Tangguh Perkasa

Rival Ardiles
Chapter #1

Untaian 1: Lahirnya Tangguh Perkasa

Bibir pantai seringkali tersenyum di kala ombak datang menyapa butiran-butiran pasir yang putih. Angin berembus mengayunkan daun-daun pohon kelapa yang berderet membentuk barisan. Sebuah karang tetap berdiri kokoh walau dihempas ombak berkali-kali, seolah mengatakan bahwa batu karang itu amat Tangguh dan Perkasa.

Beberapa kilometer dari bibir pantai, sebuah rumah yang sangat sederhana berdiri tak begitu kokoh. Rumah itu berjarak beberapa puluh meter dari rumah lainnya di desa Pasirputih, diselingi pohon-pohon yang tertancap tak saling berdekatan. Lantainya ubin yang telah retak di beberapa bagian, dinding-dindingnya terbuat dari bata tanpa plester, acian, apalagi cat. Dinding rumah itu juga telah keropos di beberapa bagian. Yang apabila di desa itu ada sapi gila mengamuk dan menyeruduk dinding rumah itu, maka dinding rumah itu bisa hancur berantakan. Sedangkan atap gentengnya telah usang dan bocor di beberapa bagian. Jika malam tiba, hanya lampu redup 5 watt yang sedikit menerangi.

Di sanalah tempat bernaung sepasang suami istri yang hidup serba amat sederhana. Sartono dan Suhartini, mereka telah menikah setahun yang lalu. Sartono adalah kepala keluarga yang bersahaja. Badannya cukup tegap walau tak terlalu kekar. Ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik untuk menghidupi dirinya dan istrinya.

Setiap hari, kala sang mentari belum menampakkan cahayanya, lelaki berbadan tegap itu harus mengayuh sepeda kumbangnya puluhan kilometer tuk bekerja di pabrik. Walau keringat selalu membasahi keningnya, ia selalu semangat menggoes sepedanya, mengerahkan tenaganya hingga sampai pabrik.

Penderitaannya belum selesai sampai di situ, sesampainya di pabrik ia harus bekerja berdiri berjam-jam dari pagi hingga sore memasukkan makanan dari meja berjalan ke kardus-kardus kecil. Sepulangnya dari pabrik ia harus menggoes lagi sepedanya puluhan kilometer. Namun rasa letih yang ia rasa selalu hilang menguap ke angkasa ketika ia sampai di rumah dan bertemu istri tercinta.

Tono tak berniat menjadi nelayan seperti kebanyakan warga desa, walaupun pantai tak terlalu jauh dari rumahnya. Hal itu karena saat ia masih kecil, ia pernah hampir tenggelam di lautan. Sejak saat itu ia enggan menjadi nelayan, bahkan mendekati laut pun enggan.

Hari itu Tono pulang lebih malam dari biasanya. Ban sepedanya bocor di tengah jalan, ia harus menuntun sepedanya sampai rumah. Namun beberapa meter sebelum sampai rumah ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya, tak mau terlihat letih di hadapan istrinya. Terlebih saat ini, Tini—istrinya—sedang hamil tua. Perutnya sudah membesar seperti pemain drumb band di kelompok marching band.

Malam itu, sebelum merebah dalam lantunan mimpi, mereka mengobrol sejenak mengenai suatu hal sembari berbaring menyamping saling berhadapan di tempat tidur yang ranjangnya terbuat dari kayu, yang apabila bergerak sedikit saja menimbulkan suara berderit.

“Tin, kamu ingin anak laki–laki atau anak perempuan?” tanya Tono yang tersenyum bahagia.

“Mmmm ... laki–laki atau perempuan sama aja Mas, tapi aku lebih ingin anak laki–laki yang tangguh kaya Mas,” jawab Tini.

“Ah, kamu bisa aja, hmm ... apa ya nama yang cocok untuk anak kita tin?” tanya Tono tersipu malu.

“Tangguh Perkasa, Mas, Aku ingin anak kita menjadi anak yang tangguh dan perkasa,” ucap Tini dengan penuh harap, lalu merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamarnya.

Di tengah–tengah obrolan mereka, tiba–tiba Suhartini merasakan sakit pada perutnya. Ia merasakan anaknya sudah mulai menendang–nendang ingin keluar dari kandungannya. Seketika senyumnya mulai meredup, dahinya mulai mengerut. Kemudian ia meronta–ronta, tangan kanannya memegang perutnya, sementara tangan kirinya mencengkram selimut, menahan rasa sakit yang tiada terperi. Suaminya pun mulai merasa panik.

“Kamu kenapa, Tin?” tanya Suhartono yang mulai panik. “Kalau gitu kita ke dukun beranak saja, sepertinya anak kita sudah mau lahir.” Tono segera berganti baju tuk bersiap-siap dengan tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, hampir saja ia lupa mengganti sarungnya dengan celana panjang.

Maka pergilah mereka ke dukun beranak itu. Maklum saja, di desa mereka belum ada rumah sakit, puskesmas pun telah tutup sejak matahari belum tergelincir. Letak rumah dukun beranak itu memang cukup jauh, beberapa kilometer dari rumahnya.

Malam itu, mereka berjuang berjalan kaki di tengah kesunyian malam dan hujan yang tiba-tiba turun cukup deras. Sepeda kumbang yang biasa dipakai Tono ke tempat kerjanya bannya kempes disaat yang tidak tepat.

Tono terus menuntun Tini yang berjalan sembari mengerutkan dahi dan merintih menahan rasa sakit di perutnya. Di tengah derasnya hujan yang semakin lama semakin membasahi, dan rasa dingin yang semakin lama seolah mencengkram tubuh, mereka tetap tegar bagaikan batu karang yang kuat walau dihantam ombak, mereka terus berjuang demi kelahiran anak pertama. Mereka meneruskan langkah demi langkah tanpa pernah kenal kata menyerah. Hal itu mereka lakukan demi anaknya yang akan lahir. Dan mereka percaya, anak mereka kelak akan menjadi anak yang tangguh.

***

Setelah melewati gelapnya malam dan dihujam ribuan tetes air hujan yang menggigilkan tubuh, melewati kebun, semak belukar, dan jalan tanah yang licin, akhirnya mereka tiba di rumah dukun beranak yang letaknya terpencil. Sebuah rumah di tengah pepohonan yang hanya diterangi lampu redup.

Lihat selengkapnya