Hari demi hari berlalu, Raga memulai perjalanan panjangnya untuk kembali berjalan. Pada hari itu, ia duduk di tepi ranjang pasien, menatap lantai dengan tekad yang membara. Dengan bantuan empat juru rawat yang penuh kesabaran, ia berusaha untuk berdiri. Namun, langkah pertamanya terasa begitu berat, seolah-olah kakinya terbuat dari timah. Ia berhasil melangkah dua langkah, tetapi tiba-tiba rasa mual menyerangnya, memaksanya untuk kembali duduk di kursi terdekat.
Setelah beberapa saat beristirahat, Raga merasakan tekadnya kembali mengalir dalam tubuh. Dengan menguatkan hati, ia bangkit dari kursi meskipun setiap gerakan terasa seperti sebuah perjuangan. Dengan susah payah, ia melangkah menuju ranjang pasien, setiap langkahnya diiringi oleh dukungan dan semangat dari para juru rawat yang setia berada di sekelilingnya. Mereka berdiri di sisi kiri, kanan, depan, dan belakangnya, siap menyambutnya jika langkahnya kurang mantap.
Hari demi hari, latihan ini terus berlanjut. Setiap pagi, para juru rawat dengan penuh perhatian membantu Raga untuk berdiri dan berjalan. Mereka memasangkan ikat pinggang khusus, memberikan instruksi yang jelas, serta dorongan semangat, memastikan Raga tidak merasa sendirian dalam perjuangannya. Meskipun kemajuan terasa lambat, setiap langkah kecil yang ia ambil menjadi kemenangan besar baginya. Ia mulai mengingat kembali bagaimana rasanya berjalan, menyeimbangkan tubuhnya, dan mengatasi rasa takut akan jatuh.
Dengan ketekunan dan dukungan tanpa henti dari para juru rawat, Raga perlahan-lahan mulai berjalan lebih jauh setiap harinya. Dari dua langkah, ia melangkah menjadi lima, lalu sepuluh. Setiap langkah yang diambilnya membawa harapan baru, bahwa suatu hari nanti, ia akan bisa berjalan kembali tanpa bantuan. Perjalanan ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kekuatan mental dan semangat yang tak pernah padam.
Setiap kali berlatih berjalan, Raga sering kali merasa cemas tentang kondisi lengannya yang telah disambung kembali. Ia khawatir setiap kali lengannya bergerak, takut akan benturan atau cedera yang bisa memperburuk kondisinya. Namun, para juru rawat selalu ada untuk meyakinkannya. Mereka menjelaskan bahwa kedua lengannya disangga oleh belat yang kokoh, sehingga kondisinya akan tetap aman meskipun terkena benturan ringan. Penjelasan ini perlahan-lahan menenangkan kecemasan Raga.
Dengan dukungan yang tak pernah surut dari Kusala dan Nenad, Raga mulai merasakan peningkatan kepercayaan diri. Kusala, dengan senyum lembutnya, selalu berada di sampingnya, memberikan semangat dan dorongan yang tak ternilai. Sementara itu, Nenad dengan sikap tenang dan alunan gitarnya yang ceria, membantu Raga untuk fokus pada setiap langkah yang diambil. Bersama-sama, mereka menjadi pilar kekuatan yang kokoh bagi Raga.
Lambat laun, Raga mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan. Suatu hari, dengan hati yang penuh tekad, ia memutuskan untuk mencoba berjalan keluar dari kamarnya. Ditemani Kusala di satu sisi dan Nenad di sisi lainnya, Raga melangkah keluar untuk pertama kalinya. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti pencapaian besar. Ia menyusuri koridor rumah sakit yang sepanjang sepuluh meter, merasakan lantai dingin di bawah kakinya meskipun ia mengenakan sandal rumah sakit yang tebal. Suara langkahnya menggema di sepanjang koridor, meskipun hanya ia seorang yang mendengarnya.
Setelah mencapai ujung koridor, Raga berhenti sejenak untuk mengumpulkan kekuatan sebelum berbalik dan berjalan kembali ke kamarnya. Setiap langkah kembali ke ranjangnya terasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini ia rasakan mulai terangkat. Ketika akhirnya ia duduk kembali di ranjang, senyum puas terukir di wajahnya. Ia menyadari bahwa ini baru permulaan, tetapi dengan dukungan dari orang-orang terkasih, ia yakin bisa mengatasi segala rintangan yang ada di depannya.
“Good job, Bang Raga! Kamu bisa! Ralat, maksudnya kita yang bisa!” Nenad bersorak seolah dirinya dan Raga sukses memenangi perlombaan bergengsi.
Suatu hari yang istimewa, Raga merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Setelah berminggu-minggu berlatih dengan tekun, ia bertekad untuk berjalan sendiri cukup jauh. Meskipun harus dibantu berdiri dengan ikat pinggang khusus, Raga sudah mantap memulai misinya. Ditemani Kusala dan Nenad di sisinya, ia bersiap untuk melakukan sesuatu yang sangat berarti baginya. Bersama-sama, mereka berjalan menuju unit ICU, tempat di mana Raga pernah berjuang antara hidup dan mati.
Saat mereka tiba di ICU, para juru rawat yang bertugas terkejut melihat Raga berdiri tegak dan berjalan dengan mantap. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, diiringi tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian luar biasa Raga. Namun, Raga memiliki tujuan khusus di balik langkahnya. Ia ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada seorang perawat yang sangat berarti baginya.
Perawat itu, seorang wanita dengan suara lembut dan mata penuh kasih, pernah merawat Raga dengan penuh perhatian selama ia berada di ICU. Setiap malam, ketika Raga berada dalam kondisi kritis, perawat tersebut selalu membacakan doa di telinganya. Doa-doa itu memberikan ketenangan dan harapan, meskipun Raga berada di ambang kesadaran. Menariknya, perawat ini pernah menjadi biarawati awam, atau lay sisters, sehingga setiap doa yang ia bacakan selalu dipenuhi dengan kedalaman spiritual.
Raga mendekati perawat itu dengan hati yang penuh rasa syukur. “Terima kasih, Sus Alma,” katanya dengan suara yang terharu. “Terima kasih sudah merawat saya di saat kritis dan membacakan doa-doa itu. Suster telah memberi saya kekuatan untuk bertahan.”
Perawat bernama Alma itu tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Saya hanya melakukan apa yang saya bisa, Mas,” jawabnya dengan rendah hati. “Melihat Mas berdiri di sini hari ini adalah hadiah terbesar bagi saya. Saya baru sadar, Mas ternyata tinggi juga, ya.”
Momen itu dipenuhi dengan keharuan. Kusala dan Nenad menyaksikan dengan bangga, menyadari bahwa perjalanan Raga belum sepenuhnya selesai, tetapi ia telah mencapai tonggak penting dalam proses pemulihannya. Dengan dukungan dari orang-orang terkasih dan semangat yang tak pernah padam, Raga yakin bahwa ia mampu mengatasi segala rintangan yang ada di depannya.
***
Setiap akhir pekan, Ayah Kusala selalu meluangkan waktu untuk menjenguk Raga di rumah sakit. Kehadirannya membawa semangat dan harapan bagi Raga, yang semakin menunjukkan kemajuan dari hari ke hari. Akhirnya, kabar baik pun tiba: Raga akan diizinkan keluar dari rumah sakit besok lusa.
Pada kunjungan terakhirnya sebelum Raga pulang, Ayah Kusala mengajak Raga untuk berjalan-jalan ke taman rumah sakit. Mereka melangkah perlahan, menikmati udara segar dan suasana tenang di sekitar taman. Setelah menemukan tempat yang nyaman untuk duduk, Ayah Kusala mengeluarkan sebuah amplop putih dari sakunya dan menyelipkannya ke dalam saku jaket Raga.
“Ini untukmu,” kata Ayah Kusala dengan suara lembut.
“Apa isinya, Yah?”
“KTP Kusala. Waktu dia minggat dari rumah dua tahun lalu, Ayah menahan KTP nya dan dia cuma membawa fotokopi KTP saja.”
Raga menatap Ayah Kusala dengan bingung. “Kenapa Ayah memberikan ini kepada saya?” tanyanya.
Ayah Kusala tersenyum dan menjelaskan, “Kusala memutuskan untuk membawa kamu tinggal bersama di rumah kosnya. Dia ingin memastikan ada yang merawatmu. kamu masih perlu fisioterapi untuk pemulihan fungsi tangan, dan juga perlu datang kontrol secara rutin. Rumah kos Kusala dekat dari rumah sakit ini.”