Tangan Malaikat

Zenna ZA
Chapter #29

Ragawi dan Kusala #29

Kusala tampil penuh percaya diri, menguasai panggung dengan sorotan lampu yang mengikuti setiap gerakannya. Diiringi petikan gitar Nenad yang rancak namun penuh perasaan, ia mulai menyanyikan lagu andalannya, “Sound of Silence.” Energi yang ia pancarkan terasa memikat, dan suaranya yang berwarna alto, terdengar maskulin layaknya klarinet bas, menambahkan nuansa kuat dan mendalam pada lagu tersebut.

Namun, Kusala tidak berhenti di situ. Ia memadukan suaranya dengan teknik coloratura contralto, sehingga pada bagian tertentu dari lagu, rentang suaranya melambung tinggi, terdengar ringan dan lincah seperti burung yang terbang bebas di langit. Penonton terpukau, bahkan sejak lirik pembuka, “Hello darkness, my old friend,” beberapa penonton sudah bersiut-siut riuh, menandakan kekaguman mereka pada penampilan kejutan ini.

Sepanjang lagu, sorakan dan tepuk tangan tak henti-hentinya mengiringi penampilan Kusala. Setiap nada yang keluar dari mulutnya seperti sihir yang memikat hati para penonton. Vokalnya yang luar biasa dan penampilannya yang brilian membuat setiap orang di ruangan itu merasa seolah-olah sedang menyaksikan keajaiban. Kusala telah berhasil mengubah malam itu menjadi momen yang tak terlupakan, di mana musik dan emosi menyatu dalam harmoni yang sempurna, dengan resonansi menggetarkan yang akan diingat dalam waktu yang lama.

Sementara itu, di balik tirai panggung, mata Raga berkaca-kaca melihat Kusala yang kini menggantikannya menyanyi. Sejak awal, ia tahu lagu brilian ini memang ditulis khusus untuk warna suara Kusala yang begitu istimewa. Hanya suara alto dengan rentang yang luas dan kaya seperti milik Kusala yang mampu menyampaikan pesan lagu ini. Makna kesepian dan keterasingan dalam lagu tersebut terasa nyata, bukan hanya indah didengar tetapi juga menggerakkan hati, mengingatkan setiap orang bahwa kita semua ingin didengar. Itulah nuansa yang tak mampu Raga sampaikan sepenuhnya, dibatasi oleh rentang vokalnya yang tak sebanding.

“Sala, kamu tahu tidak, lagu ini sangat ikonik dari duet Simon and Garfunkel, ditulis Paul Simon tahun 1964, tak lama setelah pembunuhan Presiden John F Kennedy. Lagu ini terinspirasi dari kamar mandi yang gelap dan sunyi, mengingatkan pentingnya keheningan dan refleksi dalam dunia yang semakin bising. Lagu ini abadi, karena kesepian di hati manusia tidak ada habisnya. Apalagi teknologi yang semakin canggih membuat keterasingan itu kian nyata dan mencolok.” Raga bergumam di balik panggung, seolah-olah berbicara pada Kusala namun hanya dirinya sendiri yang mendengarkan suaranya.

Raga menunduk, memperhatikan lengannya yang masih dalam masa pemulihan. Kini, lengan itu menjadi enam sentimeter lebih pendek. Kedua lengannya sempat terputus, dengan tulang-tulang yang patah dan ujung-ujungnya tajam, berisiko merusak jaringan saat disambung kembali. Selama pembedahan, tim dokter memutuskan untuk “menggergaji” ujung-ujung tulang yang tajam tersebut dan menggunakan sekrup titanium untuk menyambungkannya kembali, meski itu berarti panjang lengannya sedikit berkurang dari ukuran normal. Pemendekan ini juga bertujuan untuk mempermudah penyambungan kembali pembuluh darah dan saraf.

Selama ini, Raga berusaha meyakinkan dirinya dan orang-orang yang mendukungnya bahwa ia akan pulih seperti sedia kala. Namun, di dalam hati, ia menyimpan keraguan. Dari yang ia baca, sel saraf dewasa yang mati tak dapat beregenerasi, seperti gigi tetap yang takkan tumbuh lagi jika sudah tanggal. Dokter Sato menjelaskan kepadanya bahwa sel saraf manusia memiliki dua jenis ekstensi: dendrit yang menerima rangsangan dan axon yang mengirimkan impuls saraf. Axon diketahui mampu memperbarui diri, sementara dendrit, meskipun memiliki kemungkinan regenerasi, belum terbukti dapat pulih sepenuhnya dalam fungsi seperti sebelum cedera. Intinya, tidak ada jaminan Raga akan bisa menggunakan kedua lengannya seperti sebelum kecelakaan. Terlebih lagi, lengan kanannya sudah mengalami Erb’s palsy akibat cedera saraf bahu saat proses kelahirannya yang sulit. Tim dokter khawatir lengan kanannya mungkin mengalami kelumpuhan total, sementara pemulihan lengan kirinya masih belum pasti hasilnya.

“Namun, Sala, walaupun seandainya kedua tanganku tidak pulih kembali, aku masih sanggup menggunakan suaranya untuk memberi pengaruh pada banyak orang, meskipun bukan untuk menyanyi. Jangan khawatir, aku akan punya cara sendiri untuk melindungi dan mencintaimu, dengan segala keterbatasan yang kumiliki saat ini.”

Di tempat yang berbeda, Edmund Koo, ayah Kusala, menyaksikan penampilan putrinya dari layar televisi yang lebar. Keharuan mengalir dalam dirinya, karena tanpa disadari, Kusala mewarisi bakat menyanyi ibunya, seorang mantan biduanita primadona di masa mudanya di klab malam. Selama ini, Edmund Koo tidak menyetujui keinginan Kusala untuk menggeluti seni, karena ia khawatir putrinya akan tumbuh seperti Hai Hua, ibunya, yang dikenal sebagai perempuan penuh perasaan dan akhirnya kehilangan nyawanya karena perasaan yang berlebihan. Namun, ia menyadari bahwa bakat seni Kusala tidak bisa dibendung. Diam-diam, Edmund Koo juga tahu bahwa putrinya itu melukis cat air secara sembunyi-sembunyi, mengekspresikan dirinya dengan cara yang halus dan penuh warna.

Si laki-laki necis duduk di ruang tamu yang sunyi, hanya ditemani oleh suara televisi yang menyiarkan penampilan Kusala, putrinya. Kusala sedang menyanyikan lagu dengan penuh perasaan, suaranya yang merdu mengisi ruangan dan membawa Edmund kembali ke masa lalu. Setiap nada yang dinyanyikan Kusala mengingatkannya pada mendiang istrinya, Hai Hua, yang juga seorang penyanyi berbakat besar. Kenangan akan Hai Hua membanjiri pikirannya, membuat hatinya terasa berat akan nostalgia.

 Edmund memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Namun, ketika ia membuka matanya kembali, ia terkejut melihat sosok Hai Hua duduk di sisinya. Wajahnya yang cantik klasik tersenyum lembut, dan bibirnya bergerak seolah-olah mengucapkan terima kasih tanpa suara. Edmund merasa tercengang dan terharu oleh penglihatan itu, seolah-olah Hai Hua hadir untuk memberikan restunya kepada putri mereka, Kusala Koo.

 Namun, dalam sekejap, wajah Hai Hua berubah menjadi Li Hua, istri kedua Edmund yang adalah adik sepupu Hai Hua. Li Hua menatap Edmund dengan penuh perhatian, matanya yang lembut memancarkan kasih sayang. “Lao Ya, apakah kamu merestui A Han menjadi penyanyi seperti ibunya?” tanyanya dengan suara yang tegang namun penuh harap.

 Edmund terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Ia tahu betapa besar bakat dan cinta Kusala terhadap kesenian, sama seperti ibunya dulu. Dengan hati yang penuh emosi, Edmund mengangguk perlahan. “Ya, aku merestuinya,” jawabnya dengan suara yang bergetar. “A Han memiliki bakat yang luar biasa, dan aku yakin Hai Hua juga akan bangga padanya.”

 Li Hua tersenyum, dan Edmund merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Ia tahu bahwa meskipun Hai Hua telah tiada, semangat dan cintanya akan terus hidup melalui Kusala, putri tunggal mereka. Dan dengan restu yang tulus, Kusala akan melangkah maju, membawa warisan musik ibu kandungnya ke panggung yang lebih besar.

  Edmund Koo dan Li Hua duduk berdampingan di sofa, tangan mereka saling menggenggam erat. Di layar televisi, penampilan Kusala yang memukau terus berlanjut, dengan suara merdunya mengisi ruangan, menghadirkan luapan emosi yang melodius. Edmund diam-diam menatap Li Hua, istri keduanya yang telah mengabdi tanpa pamrih kepada keluarga Koo. Meskipun tidak memiliki status resmi sebagai istri sah, Li Hua telah memberikan segalanya untuk keluarga ini, melahirkan empat orang putri dan seorang putra yang kini berusia lima tahun. Namun, dalam hati, Edmund menyadari bahwa ia belum sepenuh hati mengasihi perempuan berhati murni ini, yang telah berjuang dan berkorban untuk kebahagiaan keluarganya.

 Malam itu, di tengah keajaiban suara Kusala, Edmund merasakan dorongan kuat untuk membuat keputusan besar. Ia menoleh ke arah Li Hua, yang menatap layar televisi dengan penuh cinta. Matanya tak pernah lepas dari penampilan Kusala, putri sambungnya, yang memukau hati mereka berdua. Dengan suara yang lembut namun tegas, Edmund berkata, “Li Hua, bagaimana kalau kita melangsungkan pernikahan? Aku ingin menjadikanmu Nyonya Koo yang sesungguhnya. Terima kasih untuk semuanya, Li Hua.”

 Li Hua terkejut mendengar kata-kata itu. Matanya yang lembut membesar, dan ia menatap Edmund dengan penuh haru. “Lao Ya, apakah kamu serius?” tanyanya dengan suara tersedu-sedu.

 Edmund mengangguk, menggenggam tangan Li Hua lebih erat. “Ya, aku serius. Kamu telah memberikan begitu banyak untuk keluarga ini, dan aku ingin mengakui pengorbanan dan cintamu dengan cara yang layak. Kamu pantas mendapatkan status dan penghormatan sebagai istri sahku.”

 Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Li Hua. Ia tersenyum, merasa hatinya dipenuhi dengan kehangatan dan cinta yang tulus. “Terima kasih. Dengan senang hati, aku akan sepenuhnya menjadi Nyonya Koo dan Ibu kedua bagi A Han kita.”

 Malam itu, di tengah penampilan Kusala yang memukau, Edmund dan Li Hua merasakan kebahagiaan yang mendalam. Mereka tahu bahwa keputusan ini akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka, namun mereka siap menghadapi masa depan bersama dengan cinta dan komitmen yang baru. Kusala, dengan suaranya yang merdu, seolah-olah menjadi saksi bisu dari momen penting dalam kehidupan orang tuanya, mengiringi kisah mereka dengan melodi indah yang penuh makna.

 

Lihat selengkapnya