhatikan penampilannya. Ia meminta bantuan juru rawat untuk merapikan rambutnya dan mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Ia ingin memberikan kesan yang baik kepada ayah Kusala, sehingga ia memilih jaket abu-abu yang nyaman namun tetap terlihat sopan, menutupi piama rumah sakitnya. Raga bahkan berlatih beberapa kalimat yang ingin ia sampaikan, berusaha untuk terdengar percaya diri dan ramah.
Di samping itu, Raga berusaha menenangkan pikirannya. Ia mengingat semua dukungan yang telah diberikan oleh Kusala dan juru rawat, yang selalu mendorongnya untuk tidak menyerah. Dengan semangat yang membara, Raga bertekad untuk membuat pertemuan ini menjadi momen yang tak terlupakan, baik untuk dirinya maupun untuk ayah Kusala.
Siang itu, di kamar rumah sakit, Raga sedang berlatih berdiri dengan bantuan empat orang perawat. Setiap otot di tubuhnya bekerja keras, dan sirkulasi darahnya terasa jungkir balik tak karuan. Namun, semangatnya tetap menyala. Ia ingin menunjukkan kepada Edmund Koo bahwa ia adalah pria yang kuat dan pantang menyerah, seseorang yang layak untuk merebut hati Kusala dan menenteramkan calon mertuanya.
Tepat saat pintu kamar terbuka dan Edmund Koo masuk, Raga berhasil berdiri tegak tanpa merasa mual, meskipun masih dibimbing oleh para juru rawat. Perawat-perawat di sekelilingnya tersenyum bangga melihat kemajuan yang dicapai Raga. Dengan penuh semangat, Raga menyapa Edmund Koo, “Siang, Om. Saya sudah bisa berdiri, Om.”
Edmund Koo terpana dan terkesan melihat keteguhan hati Raga. Ia tahu dari sahabatnya, Dokter Sato, bahwa Raga harus berjuang keras untuk mengatasi orthostatic hypotension dalam proses rehabilitasi medisnya. Mendekat, ia menatap Raga dengan mata yang penuh penghargaan. “Luar biasa, Raga. Kamu benar-benar kuat,” katanya dengan suara hangat. Mendengar pujian itu, Raga merasa lega dan bangga, menyadari bahwa semua usahanya tidak sia-sia.
Kusala yang berdiri di samping ayahnya tersenyum lebar. Ia merasa bangga dengan pencapaian Raga dan senang melihat ayahnya memberikan dukungan. “Aku tahu kamu bisa melakukannya, Raga,” bisiknya penuh kasih.
Akhirnya, Raga dan Edmund Koo duduk berhadapan di kamar rumah sakit. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Raga, menandakan kegugupannya. Raut wajah Edmund Koo terlihat kaku, seperti seorang hakim yang siap menginterogasi terdakwa. Suasana semakin tegang ketika ayah Kusala meminta Kusala dan Nenad keluar ruangan, ingin berbicara empat mata dengan Raga.