Dua tahun kemudian
Kusala merasa jenuh, tak tahu lagi harus melakukan apa selama dipingit tujuh hari menjelang pernikahannya dengan Raga. Hari keenam pun tiba, namun semangatnya masih saja belum kembali. Di kamar mewah rumah ayahnya, ia terkapar di atas karpet tebal berwarna merah yang nyaman seperti kasur tipis. Ia mengambil ponsel dan membuka peramban web, seketika disambut oleh deretan foto-fotonya dan berita tentang dirinya: Kusala Koo, penyanyi terkenal yang selalu berduet dengan Nenad, gitaris reggae berambut gondrong dengan gaya nyentrik. Sosok cantik berjiwa tomboy ini sebentar lagi akan melepas masa lajang. Pria beruntung yang mempersuntingnya tak lain adalah Ragawi Natalegawa, penulis novel bestseller Tangan Malaikat yang baru-baru ini mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.
Tatapan Kusala menerawang, memikirkan Raga yang besok siang akan menjadi suaminya yang sah. Ia merasakan campuran perasaan antara kegembiraan dan kecemasan. Di satu sisi, ia sangat mencintai Raga dan tidak sabar untuk memulai hidup baru bersamanya. Di sisi lain, ia merasa tertekan dengan segala perhatian media dan ekspektasi publik terhadap pernikahannya.
Kusala membuka aplikasi pesan singkatnya, berharap ada pesan dari Raga yang bisa menenangkan hatinya. Namun, yang masuk justru pesan dari Nenad. “Bang Sala, selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia selamanya. Sorry aku kepagian ucapin selamat. Takutnya besok aku lupa,” tulis Nenad. Kusala tersenyum kecil membaca pesan itu. Nenad memang selalu perhatian dan humoris, meski kesan nyentrik tak pernah lepas dari sosok reggae-nya.
Mendadak ponsel Kusala berbunyi, ada notifikasi pesan masuk. “Ah, Nenad itu memang usilan,” Kusala membatin. Dengan malas-malasan ia membuka ponselnya dan terbelalak mendapati pesan dari Raga.
“Halo, Teru Teru Bozu. Apakah cuaca di dalam hatimu cerah malam ini?” tulis Raga.
Kusala antara tersenyum dan cemberut membalas pesan Raga, “Kamu lagi di mana, sedang apa, sudah makan belum?”
Raga menjawab, “Aku lagi ada di hatimu, sedang memikirkan pengantinku yang secantik bidadari surgawi. Boleh, kan?”
Kusala tersenyum lebih lebar kali ini, merasa hatinya hangat oleh perhatian Raga. “Aku sedang dipingit, kita gak boleh komunikasi sampai besok hari-H. Kamu lupa, ya?” balasnya, berlagak jual mahal.
Raga cepat merespons, “Oh iya, maafkan aku. Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak menghubungimu. Aku sangat merindukanmu, my lovely angel.”
Keluguan Raga yang jenaka membuat Kusala merasa semakin ringan. Meski dipingit, ia tahu bahwa cinta dan perhatian Raga selalu ada untuknya. Ia menatap langit-langit kamarnya, membayangkan hari esok yang penuh kebahagiaan bersama pria yang dicintainya.
Kusala sepertinya tertidur beberapa saat di atas karpet. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Kusala yakin yang mengetuk adalah ibu sambungnya, Li Hua yang ia panggil Mami. “Ada apa, Mi?” kata Kusala sambil membuka pintu dengan mata mengantuk. Ternyata Raga yang mengetuk pintunya. Kusala terkesiap, segera menutup kembali pintu kamarnya, karena dalam tradisi keluarga Koo, sepasang calon pengantin tidak boleh bertatap muka sejak seminggu sebelum pernikahan, hingga di Hari-H yang sakral. Namun Raga terus mengetuk pintu.
Kusala terpaksa membuka pintu, lalu mendesut agar Raga tidak ribut. “Kamu mau apa? Aku sedang dipingit, tahu.”
Raga tersenyum nakal dan berkata, “Tenang saja, ayahmu sudah memberi izin padaku untuk menculikmu malam ini.”
Kusala terkejut mendengar itu. “Apa? Ayah mengizinkan?”
Raga mengangguk. “Ya, Ayah bilang ini malam terakhir sebelum kita menikah, jadi Ayah ingin kita menikmati momen ini bersama.”
Kusala merasa ragu, tetapi rasa penasaran dan keinginan untuk bersama Raga mengalahkan kekhawatirannya. “Baiklah, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu. Paparazzi hidungnya tajam semua. Jangan-jangan mereka sudah mengendus berita ini sejak awal.”
“Kamu terlalu paranoid sama pers, Sala. Positive thinking aja, oke.”